Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Minggu, 03 April 2016

MENGENANG ROMO FRANS AMANUE Pr.



RAJAWALI ITU TELAH TERBANG TINGGI
ROMO FRANS AMANUE PR DI ANTARA POLITIK PEMBANGUNAN
                                                        (oleh Krisantus Kwen)


PENGANTAR
Romo Frans Amanue PR telah meninggal Sabtu Suci, 25 Maret 2016 Pkl 11.55 Witeng. Sebagai rekan kerjanya di STP Reinha Larantuka, saya mencoba mengais dan mengumpulkan catatan penting seorang imam yang fenomenal serempak imam yang intelektual. 


Sosok mengemuka Amanue itu identik dengan pembelaan bagi kemanusiaan. Kemanusiaan itu jamak, seperti memandang lautan yang terbentang tak bertepi. Dia menerobos sisi-sisi pergumulan hidup manusia.  Untuk mengenang kepergian Romo Frans Amanue ini, saya membatasi diri, pada advokasi paralegal yang dijalani Amanue sebagai misi perjuangannya. Yang saya maksudkan adalah ketika seorang imam projo keuskupan Larantuka ini “bersuara” di tengah kebijakan politik pembangunan yang dipandangnya telah melukai perasaan umatnya. 

Sikap ini telah menempatkan dirinya dihadapan ancaman hukuman pidana karena dikenai  pasal 310 KUHP oleh penguasa kepadanya. Ada dugaan sangkaan itu telah dibelokkan dari substansi persoalan yang dilontarkannya karena kritiknya yang tajam kepada kebijakan pembangunan oleh rezim pemerintah pada waktu itu.


Sepanjang 1999 dan 2000, saya pernah bekerja bersama beliau di Sekretariat Pastoral Keuskupan Larantuka. Meskipun di Komisi yang berbeda. Saya membantu Romo Jos Gowing di Komisi kateketik  dan Romo Frans Amanue ketika itu adalah ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP) di Keuskupan Larantuka. Dalam salah satu kegiatannya, saya menjadi salah satu peserta utusan katekis dalam Pelatihan Pendidikan Tingkat Dasar untuk  Keadilan dan Perdamaian yang diadakan oleh KKP Keuskupan Larantuka, yang bekerja sama dengan KKP KWI pada akhir tahun 1999. 


Komunikasi kami terus terjalin seiring kebersamaan kami sebagai staf pengajar di STP Reinha Larantuka, sampai akhirnya Sang Master Antropologi itu telah pergi dari tengah kami di STP Reinha Larantuka untuk selamanya.


PROMOTOR KEADILAN DAN PERDAMAIAN
Apapun tugas yang dipercayakan kepadanya, alumni Universitas San Carlos Pilipina untuk master of arts Antropologi ini melaksanakannya dengan tuntas dan sigap. Demikian pun ketika beliau dipercayakan oleh Bapa Uskup Larantuka Mgr. Darius Nggawa, SVD untuk menjadi ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian. Di komisi yang membidangi kerja-kerja animasi, advokasi, dan promosi keadilan dan perdamaian ini, tampaklah  aura pembelaannya kepada orang-orang kecil dan tertindas. 

Sikap berpihak kepada para korban ditunjukkannya secara total. Bahkan dia harus turun ke jalan-jalan bersama rakyat dan umat untuk menentang ketidakadilan rezim. Bagi seorang Amanue tugas seorang promotor keadilan dan perdamaian adalah menjangkau para pihak agar keadilan dan perdamaian tetap dipertahankan dan ditegakkan. 


Ketika terjadi konflik seorang promotor harus berada di tengah para pihak yang bertikai. Ia melakukan animasi dan mediasi terhadap para pihak agar terjadi pemulihan dan perdamaian. Namun ada kalanya ketika ia melihat ada kasus ketidakadilan dan ada korban ketidakadilan, maka seorang Amanue berada pada posisi korban. Ia akan mengambil sikap tegas dan berhadap-hadapan dengan pelaku ketidakadilan.


Memberi hidup bagi sesamanya
Komitmen dan sikap yang diperlihatkan oleh seorang Frans Amanue tampak dari seluruh perjalanan pelayanannya. Konsistensi ini memperlihatkan kepada publik tiga hal penting dalam profil yang ia hidupi.
Pertama, Amanue adalah seorang Rohaniwan. Sebagai seorang rohaniwan Amanue memberikan totalitas kehidupannya untuk panggilan imamatnya. Ketika perjuangannya dihadapakan pada bahaya karena melawan rezim, ia memperlihatkan orientasi karyanya. Altar misanya ada di tengah-tengah umat. 


Jika resistensi itu mendatangkan korban, seorang Amanue siap untuk meminum cawan itu (Mrk 14:23) di hadapan umatnya. Ia menampakkan sosok Guru sejatinya, sang Imam Agung, Yesus Kristus. Amanue memperhatikan dengan sepenuhnya supaya melalui sabda dan kesaksian hidupnya, menampilkan semangat pengabdian dan kegembiraan Paskah sejati (PO No.11).[1] Dengan caranya, Amanue  menyadarkan umat tentang luhurnya panggilan imamatnya, seperti Sang Gembala Pemelihara jiwa-jiwa (1 Ptr 2: 25).


Kedua, Amanue adalah seorang nabi yang berseru. Setiap orang yang dibabtis mengambil bagian di dalam tritugas Kristus. Yakni menjadi Imam, Nabi, dan Raja.  Ia menyadari dengan sesungguh-sungguhnya apa artinya frase trilogi itu. Ia bukan hanya seorang imam yang memimpin misa di altar kurban Kristus, ia bahkan bukan hanya seorang gembala umat yang pernah menjadi pastor paroki di wilayah keuskupan Larantuka.


Ia juga seorang Nabi Tuhan, melaksanakan misi keselamatan Kristus. Tugas nabi adalah menyeruhkan suara Tuhan, “ada suara orang yang berseru-seru di padang Gurun: Persiapkan jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan baginya-Nya” (Mat 3:3). Suara Amanue tetap membumbung tinggi menjangkau kekuasaan yang absolut, terbang tinggi seperti rajawali yang merobek kesombongan cinta diri manusia zaman.

Ia bagian dari umatnya seraya mengingatkan tugas kenabian seorang kristen yang telah dipermandikan untuk terus bersuara di tengah dunia ketika keadilan dan kebenaran tidak ditegakkan. Ketika terjadi konflik dan kasus yang mendera sebagian umatnya, ia berdiri bersama para korban. Ia ada di tengah umatnya yang ketakutan di hadapan moncong senjata rezim. 


Ketiga, Amanue adalah orang Flores Timur. Atau tepatnya ia adalah seorang Lamaholot. Ia adalah warga masyarakat yang mencintai tanah airnya. Ia manusia Lamaholot yang sangat paham etika dan nilai Lamaholot. Etika itu tidak boleh dicederai oleh apapun namanya, sekalipun atas nama politik pembangunan.[2] Pembangunan memang menuntut korban, namun bukan korban buta. Itulah seorang Amanue yang tidak tercerabut dari akar budaya. ia seorang manusia Lamaholot yang menjaga keharmonisan alam, hidup yang jujur, adil terhadap sesama baik dalam perkataan maupun tindakan demi kesejatraan manusia di dalam pembangunan. 


Amanue adalah nabi di jamannya. Ia bisa tampil keras, ketika rezim membangun negeri ini dengan gaya kolusi kekuasaan. Politik ditampilkan dalam wajah kekerasan. Kekerasan Politik adalah ciri yang dominan ketika Amanue tampil bersama rekan-rekan se-perjuangannya di tahun 2003. Mereka berhadapan dengan alat represif yang menghancurkan. Kekerasan politik menjadi lazim karena dapat digunakan untuk mempertahankan status quo.[3] Keadaan memang mencekam, rakyat dibuat bungkam. Tetapi seorang Amanue tidak demikian, ia selalu bersama umatnya. 


Takta Keadilan Itu Bernama Rakyat
Puncak perjuangan Paralegal Romo Amanue adalah dia diadili di pengadilan Larantuka, 16 November 2003. Vonis Hakim kepada Romo Amanue 2 bulan penjara dan 5 bulan masa percobaan. Hari itu Sabtu Kelabu. Amukan massa tidak bisa dibendung. Massa rakyat tidak menerima keputusan itu, seorang imamnya dijatuhkan hukuman. Api membakar gedung pengadilan dan membakar Kantor Kejaksaan Larantuka. Ironis, justru membakar gedung simbol pertahanan rakyat dalam mencari keadilan dan kebenaran. Bahkan para punggawa keadilan pun terpaksa menyelamatkan diri mereka. Menurut HR Tempo Online (17/11/2003), dalam kolom "Berita Nasional", termuat judul, "Karyawan Kejaksaan dan Pengadilan Larantuka berlindung di Keuskupan".


Hari itu rakyat tidak mempunyai sandaran lagi, seiring harga diri rakyat yang telah terbang searah jago merah yang melalap gedung kebanggaan yang dibakar dan diinjak oleh anak kandungnya sendiri. Tidak ada lagi sandaran rakyat. Takta rakyat telah diruntuhkan oleh kekuasaan dan kesewenang-wenangan. 


Perjuangan Amanue adalah perjuangan rakyat semesta. Dia hanya titik kecil di sudut NTT. Hari-hari itu panggung NTT menceritakan kebusukan Kolusi, Nepotisme, dan Korupsi sebagai wajah NTT. Media Kompas (13/10/2003) bahkan menurunkan judulnya yang miris, “Korupsi di tengah Kemiskinan” NTT. Menurut Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTT, Martinus Suwasono, praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) di daerah itu (NTT) cenderung vulgar dan "main babat".[4]

 
Justru perlawanan rakyat terjadi ketika DPRD sama sekali bungkam, tidak memainkan fungsi kontrolnya terhadap para bupati, wali kota dan gubernur menurut semangat UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 19, DPRD, bahwa mereka mempunyai hak antara lain: meminta pertanggungjawaban gubernur, bupati dan wali kota, meminta keterangan pemerintah daerah, mengadakan penyelidikan dan mengajukan pernyataan pendapati 


PENUTUP
Amanue bukan milik komunitas Kristiani, dia adalah milik rakyat. Keadilan dan kebenaran adalah hak dan milik rakyat. Kebijakan penguasa yang menindas rakyat apapun bentuk dan motifnya, itu yang dikritiki oleh seorang Amanue.  


Peristwa Frans Amanue ini menghadirkan dua pesan untuk publik. Pertama, menjadi pemimpin itu amanah karena merupakan panggilan dari Tuhan. Melayani rakyat dengan hati dan berkorban tanpa pamrih. Pemimpin tidak memiliki motif lain selain melayani. Karena pemimpin sesungguhnya adalah seorang pejuang kebenaran dan keadilan. Kedua, menjadi promotor keadilan dan perdamaian adalah tugas semua orang. Dunia membutuhkan setiap insan yang bukan hanya rindu perdamaian dan keadilan tetapi juga setiap insan yang membela kebenaran dan keadilan. Kita tidak bisa diam terhadap ketidakadilan, karena ketika kita diam, kita setuju kepada ketidakadilan. Kita harus mulai berjuang untuk bersikap adil dan membawa damai di tengah keluarga kita masing-masing.


Kritiknya Amanue adalah pedas dan tajam. Bagai rajawali, ia telah terbang tinggi mengangkasa. Ia pasti kembali suatu saat ke dalam diri para pejuang keadilan dan kebenaran.  Amanue akan selalu hadir dalam diri setiap orang yang rindu perdamaian dan cinta keadilan.  


Kota Rowido – Sarotari,
Hari Minggu Kerahiman Ilahi,
3 April 2016.









[1] PO, akronim dari Presbyterorum Ordinis, Nomor  2. Dokumen Konsili Vatikan II , Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam. Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana (penerj,) (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), hal. 472-474.
[2] Hironimus Adil, Eksekusi Kekerasan Politik: Bacaan dari Perkara Bupati Fernandez versus Rm. Frans Amanue, dalam Emanuel J Embu, SVD & Amatus Woi, SVD (Ed.), Berpastoral di Tapal Batas: Pertemuan Pastoral VI Konferensi Waligereja Nusa Tenggara (Maumere: Penerbit Ledalero-Puslit Candraditya, 2204), hal. 240.
[3] Dr. Guido Tisera (Ed.), Mengelolah Konflik, Mengupayakan Perdamaian (Maumere: LPAJ, 2000).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar