Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Rabu, 08 April 2020

MENYEBERANGI IDEALISME MENUJU REALITAS SOSIAL


(Memahami puisi-puisi Thomas Are dari perspektif teologi kontekstual)
Oleh : Krisantus M. Kwen[1]



Gambar: Cover Buku "CERMIN" karya Thomas Are, yang biasa disapa Tom Aresta. Atau dengan Nama seninya Penyair Gila.
Opini ini disampaikan penulis dalam diskusi Buku "CERMIN" yang diinisiasi & dipandu oleh Anselmus Atasoge. Yang dibuka oleh Ketua STP RL- P. Petrus Tukan, SVD. Yang menghadirkan 4 orang pembicara, yakni tiga orang dosen: Penulis, Sr. Theodora, CIJ, Alfons Aran, dan seorang pengamat seni, Karolus Larantukan.


1. PENGANTAR
Puisi dan politik menurut saya beda-beda tipis karena keduanya adalah sebuah seni kemungkinan. Yang membedakannya adalah cara mengekspresikan perasaan. Puisi hadir dikala ada gejolak dalam perasaan yang membutuhkan media untuk diungkapkan, namun politik adalah goncangan gejolak sosial yang membutuhkan media gerakan. Yang pertama mengekspresikan diri dengan kata-kata dengan tulisan dan yang kedua mengekspresikan diri dengan gerakan perjuangan. Keduanya mempunyai tujuan yang sama yakni menghendaki perubahan. Puisi berhenti pada gugatan sementara politik itu ingin merubah dan menggerakkan perubahan. Tetapi keduanya adalah seni yang sedang diperlihatkan dengan ekspresi yang berbeda. Benang merah yang mempertemukan keduanya adalah “empati” sosial dan “gerakan” sosial.


Teologi kontekstual yang saya maksudkan dalam kesempatan ini adalah melihat kembali realitas puisi-puisi Thomas Are sebagai sebuah konteks tertentu dalam memahami iman kristiani. Dan ini menurut teolog Stephen B. Bevans sebagai sebuah imperatif.[1] Realitas ini merupakan sebuah kewajiban bagi orang-orang Kristen untuk tidak berhenti pada kepuasan diri semata melainkan menanggapi setiap peristiwa kehidupan dengan cara yang baru untuk melihat kehendak Tuhan dalam peristiwa tersebut. Di sana ada dinamika antara injil dan tradisi di satu sisi dan kebudayaan serta perubahan sosial di sisi yang lain. Hemat saya dalam mempersatukan dua seberang ini manusia Kristiani membutuhkan titian agar impiannya terseberang menuju realitas sosial.

2.     MEMAHAMI TEOLOGI DENGAN CARA BARU
Demikianlah iman kristiani memperlakukan teologi atau refleksi iman sebagai sesuatu yang baru. Karena memahami teologis sebagai sesuatu yang kontekstual menurut  Bevans adalah sebuah penegasan yang baru.[2] Iman kristiani yang hidup dalam diri orang Kristiani mencerminkan teologis yang selalu dinamis karena sebetulnya ia sedang melakukan teologi. Seseorang atau kelompok orang yang sedang melakukan teologi kontekstual menurut Bevan sebetulnya sedang memperhatikan dua hal sekaligus.


Pertama, ia menghiraukan pengalaman iman dari masa lampau yang terekam dalam Kitab Suci dan dijaga agar tetap hidup. Hal ini dipelihara supaya terus hidup, dilestarikan dan ditetap dijaga serentak dibela.


Kedua, teologi kontekstual secara sungguh-sungguh memperhatikan pengalaman masa sekarang yang konteks aktual. Ini merupakan pengalaman yang kompleks karena Konteks itu menyangkut “pengalaman pribadi dan kolektif”. Bagaimana manusia kritiani dihadapkan pada sebuah realitas keberhasilan, kegagalan, kekecewaan, kebangaan, kelahiran juga kematian, dan lain-lain sehingga mendorong manusia kristian untuk mengalami Allah dalam kehidupannya. Pengalaman-pengalaman itu hanya dimungkinkan untuk diwujudkan dalam bentuk-konteks kebudayaannya, yakni “sistem konsepsi warisan” yang diungkapkan melalui simbol oleh orang-orang yang mengkomunikannya, melestarikan dan mengembangkannya. Demikian pun manusia yang menghidupi pengalaman tersebut dalam konteks lokasi sosial. “Lokasi sosial” merupakan prasyarat adanya posisi seseorang yang sedang melakukan teologi. Seorang yang berteologi pada posisi ini adalah dia yang memiliki jatidiri karena ia tahu kapan, dimana dan bahkan waktu yang tepat untuk mengamati, merefleksikan, dan mekaksanakan sikap sebagai orang beriman.


3.     MENYEBERANG IDEALISME SEBAGAI SEBUAH GERAKAN

   Harus diakui bahwa secara sosiologis kekristenan itu dimulai sebagai sebuah gerakan keagamaan yang dipelopori Yesus yang disebut sebagai Kristus dari Nasaret. Isi pesannya adalah upaya pembaruan untuk kedatangan kerajaan Allah. Seruannya yakni menghendaki orang untuk bertobatlah sebab kerajaan Allah sudah datang (Mat 4:7). Seiring perjalanan pewartaan, gerakan itu berubah menjadi komunitas kristiani sebagai titik awal umat kristen perdana. Tugas yang dipikul seorang yang berlabel Kristiani yakni melakukan tiga hal secara adekuat.[3] Yakni melakukan analisis peran, analisis faktor, dan analisis fungsional.  

  Analisis peran itu menyelidiki perilaku manusia yang khas. Analisis faktor untuk meneliti hubungan sebab akibatnya di dalam masyarakat secara keseluruhan, dan analisis fungsional melihat implikasinya terhadap masyarakat yang menjadi lingkup realitas sosial. Semua fungsi demikian menurut gerard Theissen dapat dipakai untuk menjelaskan kehidupan jemaan Kristen perdana. Sedangkan secara inovasi, agama dan umatnya dapat melakukan “gerakan” yang tampak seperti kehidupan jemaat perdana. Idealisme seorang kristiani harus dibaca sebagai sebuah gerakan karena sedang menata kacamata refleksinya sebagai bentuk ungkapan pengalaman. Karena pengalaman merupakan sebentuk kejujuran realitas sosial. Sehingga mendorong seseorang yang beragama untuk melakukan sebuah gerakan ke dalam dirinya sebelum melakukan perubahan di luar dirinya.


4.     MEMBACA PUISI THOMAS ARE SEBAGAI SEBUAH GERAKAN

  Membaca Puisi Thomas Are menghadapkan saya pada kenyataan sosial teologis kehidupannya. Bahwa latar belakang kampung halaman Thomas Are yang Katolik tua – Wureh ikut membentuk karakter puisi-puisinya.  Puisi-puisi ini lahir kedalaman hatinya. Dia tentu selalu gelisa terhadap kenyataan realitas - realitas: sosial keagamaannya, atau kenyataan-kenyataan teologis-biblisnya.
Pertama, seorang Thom Aresta mencoba untuk menukik pada kenyaataan pengalaman iman masa lampau yang berbau biblis – teologis. Dia hendak membaca pengalaman masa lampau untuk direduksi ke dalam kenyataan hari ini. Pengalaman Kitab Suci menurutnya bisa disejajarkan dengan realitas yang ia hidupi. Namun hemat saya goresan Thom, terlampau mengagungkan pengalaman masa lampau, dan kurang tajam mensandingkan dengan kenyataan sosial hari ini. Hal itu dilihat melalui Puisi seperti cahaya paskah dan jatuhnya iblis. Memang kelebihan Puisi Are yakni  menampilkan kekuatan cerita biblis, namun masih lemah dalam mengungkapkan kenyataan sosial di sekitarnya. Pengalaman pribadi begitu tampak sebagai isi pada puisi-puisinya seakan menjadi kekuatan plot narasi. Hal ini juga baik sebagai pembentuk identitas, namun bisa jadi mengurangi idealisme sosial yang seharusnya menjadi penyeimbang dari “warta” teologisnya. Seperti cinta putih, dinding hati, hati yang mendua, jaga hati nanti patah hati


Kedua, teologis-biblis hendak diperhadapkan pada konteks teologis hari ini. Saya hampir mengalami kesulitan untuk menemukan gagasasan literer yang memunculkan narasi ini. Maksud saya adalah realitas-realitas yang menjadi keprihatinan bersama manusia menjadi tema puisinya. Mencari keberpihakkan adalah sebuah cara berteologi karena kontekstualisasi adalah kunci berteologi hari ini. Pertanyaannya adalah apakah agama dan iman masih relevan untuk umat hari ini. Puisi yang menghibur hati adalah “Pembunuh Tuhan” karena berani memperlihatkan kenyataan keluarga-keluarga zaman ini.


Ketiga, kekuatan dari puisi Thomas adalah narasi-narasi hasil refleksi ini lahir dari pengalaman pribadi, konteks sosial, dan lokasi sosial. Karena pengalaman manusiawinyalah menjadi kekayaan sharing pengalaman hidup. Justru di sinilah katekese mendapat tempat yang khas, yakni sharing pengalaman hidup yang berakar pada pengalaman imannya. Atau akar spiritualitasnya telah mengajari Are untuk dengan jujur mengakui semua pengalaman itu.



5.     PENUTUP
Apresiasi terhadap penerbitan Puisi yang sangat bagus ini. Keberanian untuk memulai adalah serempak keberanian untuk bersaksi. Justru di sinilah independensi katekese yang lahir dari pengalaman hidup sehari-hari. Jika perasaan adalah domain utama untuk memperoleh bentuk awal perubahan, maka puisi dan politik adalah sama-sama memiliki motiv yang sejalan walaupun berbeda arah. Yang menyatukan arah gerak puisi-puisi Tomaresto adalah gerakan keprihatinan yang lahir dari kepingan hidup rohaninya yang terlahir dari seorang anak yang menghidupkan Tradisi Katolik Nagi Wureh. Karena dia mencoba menghidupi nilai rohaninya sebagai seorang Katekis, guru agama Katolik


Waibalun, 22 Februari 2020



[1] Stephen B.. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual (Maumere: Penerbit Ledalero), hal. 1
[2] Ibid, hal 2.
[3] Gerard Theissen, gerakan Yesus (Maumere: Penerbit Ledalero), hal. 2




[1] Disampaikan dalam diskusi Buku CERMIN, karya Thomas Are di Kampus STP Reinha Larantuka, Sabtu, 22 Februari 2020.

Senin, 30 Maret 2020

MENGHINDARI DISTORSI KEBANGSAAN


Oleh : Krisantus M. Kwen
(Dimuat di Opini HU Flores Pos, 10 Oktober 2019)


Harus diakui dengan jujur bahwa masyarakat Indonesia sedang dilanda isu-isu radikalisme idiologis dan fanatisme religius. Fenomena sosial dan politik itu telah mengguncang tanah air kita Persoalan ini jangan dianggap sepele. Oleh karena itu merekatkan hubungan persaudaraan insani di Nusantara hari-hari ini adalah pekerjaan tambahan yang tidak ringan kepada para pemimpin kita. Yang paling dirasakan secara masif dan tersistematis adalah selama masa kampanye menyongsong pemilihan umum (PEMILU) serentak Indonesia tanggal 17 April 2019 yang lalu


Kenyataan pahit tersebut sebagai akibat dari sebagian kecil warga negara yang terpapar radikalisme. Mereka yang terpapar radikalisme bukan hanya berasal dari golongan kecil, orang-orang yang tidak berpendidikan melainkan juga menghinggapi pola pikir oknum tokoh masyarakat dan dari kalangan akademisi. Bahkan kita sempat terhenyak bahwa dari barisan tokoh yang terpapar paham radikalisme tersebut terdapat mantan pemimpin organisasi kader yang berhaluan kebangsaan. Menteri Pertahanan (Menhan) Ryammizard Ryacudu menyebutkan ada 23, 4% mahasiswa Indonesia juga ikut-ikutan terpapar radikalisme dan menyetujui negara khilafah (detiknews 19/07/2019). Sebetulnya apa yang menggerus patriotisme dan semangat kebangsaan kita?


Hari kesaktian Pancasila 1 Oktober  2019 dan hari lahir TNI ke 74 pada 5 Oktober 2019 yang kita peringati dalam minggu ini merupakan momentum untuk mereflekskan pentingnya semangat kebangsaan kita dalam menghadapi radikalisme idiologis dan fanatisme religius tersebut. Saatnya kita bangkit untuk tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada para provokator bangsa yang mengancam kedaulatan dan melemahkan sendi-sendi hidup berbangsa kita.


Reformasi bisa salah arah
Reformasi telah merubah arah perjalanan bangsa ini ke depan pasca rezim Soeharto tahun 1998. Diawali krisis ekonomi dan moneter yang sangat berat yang melanda bangsa dan tanah air Indonesia. Reformasi kala itu menjadi era penuh harapan akan terjadinya penyelengaraan negara yang lebih demokratis, transparan dan memiliki akuntabilitas yang diwujudkan dalam good governance. Yakni dengan maskot kebebasan berpendapat. Tuntutan perubahan yang dimotori oleh mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa tersebut diharapkan makin  mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan pembangunan nasional sebagaimana termuat dalam alinea IV UUD 1945. 


Yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dan gerakan Reformasi tersebut diharapkan dapat mendorong perubahan mental bangsa ini ke arah yang baik. Nyatanya kebebasan di ruang publik bisa menjadi bumerang bagi anak bangsa ketika kebebasan itu tidak dikelola dengan baik dan benar. Inikah reformasi yang kita harapkan? Lihatlah oknum pemimpin kita seenaknya mengeluarkan pernyataan yang berbau SARA. Sementara para penegak hukum belum berani melakukan terobosan untuk memeriksa dan menahan pentolan-pentolan yang terpapar radikalisme. Walaupun peristiwa tersebut secara masif dan sistimatis diberitakan dihampir seluruh media cetak dan media online.


Butuh keberanian untuk bersikap
Menanggapi peristiwa dan indikator tersebut, hemat saya sedang terjadi tiga gejala dalam hidup berbangsa kita. Pertama, ada upaya pelemahan sistim hukum kita. Meskipun perangkat kelembagaan dan terobosan dalil-dalil hukum telah dibuat dan banyak pasal dipakai untuk menjerat para pelaku kejahatan, namun belum banyak terobosan berarti yang dibuat oleh aparatur hukum. Terutama keberanian para penegak hukum melakukan penyelidikan, penyidikan dan penetapan tersangka secara cepat. Alih-alih menetapkan tersangka, yang sudah ditangkap dan ditahan pun harus dilepaskan. Karena ada banyak kasus salah tangkap dalam satu tahun belakangan ini (kompas 18/7/2019). Tentulah keadaan ini akan menciderai rasa keadilan masyarakat. Makin tumpulnya proses penegakan hukum, semakin meyakinkan publik bahwa para oknum penegak hukum sedang melakukan standar ganda penegakkan hukum. Atau yang biasa dikenal dalam adagium klasik, hukum kita ibarat dua sisi mata pisau, tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Secara kasat mata dan telanjang masyarakat awam dapat memberikan penilaian minus. Yakni sedang terjadi persekongkolan dalam penerapan hukum. 


Kedua, ke-gamang-an sosial. Ketakutan jenis ini disebabkan oleh lemahnya integritas pribadi. Eksistensi pribadi oknum penegak hukum mengalami distorsi moral. Entah apa lebel yang dapat diberikan kepadanya: ewuh pakewuh; segan; hormat dan bisa jadi takut terhadap oknum publik yang menjadi calon tersangka. Jika pun terpaksa oknum ini diperiksa, tindakan dan proses hukum terhadapnya menjadi lelet karena alasan prosedural dan banyak alasan klasik lainnya. Tetapi karena para oknum tersebut terlanjur menjadi publik figur, maka susah untuk diperiksa. Alih-alih ditangkap, calon tersangka malah dielu-elukan kalau tidak mau disebut dikunjungi. 


Ketiga, penokohan figur secara karbitan. Lazim publik mengenal ketokohan seseorang harus teruji oleh waktu sehingga kualitas diri dan pertumbuhan pribadinya benar-benar menjadi matang. Alat ukurnya adalah sertifikat, ijazah atau pengakuan formal lainnya. Tetapi perubahan zaman dan perkembangan teknologi informasi ikut menggerus prosedural standar ilmiah tersebut. Digantikan dengan pencitraan ketokohan melalui seleksi karbitan mengikuti selera pasar. Sikap dan pernyataan tokoh karbitan ini malah jauh dari kebenaran otentik. Omongannya tidak berdasar. Apalagi legitimasi ilmiah. Jauh panggang dari api. Karena tokoh jenis ini dibentuk oleh ilusi dengan medsos sebagai domain untuk mencipta pangsa pasar tersendiri. Mengenaskan!


Mengungkapkan kebenaran dan keadilanHarus diakui bahwa hari-hari ini kita juga berada di era kegaduhan pada sebagian lembaga negara, baik lokal maupun nasional. “Moral force” belum sepenuhnya menjadi panglima. Karena para aktor yang terpapar radikalisme mengejar kekuasaan dan demi popularitas sebagai “publik figur”, daripada kompetensi profesionalitas. Meminjam istilah Komarudin Hidayat (2014), seorang tokoh intelektual muslim, bahwa kegagalan tersebut sebagai akibat rendahnya kepercayaan sosial politik masyarakat kepada aparatur negara. Karena oknum tersebut kurang memelihara dan merawat Indonesia. 


Pada titik inilah, masyarakat membutuhkan animasi dan advokasi dari para pemimpinnya. Yakni kinerja aparat hukum yang mengedepankan kualitas SDM, disiplin dan integritas pribadi. Dalam arti tertentu harus dikatakan bahwa aparatur hukum kita mestinya adalah para pejuang kebangsaan serentak pejuang kemanusiaan. Ditangan merekalah nasib bangsa ini ditentuka. Oleh karena itu ada dua sikap yang dianjurkan untuk dimiliki oleh aparatur negara kita, dan bahkan para pejabat publik dalam usaha menumbuhkan semangat kebangsaan. 


Pertama, berani membongkar kejahatan dan melawan ketidakadilan yang sedang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Untuk menunjang niat dan gerakan ini dibutuhkan data yang akurat serta mempertimbangkan banyak hal termasuk dampak perjuangan dengan meminimalisasi korban dari kaum kecil dan lemah. 


Kedua, keberanian untuk mengungkapkan kebenaran di muka umum, baik lisan atau tertulis. Seorang pemimpin mestinya pejuang kemanusiaan yang otentik. Ia harus berani mengenakan  sifat kritis terhadap kasus yang ia hadapi. oleh karena itu dia harus berani mengungkapkan kebenaran tentang adanya ketidakadilan dan membongkar kejahatan serta mengutuk ketidakdilan itu sendiri.


Krisantus M. Kwen
Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka dan Ketua Padma Indonesia Wilayah Flores Timur, Lembata, Alor.






Rabu, 18 Maret 2020

Relevansi Agama Versus Intoleran


Relevansi Agama Versus Intoleran
Kamis, 5 Maret 2020 11:30

Dok
Logo Pos Kupang
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul Relevansi Agama Versus Intoleran

Oleh Krisantus Minggu Kwen (Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka)
POS-KUPANG.COM - Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah teruji sejak berdirinya di tahun 1945. Gerakan militerisme maupun idiologisme mampu ditangkal oleh founding fathers bangsa kita. Para pemimpin negara dapat menyelesaikan dengan tuntas setiap gerakan perlawanan terhadap negara dengan beragam pendekatan.
Pendekatan militer dan keamanan memang digunakan jika siituasi tertentu perlu disikapi karena tuntutan keadaan yang membahayakan keselamatan warga negara. Namun jauh lebih efektif adalah Negara membangun kesadaran masyarakatuntuk hidup rukun bersatu di bawah ideologi Pancasila.


Ideologi yang merupakan dasar negara ini telah menjamin kemerdekaan setiap warga untuk memeluk agama dan kepercayaannya secara baik dan benar. Komitmen ini dipegang oleh pemimpin bangsa kita dengan menciptakan dan menegakkan hukum secara konsisten.
Sementara itu agama-agama yang mampu hidup berdampingan di Indonensia sebetulnya adalah jawaban akan relevansi sosial akan kenyataan perbedaan dalam masyarakat. Di akar rumput (grass root) para pemeluk dapat hidup berdampingan. Ini membuktikan bahwa agama-agama memiliki sebuah visi yang sama untuk membangun masyarakat dan dunia.


Gerakan Anti Toleransi
Munculnya fenomena baru anti toletansi di Indonesia dalam satu dekade terakhir janganlah dianggap sepele oleh para pemimpin kita. Hal demikian muncul seiring dengan perkembangan yang luar biasa melalui media-media alternatif. Kemajuan media digital jugadimanfaatkan secara tidak bertanggungjawab oleh segelintir orang yang mengatasnamakan agama tertentu untuk membangun argumentasi ideologi dan dogmatis secara serampangan dan naif.


Demikianpun merebaknya pemuka-pemuka agama "karbitan" mencoba memengaruhi publik dengan wacana anti tolenasi di sejumlah youtubers yang merebak di media digital. Tetapi harus diakui bahwa agama-agama di Indonesia sama sekali tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada gerakan anti toleransi.
Namun demikian aparatur negara kita tidak boleh lengah akan situasi ini. Menerapkan hukum secara konsisten terhadap kemunculan gerakan anti toleransi adalah jawaban yang paling strategis dari negara untuk menjamin kemerdekaan setiap agama dan kepercayaan dalam melaksanakan ibadatnya.
Guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta, Azyumardi Azra (2010) pernah mengingatkan kita bahwa kendala dan hambatan terhadap kebebasan agama dan keyakinan terletak kepada ketidakmampuan negara menegakkan undang-undang dan ketentuan dan peraturan hukum nasional maupu internasional (yang sudah diratifikasi) dalam kehidupan aktual umat beragama. Rambu-rambu ini seharusnya diwaspadai secara baik, benar dan terukur oleh aparatur hukum kita. Penelitian dari lembaga Setara Institute 12 tahun terakhir ini memperlihatkan pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh aparat negara kita dalam menegakkan hukum. Karena ormas keagamaan, aparat kepolisian, dan pemda ternyata ikut terlibat dalam tindakan intoleransi (Kompas, 5/2/2020).
Jika mau jujur, maka kita harus mengakui bahwa fenomena-fenomena kemunculan youtubers yang menyerang sistem dogmatis dan teologi agama-agama tertentu merupakan penyangkalan akan relevansi agama dalam hidup berbangsa dan bertanah air.


Irelevansi agama tersebut merupakan bentuk lain dari upaya untuk melemahkan sistem bernegara yang telah disepakati oleh founding fathers kita. Membiarkan fenomena ini merebak tanpa upaya untuk menangkalnya sama dengan menyimpan bom waktu yang akan meledak kapan saja dan dimana saja di seluruh pelosok tanah air Nusantara ini.

Antisipasi Kegagalan
Pada umumnya ada dua gejala yang merongrong kewibawaan hukum ketika berhadapan dengan gerakan intoleransi di Indonesia. Pertama, kurangnya kemauan politik penguasa. Indikatornya terletak pada keengganan aparat pemerintah dan aparat hukum dalam menjamin aktualisasi kebebasan beragama dan keyakinan. Pluralistik merupakan konditio sine qua non keberadaan bangsa ini.
Komposisi keberadaan para pemeluk agama beragam di setiap wilayah. Apalagi dengan corak dan karakter yang dinamis itu bertumbuh di Nusantara. Tugas negara adalah menjamin keberadaan dan keragaman umat ini dengan segala hak dan kewajibannya. Negara tidak boleh lengah untuk membiarkan munculnya dominasi mayoritas dan tirani minoritas untuk menggagalkan kerukunan hidup beragama.
Aparatur negara yang tidak konsisten untuk melaksanakan penegakkan hukum itu -hari hari ini dapat kita kita lihat dengan kasat mata. Ada oknum aparat yang menerbitkan surat pendirian rumah ibadat, akan tetapi kemudian tidak berani menjaga marwah hukumnya karena tunduk dan takut terhadap tekanan minoritas yang menolak pembangunan rumah ibadat. Negara menjadi lemah dihadapan kaum intoleran.


Mentalitas seperti ini dapat menggerus kewibawaan hukum kita. Kedua, lemahnya dukungan sipil terhadap penegakkan aturan dan hukum. Salah salah satu alat kontrol negara adalah masyarakat sipil (civil society). Pembiaran masyarakat terhadap tekanan tirani minoritas dalam menggagalkan penegakkan hukum merupakan kegagalan peran masyarakat sipil dalam hidup bernegara.
Elemen-elemen masyarakat sipil sebetulnya dapat menjadi mitra strategis negara dalam membangun bangsa agar perkembang sesuai dengan cita-cita berdirinya negara ini.


Momentum Kerukunan Hidup Beragama
Hari-hari ini media-media arus utama (mainstream) Indonesia baik cetak maupun online memberitakan niat dan rencana pemerintah dan sejumlah tokoh agama di Indonesia untuk bersepakat membangun kerukunan umat beragama di tingkat nasional maupun Internasional.
Momentum yang digunakan oleh paratokoh Indonesia adalah rencana kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia. Hal itu diketahui setelah ada undangan pemerintah Indonesia kepada pemimpin Negara Vatikan itu untuk berkunjung ke negara kita. Kita memang banyak berharap kepada agenda-agenda bersama yang mendorong terciptanya iklim kerukunan diantara anak bangsa.


Upaya melibatkan dan memengaruhi segenap komponen untuk mempertahan iklim kerukunan merupakan imperatif, kewajiban yang hakiki bagi tegak berdirinya negara ini. Karena komitmen founding fathers Indonesia adalah menciptakan iklim politik berbangsa yang mengakomodir keragaman agama dan kepercayaan. Demikianlah jati diri Indonesia yang sesungguhnya. Menafikan kebebasan agama-agama dan kepercayaan di ruang publik sebetulnya kita sedang menciptakan irelevansi peran agama-agama itu sendiri.
Oleh karena itu kita harus sepakat untuk mempertahankan konsistensi bangsa ini dengan melawan setiap gerakan anti toleransi di setiap sudut negeri ini. Semoga.


Artikel ini telah tayang di 
pos-kupang.com dengan judul Relevansi Agama Versus Intoleran, https://kupang.tribunnews.com/2020/03/05/relevansi-agama-versus-intoleran?page=all.

Editor: Kanis Jehola