Semua orang wajib tahu bahwa lagu yang sudah go publik sejak Januari 1962, diciptakan dengan kekayaan inspiratif,
seni dan kaya nuansa filosofi Lamaholot. Pengarangnya adalah Jan Djangun, lengkapnya, Jan Bercmans Lesen Djangun. Om Jan,
mengakui dia bergaris turunan 25 % Sikka, 25 % Manggarai dan 50% berdarah
Nagi-Lokea. Saya menurunkan lengkap tulisan Om Jan dan bisa diakeses di
https//jandjangun.wordpress.com
Foto: Jan Djangun
Didesak
Kebutuhan
Bermula dari
pentas budaya antar daerah kabupaten-kabupaten se-Flores yang akan digelar oleh
para siswa Seminari Menengah St.Johanes Berchmans -Mataloko – Ngada – Flores
untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-38 Rektor atau Direktur Seminari, Pater
Alex Beding SVD pada 13 Januari 1962.
Siswa-siswa Flores Timur atau Turunan Flores Timur hanya berjumlah kurang lebih
sepuluh siswa, dilengkapi dengan beberapa siswa dari Maumere yang berasal dari
Boganatar yaitu daerah dekat perbatasan Larantuka- Maumere. Keuskupan Larantuka
sudah memiliki Seminari Menengah di Hokeng. Kelompok siswa dari pelbagai daerah
(kabupaten) dapat dengan mudah pentaskan satu sajian budaya daerahnya (tari
atau lagu) karena jumlahnya cukup banyak. Yang dapat dipentaskan oleh kelompok
siswa asal Flores TImur adalah bernyanyi.
Motivasi
Mencipta
Pada saat itu saya, Jan Berchmans Lisen Djangun adalah seorang siswa kelas V
atau II di SMA Seminari Mataloko.
Dalam diri saya ada garis turunan 25% Maumere, 25% Manggarai tetapi 50% Nagi –
Lokea- Larantuka. Karena cukup berlatar belakang seni musik, saya berinisiatif
menggubah satu lagu khusus, khas Larantuka (Nagi). Bakat musik berasal dari
keluarga, dipoles pengalaman mengikuti paduan suara di bawah dirigen Pater
Albert Van der Heyden SVD, berguru seni musik pada Pater Jan Lali SVD dan
dilatih menggesek biola musik klasik oleh Pater Piet Rozing SVD dan Pater Anton
Sigoama Letor SVD. Kiranya cukup bekal untuk menghadirkan sebuah lagu baru
bernuansa NAGI, berjudul BALE NAGI.
Beberapa hari menjelang HUT tersebut, otak remaja ini dipaksa menemukan
inspirasi untuk lagu khusus ini. Akhirnya inspirasi muncul juga.
Sumber
Inspirasi
Saya mempunyai pengalaman beberapa waktu tinggal dan bersekolah di Larantuka
pada tahun 1952 kelas I Sekolah Rakyat. Pernah berlibur di Larantuka di tahun
1959-1961 pernah menelusuri jalan dalam rintik hujan malam dari Lokea- Pantai
Suster/Uste- Waibalun bola bale dengan bentangan laut kelam berhiaskan kerlipan
lampu para nelayan bekarang (menangkap ikan) . Pernah mengalami nae-bero
(sampan nelayan) bola-bale Larantuka – Ariona (Pantai di Adonari di sebelah
pantai Wure-Larantuka) bersama Almarhum nenek Elisabeth Aliandoe Fernandez
mengunjungi kakek moyang Usen Aliandoe (alm) dan memahami alamiah keseharian
arus ole dan arus wura (arus bolak balik berganti pagi dan petang akibat
sempitnya Selat Larantuka antara Laut Flores di utara dan Laut Sawu di
selatan). Pengga ole maura artinya melintasi Selat Larantuka dibantu oleh arus
ole dan arus wura.
Syair Bale
Nagi (Asli- tanpa notasi)
Lia lampu menyala di pante Uste-e
Orang bekarang di angin sejo-e
Inga pa mo ema jao -e
Inga ade mo kaka jao-e
Pengga ole
ma wura lewa Tanjo Bunga -e
Malam embo ujan po rinte-e
Tanjo Bunga meking jao-e
Sinyo tedampa pi Nagi orang-e
Reff : Bale
Nagi Bale Nagi Sinyo -e
No-e, kendati nae bero -e
Bale Nagi, Bale Nagi Sinyo -e
No-e , kendati nae bero -e
Nota : Dalam dialek Nagi sebutan ”e” dilampirkan sebagai bunyi ucapan
aksentuatif dengan mengajak atau menegaskan (bandingkan dengan akhiran -lah
dalam bahasa Indonesia)
Karakter
Lagu
Ber-tonal range satu setengah oktaf, bernada dasar G, A atau Bes, tergantung
pada kemampuan pencapaian nada oleh Penyanyi. Birama yang dipakai adalah 3/4.
Bersyair dua bait dengan Reffrain untuk tiap bait. Ada Finale Mezopiano ke
Pianissiomo mendayuh mengakhiri lagu. Durasi 4,5 menit , mencapai 6-7 menit
dengan variasi iringan musik. Mengklimaks pada nada tertinggi, disusul
antiklimaks dengan 4 ritma berdinamika ritardando yang bermakna menyadarkan dan
mengajak Bale Nagi-Inga Se Nagi Tana.
Sajian Perdana
13 Januari 1962
Berpacu dengan hari pentas, lagu khusus ini harus jadi. Biar sederhana asal
tuntas, mudah dinyanyikan serta akrab dengan situasi masyarakat. Selanjutnya
mengajak beberapa rekan seminaris berlatih untuk tampil bernyanyi. Seingat saya
beberapa rekan seminaris yagn ikut menyanyikan lagu ini adalah : Polce Boleng,
Jan Djuang, Ignatius Martin, Jan Sani, Martin Dele, Camilus Patal Namang,
Matheus Mola, Eugenius Eli dan beberapa rekan lain dari Boganatar, dimana
sebagian mereka sudah menjadi Pastur. Untuk visualisasi atas lagu tersebut
dibuat satu model sampan kecil, digantung di bahu berdua oleh saya dan Polce
Boleng. Mendayung dan menggerakkan sampan Pati Golo, mengiringi alunan lagu
Bale Nagi.
Berkumandang
di RRI Kupang
Pada bulan Juni 1967, saya berlibur ke Kupang, Wakil Pastur Paroki, Pater
Blasius Fernandez SVD pada suatu malam bertugas mengisi acara Mimbar Agama
Katolik di RRI Kupang. Saya mengajukan agar lagu Bale Nagi boleh jadi lagu
selingan. Lalu usul saya disetujui. Para penyanyi dadakan adalah para seminaris
cilik kelas I dan II SMP Seminari Lalian asal kota Kupang, kebetulan turunan
Nagi. Antara lain Cyrillus Belen, Bapak Buang Laju dan beberapa lagi lainnya.
Ini merupakan pentas publik ke-2.
Bale Nagi
memasyarakat keseluruh Penjuru di tahun 1970-1980
Sampai dengan tahun 1970, lagu Bale Nagi hanya menjadi milik sanak saudara di
Kupang dan Larantuka. Di Jakarta, saya menemukan teks areansemen lagu Bale Nagi
dalam buku Irama Flobamora -Himpunan Lagu Daerah Nusa Tenggara Timur, penyusun
Drs. Apoly Bala, MPd.
Antara tahun 1970-1980 Berawal dari kopian kaset lagu keluarga Martin Djangun
yang dibuat rekaman menjelang pindah tugas dari Kupang ke Jakarta pada Juni
1970, di dalam kopian kaset ini ada suara gabungan keluarga Djangun – Fernandez
menyanyikan lagu Bale Nagi.Dimana dalam suara itu ada adik saya Denny Djangun
(masih kelas II SMP di Kupang) bernyanyi juga dengan iringan gitar dan biola
oleh keluarga di Kupang.
Masyarakat NTT di Jakarta terbiasa mendengar Lagu Bale Nagi melalui Band de
Rosen dan Band Trio Kelimutu, baik di kalangan masyarakat NTT maupun tayangan
Budaya Nusantara di TVRI, Jakarta. Selanjutnya lagu Bale Nagi menemani para
perantau asal Nagi yang menyebar ke seluruh Nusantara dan para misionaris asal
Nagi yang merantau ke pelbagai negara.
Beberapa
Ilustrasi
Karena sudah terlalu lama Lagu Bale Nagi menggema tanpa kemunculan pencipta
lagu (N.N) pada tahun 1994, adik saya Denny Djangun pada suatu kesempatan acara
keluarga memproklamirkan di Nagi /Lokea bahwa Lagu Bale Nagi diciptakan oleh
kakaknya : Jan Djangun.
Pada November 2004, pas hari Ulang Tahun almarhum Nenek Elisabeth Aliandoe
ke-100 , di Larantuka, pada suatu malam, Denny Djangun dengan beberapa saudara
berkaraoke di gedung Karaoke Meting Doeng, Postoh bertemu dua wanita eks
Patriat (orang asing guru bahasa Inggris) yang berkomentar : “Kalau nanti balik
ke Inggris, mereka harus tahu dan membawa lagu Bale Nagi, karena lagunya
bagus.”
Pada 27 Desember 2005 diadakan Open House Group Panbers di kediaman Benny
Panjaitan. Pada kesempatan ini Bale Nagi dinyanyikan duet oleh Denny Djangun
dan Benny Panjaitan, direkam oleh Divisi Cek dan Ricek di RCTI dan ditayangkan
di RCTI pada tanggal 30 Desember 2005.
Pada Tahun 2007, saya bertemu seorang Biarawati di bandara Wati Oti, Maumere
yang baru saja pulang belajar dari Filipina. Biarawati ini berkomentar “Kalau
otak capek dan suntuk setelah belajar di Manila, tutup buku lalu putar lagu
Bale Nagi, biar lepas ketegangan dan merasa terhibur, seolah berada di tengah
keluarga di Nagi.”
Pada bulan April 2008, di suatu kios CD/VCD di pasar Oe Be -Kupang, saya iseng
menanyakan pada penjual CD/VCD : apa ada lagu Bale Nagi? Jawabnya “Sonde ada
lai Bapak. Itu lagu su lama, ada di beta pung kaset di rumah…ITu beta pung mama
pung lagu buat bikin tidur anak kici.”
Pada bulan Juli 2008, Kelompok Musik Tiup Fanfare dari Keuskupan Larantuka
singgah di Jakarta dalam lawatan pentasnya ke Batam. Diiringi Musik Tiup
Fanfare, Lagu Bale Nagi sempat digelar spontan pada acara di Taman Mini
Indonesia Indah, dengan dinyanyikan oleh saya, Denny Djangun, Ardy Gebang,
Lorens Fernandez, Nisman Diaz dan Adi Fernandez (saudara -saudara sepupu asal
Lokea-Larantuka)
Pada bulan Mei 2009, secara kebetulan dengan seorang kenalan baru asal Flores
Timur yang berkomentar: “Lagu Bale Nagi noka menyenangkan dan menyentuh hati
bua bulu badan bediri.”
Hari Sabtu 16 Mei 2009, TVRI menayangkan paket upacara tradisi umat Katolik di
Larantuka pada Semana Santa (Pekan Suci) Paskah 2009. Tayangan tersebut
diakhiri dengan alunan lagu Bale Nagi (Suara Benny Panjaitan- Panbers). Pada
saat itu juga ketika dihubungi oleh Denny Djangun, Benny Panjaitan sedang
melakukan tour Panbers di Balikpapan yang secara spontan mengatakan bahwa.”Itu
lagu bagus” Sambil bersenandung lagu Bale Nagi via handphone-nya.
Catatan
Khusus
Tercatat beberapa nama yang sejauh ini telah memasyarakatkan lagu Bale Nagi,
antara lain:
Inggris Fernandez bersama Band de Rosen, Lydia Jacob Fernandez, Benny Panjaitan
– Panbers dengan VCD khusus berjudul Bale Nagi (atas jasa baik Bapak Wens
Kopong), penyanyi khusus dalam Gita Sasando. VCD karya Yan Leba /Dus da Silva
dalam Arik Sarennya yang berjudul Bale Nagi numpang Bale Nagi.
Sebuah lagu yang ternyata menjadi terkenal dan didendangkan banyak kalangan
luas merupakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi penciptanya. Namun
sampai saat ini pencipta lalai / belum memproses Hak Cipta atas lagu Bale Nagi
melalui HAKI (Hak Atas Karya Ilmiah / Hak Cipta)
Beberapa pihak telah menyarankan saya untuk memproses Hak Cipta Bale Nagi melalui
lembaga HAKI