Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Senin, 25 April 2016

HAKEKAT SOSIAL DALAM ‘DOA MAKAN’


Memandang lukisan Br. Othmar Jessberger SVD 

(Krisantus M. Kwen)     
                                                      

 

Pendahuluan

Kekuatan Gambar telah mempengaruhi manusia sedemikian hebatnya di abad informasi dan teknologi sekarang. Televisi sebagai wakil dari media peradaban pun tunduk pada kekuatan image ini. Dengan adagium “A picture is worth a thousand words”, televisi merancang strategi sosial media marketing untuk bisnis[1]. Dengan konteks demikian membawa konsekuensi pada karya pastoral agar pewartaan harus memperhitungkan pendekatan media melalui gambar. Gambar bukan saja sanggup mendorong hasrat manusia untuk memilih produk tertentu dari iklan, melainkan menampilkan relasi-relasi tersembunyi dari pergumulan manusia. 


Seow Choon Leong sebagai penafsir historis atas gambar-gambar apokaliptik Daniel 7[2] telah memberikan penafsiran dengan menghubungkan monster-monster dengan kekuatan-kekuatan imperialistik yang ada pada jaman ketika Kitab Daniel ini ditulis. Di sana diungkapkan relasi-relasi konteks sosial-Politik yang melingkupinya. Keadaan demikian tetap kontekstual hingga sekarang bahwa karya-karya monumental dapat membuka wawasan seseorang atau komunitas sekalipun berupa gambar fantasi dalam mimpi Daniel ke dalam wujud lukisan oleh pelukis Popok Tri Wahyudi[3]



  Gambar-gambar Fantasi yang diterjemahkan ke dalam lukisan Popok Wahyudi telah memungkinkan kita untuk meretas kearah pesan yang tersembunyi diantara relasi-relasi yang tersembunyi antara manusia dan kekuatan-kekuatan yang konstruktif (membangun) maupun kekuatan perusak (destruktif) didalam dirinya. Pesan-pesan ini mau kita ungkapkan dalam relasi manusia jaman sekarang sesuai hakekat panggilan manusia Kristen dalam fungsi sosialnya.


Lukisan "DOA MAKAN" karya Bruder Othmar mengundang orang untuk merenung
            Sebagai seorang anggota Serikat Sabda Allah (SVD), Buder Othmar adalah pribadi Misionaris. Seorang Misionaris sejati adalah sanggup menyelami kehidupan dan bahkan kematian (penderitaan) sekalipun. Karunia Pelukis yang ada dalam dirinya dia abdikan bukan hanya sebagai sebuah karya seni, dari ungkapan pergumulan bathinya terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan, melainkan karya untuk kemanusiaan. Ia yang berkarya di berbagai tempat pelayanan serikat SVD telah menyaksikan dan merenungkan kehidupan sesamanya. Bruder kelahiran Trennfeld, Jerman ini paham betul apa artinya makan makanan yang disediakan diatas meja. 


Beliau yang menerima perutusan di perkebunan misi ini, paham betul apa artinya perbendaharaan makanan. Bukan hanya karena beliau yang mengatur karya di perkebunan milik anggota serikat Sabda Allah di tempat-tempat Misi, baik Pastoral Paroki, Pendidikan, dan Karitatif lainnya, namun lebih dari itu Bruder Othmar Jessberger paham betul relasi-relasi manusia yang memiliki ikatan spiritual[4] dalam kehidupan disekitarnya. Sebagai sang Misionaris Bruder Paham betul penderitaan sesamanya akibat dari perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Hutan yang rusak, lingkungan yang tercemar, gagalnya panen, maupun mentalitas pemalas, budaya santai dan litani kehidupan lainnya. 


Sebagai seorang religius yang berkarya di perkebunan, dia paham betul apa artinya menanam, menyiangi, merawat dan memanen. singkatnya Bruder Othmar menghargai kehidupan petani. Lingkaran kehidupan telah mengitarinya dan dia sanggup membahasakan dalam lukisan. Memandang Lukisan DOA MAKAN, mengajak kita untuk merenung peran kita, perhatian kita untuk bersolider.

Hakekat sosial sebagai Panggilan Kristiani
Pokok Ajaran Sosial Katolik adalah hakekat sosial manusia yang hidup dalam hubungan dengan sesama dan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah. Ajaran Sosial Katolik menyatakan bahwa seluruh tradisi Katolik memberikan kesaksian akan hakekat sosial manusia[5].


Dalam Ajaran sosial Katolik tersebut terdapat dimensi kehidupan yang harus kita sadari sebagai panggilan pelayanan untuk sesama (Bonum commune). Tradisi Katolik tersebut mengajak kita untuk memberi kesaksian akan hakekat sosial manusia. Kita semua adalah bersaudara justru karena kita adalah ciptaan Allah. Kesamaan dihadapan Allah ini tidak membuat manusia harus dipisahkan karena status sosial, warna kulit, berbeda bahasa, berbeda budaya, dan bahkan agama sekalipun.  


Dimensi ikutan sebagai akibat dari Fungsi Ajaran Sosial Katolik tersebut adalah  perkembangan Pribadi manusia. Tidak ada persaudaraan dan relasi sosial tanpa adanya kebaikan manusia. Perjumpaan, perhatian, bantuan dan aksi sosial lainnya menyebabkan kita menjadi bagian dari keluarga masyarakat. Melalui keluarga ini setiap pribadi mengembangkan cita-cita. Di sana ada pembinaan, dan tentunya ada harapan untuk membentuk masyarakat secara bertanggung jawab. Karena keluarga menerima, mendidik, menanggung kita, dan menerima kita apa adanya[6]


Misi Kita adalah Aksi nyata!
Lukisan DOA MAKAN memiliki sarat makna. Disana ada anggota keluarga di meja makan dan mereka sedang berdoa. Ketika Doa didaraskan, mereka diingatkan akan sama saudaranya yang sedang kelaparan dan meminta-minta, mereka mengingat sesama manusia dibelahan wilayah lainnya yang ditimpa bencana dan berada di tempat pengungsian. Ketika doa dipanjatkan, mereka ingat akan jerih payah petani yang menghasilkan bulir padi yang menjadi santapan mereka sekarang. 


Jeritan penderitaan sesama adalahh jeritan hati kita. Kita diajak untuk bersolider dengan mereka yang menderita. Kita memang telah bersatu dalam doa. Namun itu tidak cukup. Kekuatan yang telah menyatuhkan kita akan mendorong kita untuk keluar dari kemapanan hidup kita dan beranjak untuk melayani sesama menurut profesi dan kemampuan kita. Karena spiritualitas itu telah memampukan kita untuk sanggup bekerja dan berkarya bagi diri, sesama, dan alam semesta yang Allah percayakan kepada kita. 


Dalam lukisan itu, Bruder Othmar Jessberger telah melecuti kita dengan tidak bermasa bodoh. Naluri kita dibangkitkan ketika kita cuek akan sesama. Meminjam istilah Pater John Mansford Prior, ketika kita goyah dan goyang[7] kita menggumuli kenyataan sosial kita dengan bantuan sebuah media berupa gambar. Gambar akan menceritakan kehidupan kita. Kita membutuhkan media untuk mengingatkan kembali memori-memori hidup yang mungkin bisa jadi karena kesibukan dan masa bodoh membuat kita buta akan kenyataan social kita.


Penutup: Kesimpulan 
Litani Peristiwa kehidupan dalam gambar DOA MAKAN karya Bruder Othmar Jessberger, SVD memberikan kita pesan yang penuh makna :
1.  Kita membutuhkan gambar dan membutuhkan fantasi serta imajinasi dalam membangkitakan pengalaman bersolider. Kita terlalu lama untuk masa bodoh terhadap realitas social yang membutuhkan perhatian dan aksi kita[8]


2.  Fantasi akan gambar peristiwa kehidupan dalam Lukisan DOA MAKAN akan membangkitkan ingatan harapan dan cinta kasih terhadap sesama
3.  Pengalaman bersolider mengingatkan manusia akan sisi lemah manusia. Tuhan mengingatkan kita untuk saling melengkapi dan tolong menolong
4.  Masing-masing fantasi dalam Lukisan DOA MAKAN memiliki karakter dan kekhasan manusia. Mendalami cerita dan peristiwa membuat kita sadar akan kekuatan dan kelemahan kita sendiri agar kita pasrah dan berharap akan campur tangan Allah. 

5.   Solider akan penderitaan dan solider akan jasa orang lain membuat kita menghargai hidup. Kita dipanggil karena kemanusiaan kita sebagai ciptaan dan citra Allah. Dihadapan Allah kita sama. Bukan karena warna kulit, bukan karena berbeda budaya, bukan karena status sosial juga bukan karena berbeda agama, melainkan kita satu keluarga Allah.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


1.      Setio, Robet, Fantasi dalam Apokaliptik Daniel 7, Jurnal Ledalero, Vol.9 No.1, Juni 2010
2.      Prior, Mansford John, Daya Kekuatan Fantasi : Sebuah tanggapan untuk Robet Setio, Jurnal Ledalero, Vol.9 No. 1, Juni 2010.
3.      E. Curran, Charles, Ajaran Sosial Katolik : BURUH, PETANI, DAN PERANG NUKLIR, (Yogyakarta, Kanisius, 2007)
4.      http://emcoach.com/kekuatan-gambarfoto-mewakili-ribuan-kata-berlaku-juga-di-sosial-media.html
5.      Br. Othmar Jessberger, SVD, Lukisan Doa Makan (Ledalero)


[1] Bisnis nirlaba seperti Facebook, Google+ & Twitter,  foto atau gambar harus dijadikan sebagai konten yang rutin di salurkan lewat sosial media. Ada 5 paparan foto/gambar untuk konten sosial media marketing bisnis yakni 1). Rutin mengganti foto Profil (bisa juga disertakan logo atau produk Anda dalam foto tersebut). 2). Tampilkan testimoni beserta foto produk. 3). Buat foto stream dari beberapa foto di Flickr atau media foto sharing lainnya.        4). Ajak teman/fans/follower ikut memberikan kontribusi foto tentang produk. 5). Foto dari event, kejadian sehari-hari, hal lucu & menarik, juga bisa Anda selipkan untuk menambah otentisitas bisnis Anda
[2] Bdk Robert Setio, “Fantasi dalam gambar Daniel 7” dalam Jurnal Ledalero Vol 9 No.1 Juni 2010, hal 99.
[3] Ibid, hal 109
[4]  Spiritual dimengerti sebagai kehidupan rohani. Ikatan emosional ‘rohani’ yang mengingatkan kita akan sesama kita. Ketika kita makan, kita ingat akan orang lain. Bersatu dalam kenangan.
[5] Charles E. Curran, Ajaran Sosial katolik, 1891- Sekarang : Buruh, Petani, dan perang Nuklir, Yogyakarta, Kanisius, 2007, hal 197.
[6] Ibid.hal 199
[7] Bdk John Mansford Pior, Daya Kekuatan Fantasi : sebuah tanggapan untuk Robert Setio, Jurnal Ledalero, Vol.9 No.1, Juni 2010, hal.124
[8] Ibid.hal.128.

Senin, 04 April 2016

ADA APA DI RIANGPUHO


Bukan lautan
Hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu 
tiada badai tiada topan kau temui


Ikan dan udang menghampiri dirimu
.....................


 KOLAM SUSU DI NTT
Menurut laporan Dinas perikanan dan Kelautan NTT tahun 2013, potensi sumber daya ikan tangkap di NTT  berupa potensi lestari mencapai 388.700 ton/Tahun dan tingkat pemanfaatan baru mencapai 34,97%. Dengan demikian sumber daya laut NTT sangat potensi untuk perikanan tangkap (ikan pelagis: tuna, cakalang, tenggiri, laying, selar, kembung) selain untuk pengembangan budidaya (rumput laut, mutiara, kerapu) atau komoditi lain (lobster, cumi-cumi, kerang darah).


Gambar 1: Philipus Nitit (kanan) dan "Sero Gantung" hasil sentuhan tangan dan pengalaman merantaunya


 Salah satu Wilayah Perairan Potensial (WLP) untuk penangkapan ikan umpan yang layak dibidik adalah TELUK HADING di Kabupaten Flores Timur. Teluk nan indah di "kepala burung" pulau Flores.  Riangpuho atau lebih dikenal dengan desa Waibao adalah salah satu desa pesisir di Teluk Hading di dalam wilayah kecamatan Tanjung Bunga (Teluk ini melingkupi juga wilayah kecamatan Lewolema dan Kecamatan Titehena)


MEMBIDIK WILAYAH POTENSIAL IKAN UMPAN FLORES TIMUR

Dari 200.000 km2 wilayah perairan NTT ini, yang baru digunakan menjadi sumber potensi bagi pendapatan baru mencapai 38%. Pemerintah NTT dibawa kepemimpinan Drs. Frans Leburaya dalam tahun 2014-2015 memberikan bantuan hiba 185 unit kapal penangkap ikan kepada para nelayan NTT. Diharapkan dengan bantuan hiba tersebut, maka potensial perikanan di NTT dapat digunakan secara maksimal.


Lain di NTT, lain pula di Flores Timur, yang  menyimpan potensi sumber daya laut yang sangat menjanjikan. Laporan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP Flotim 2011), 13.215 ton/Tahun. Ikan Cakalang merupakan komoditas andalan Flores Timur sejak tahun 80-an.

Namun sayangnya, menurut laporan DKP NTT 2012, komoditas andalan ini, merosot tajam mencapai 60% karena semakin sedikitnya persediaan ikan umpan..


Hasil survey WWF-Indonesia di Flotim Februari  tahun 2013, ditemukan bahwa jumlah armada bertambah dan berbanding terbalik dengan kesediaan ikan umpan.  Armada Pole and Line mencapai 70 buah dan purse seine mencapai 68 armada. Laju perkembangan armada  penangkapan ini sangat tidak diimbangin dengan ketersediaan ikan umpan (data DKP Flotim 2012).

 gambar 2: Tahap-tahap akhir "Sero Gantung"


 Potensi yang masih dibiarkan tertidur adalah perairan di Teluk Hading.
 "Kami - nelayan desa Waibao perlu diperhatikan oleh pemerintah Flores Timur. Kami punya pengalaman tetapi kami tidak mempunyai dana untuk mengembangkan usaha kami. Kami akan berusaha secara swadaya dulu, semoga pemerintah segera melirik kami dan mengulurkan bantuan" ujar Philipus Nitit.

Philipus berharap dia dan kelompok Nelayan mereka, "SADAR KENCANA" ini mendapat bimbingan dan bantuan dari  DKP Flores Timur.


 "Kami membidik ikan umpan karena perairan ini potensial sekali agar dapat mensuplay nelayan Pole and Line dan permintaan masyarakat" Ujar Philipus dan diamini oleh rekannya Leo fernandez, Elias Nitit dan Lorens Koten (Senin, 4/4/2016)


Philipus tidak main-main dengan ucapannya, karena dia telah membuktikannya sendiri dengan swadaya murni kelompoknya, membangun "Sero Gantung". Alat ini akan digunakan kelompoknya untuk menangkap ikan umpan di perairan Teluk Hading


 Gambar 3: Ritus adat sebelum membuat "Sero Gantung" di Desa Waibao-Riangpuho. Perlu menghargai peran pemangku adat dalam kearifan lokal di desa Waibao.


Dengan bekal pengalaman 45 tahun merantau di beberapa tempat di Sulawesi, ia bertekad menghabiskan masa tuanya di desa kelahirannya untuk membangun desanya.


"Semoga pengalaman saya bermanfaan dan pemerintah tengoklah kami" ia berharap dalam logat Sulawesi karena memang 1/2 usianya ia habiskan di sana. Ia mau membuktikan ketrampilannya sewaktu di daerah perantauan dengan membuat "Sero Gantung", melalui kelompok Nelayannya, kini di desa kelahirannya.

Semoga tekad Philipus dkk dapat terpatri seperti syair Koes Plus di atas. Ad Maiorem Dei Gloriam.



Minggu, 03 April 2016

MENGENANG ROMO FRANS AMANUE Pr.



RAJAWALI ITU TELAH TERBANG TINGGI
ROMO FRANS AMANUE PR DI ANTARA POLITIK PEMBANGUNAN
                                                        (oleh Krisantus Kwen)


PENGANTAR
Romo Frans Amanue PR telah meninggal Sabtu Suci, 25 Maret 2016 Pkl 11.55 Witeng. Sebagai rekan kerjanya di STP Reinha Larantuka, saya mencoba mengais dan mengumpulkan catatan penting seorang imam yang fenomenal serempak imam yang intelektual. 


Sosok mengemuka Amanue itu identik dengan pembelaan bagi kemanusiaan. Kemanusiaan itu jamak, seperti memandang lautan yang terbentang tak bertepi. Dia menerobos sisi-sisi pergumulan hidup manusia.  Untuk mengenang kepergian Romo Frans Amanue ini, saya membatasi diri, pada advokasi paralegal yang dijalani Amanue sebagai misi perjuangannya. Yang saya maksudkan adalah ketika seorang imam projo keuskupan Larantuka ini “bersuara” di tengah kebijakan politik pembangunan yang dipandangnya telah melukai perasaan umatnya. 

Sikap ini telah menempatkan dirinya dihadapan ancaman hukuman pidana karena dikenai  pasal 310 KUHP oleh penguasa kepadanya. Ada dugaan sangkaan itu telah dibelokkan dari substansi persoalan yang dilontarkannya karena kritiknya yang tajam kepada kebijakan pembangunan oleh rezim pemerintah pada waktu itu.


Sepanjang 1999 dan 2000, saya pernah bekerja bersama beliau di Sekretariat Pastoral Keuskupan Larantuka. Meskipun di Komisi yang berbeda. Saya membantu Romo Jos Gowing di Komisi kateketik  dan Romo Frans Amanue ketika itu adalah ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP) di Keuskupan Larantuka. Dalam salah satu kegiatannya, saya menjadi salah satu peserta utusan katekis dalam Pelatihan Pendidikan Tingkat Dasar untuk  Keadilan dan Perdamaian yang diadakan oleh KKP Keuskupan Larantuka, yang bekerja sama dengan KKP KWI pada akhir tahun 1999. 


Komunikasi kami terus terjalin seiring kebersamaan kami sebagai staf pengajar di STP Reinha Larantuka, sampai akhirnya Sang Master Antropologi itu telah pergi dari tengah kami di STP Reinha Larantuka untuk selamanya.


PROMOTOR KEADILAN DAN PERDAMAIAN
Apapun tugas yang dipercayakan kepadanya, alumni Universitas San Carlos Pilipina untuk master of arts Antropologi ini melaksanakannya dengan tuntas dan sigap. Demikian pun ketika beliau dipercayakan oleh Bapa Uskup Larantuka Mgr. Darius Nggawa, SVD untuk menjadi ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian. Di komisi yang membidangi kerja-kerja animasi, advokasi, dan promosi keadilan dan perdamaian ini, tampaklah  aura pembelaannya kepada orang-orang kecil dan tertindas. 

Sikap berpihak kepada para korban ditunjukkannya secara total. Bahkan dia harus turun ke jalan-jalan bersama rakyat dan umat untuk menentang ketidakadilan rezim. Bagi seorang Amanue tugas seorang promotor keadilan dan perdamaian adalah menjangkau para pihak agar keadilan dan perdamaian tetap dipertahankan dan ditegakkan. 


Ketika terjadi konflik seorang promotor harus berada di tengah para pihak yang bertikai. Ia melakukan animasi dan mediasi terhadap para pihak agar terjadi pemulihan dan perdamaian. Namun ada kalanya ketika ia melihat ada kasus ketidakadilan dan ada korban ketidakadilan, maka seorang Amanue berada pada posisi korban. Ia akan mengambil sikap tegas dan berhadap-hadapan dengan pelaku ketidakadilan.


Memberi hidup bagi sesamanya
Komitmen dan sikap yang diperlihatkan oleh seorang Frans Amanue tampak dari seluruh perjalanan pelayanannya. Konsistensi ini memperlihatkan kepada publik tiga hal penting dalam profil yang ia hidupi.
Pertama, Amanue adalah seorang Rohaniwan. Sebagai seorang rohaniwan Amanue memberikan totalitas kehidupannya untuk panggilan imamatnya. Ketika perjuangannya dihadapakan pada bahaya karena melawan rezim, ia memperlihatkan orientasi karyanya. Altar misanya ada di tengah-tengah umat. 


Jika resistensi itu mendatangkan korban, seorang Amanue siap untuk meminum cawan itu (Mrk 14:23) di hadapan umatnya. Ia menampakkan sosok Guru sejatinya, sang Imam Agung, Yesus Kristus. Amanue memperhatikan dengan sepenuhnya supaya melalui sabda dan kesaksian hidupnya, menampilkan semangat pengabdian dan kegembiraan Paskah sejati (PO No.11).[1] Dengan caranya, Amanue  menyadarkan umat tentang luhurnya panggilan imamatnya, seperti Sang Gembala Pemelihara jiwa-jiwa (1 Ptr 2: 25).


Kedua, Amanue adalah seorang nabi yang berseru. Setiap orang yang dibabtis mengambil bagian di dalam tritugas Kristus. Yakni menjadi Imam, Nabi, dan Raja.  Ia menyadari dengan sesungguh-sungguhnya apa artinya frase trilogi itu. Ia bukan hanya seorang imam yang memimpin misa di altar kurban Kristus, ia bahkan bukan hanya seorang gembala umat yang pernah menjadi pastor paroki di wilayah keuskupan Larantuka.


Ia juga seorang Nabi Tuhan, melaksanakan misi keselamatan Kristus. Tugas nabi adalah menyeruhkan suara Tuhan, “ada suara orang yang berseru-seru di padang Gurun: Persiapkan jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan baginya-Nya” (Mat 3:3). Suara Amanue tetap membumbung tinggi menjangkau kekuasaan yang absolut, terbang tinggi seperti rajawali yang merobek kesombongan cinta diri manusia zaman.

Ia bagian dari umatnya seraya mengingatkan tugas kenabian seorang kristen yang telah dipermandikan untuk terus bersuara di tengah dunia ketika keadilan dan kebenaran tidak ditegakkan. Ketika terjadi konflik dan kasus yang mendera sebagian umatnya, ia berdiri bersama para korban. Ia ada di tengah umatnya yang ketakutan di hadapan moncong senjata rezim. 


Ketiga, Amanue adalah orang Flores Timur. Atau tepatnya ia adalah seorang Lamaholot. Ia adalah warga masyarakat yang mencintai tanah airnya. Ia manusia Lamaholot yang sangat paham etika dan nilai Lamaholot. Etika itu tidak boleh dicederai oleh apapun namanya, sekalipun atas nama politik pembangunan.[2] Pembangunan memang menuntut korban, namun bukan korban buta. Itulah seorang Amanue yang tidak tercerabut dari akar budaya. ia seorang manusia Lamaholot yang menjaga keharmonisan alam, hidup yang jujur, adil terhadap sesama baik dalam perkataan maupun tindakan demi kesejatraan manusia di dalam pembangunan. 


Amanue adalah nabi di jamannya. Ia bisa tampil keras, ketika rezim membangun negeri ini dengan gaya kolusi kekuasaan. Politik ditampilkan dalam wajah kekerasan. Kekerasan Politik adalah ciri yang dominan ketika Amanue tampil bersama rekan-rekan se-perjuangannya di tahun 2003. Mereka berhadapan dengan alat represif yang menghancurkan. Kekerasan politik menjadi lazim karena dapat digunakan untuk mempertahankan status quo.[3] Keadaan memang mencekam, rakyat dibuat bungkam. Tetapi seorang Amanue tidak demikian, ia selalu bersama umatnya. 


Takta Keadilan Itu Bernama Rakyat
Puncak perjuangan Paralegal Romo Amanue adalah dia diadili di pengadilan Larantuka, 16 November 2003. Vonis Hakim kepada Romo Amanue 2 bulan penjara dan 5 bulan masa percobaan. Hari itu Sabtu Kelabu. Amukan massa tidak bisa dibendung. Massa rakyat tidak menerima keputusan itu, seorang imamnya dijatuhkan hukuman. Api membakar gedung pengadilan dan membakar Kantor Kejaksaan Larantuka. Ironis, justru membakar gedung simbol pertahanan rakyat dalam mencari keadilan dan kebenaran. Bahkan para punggawa keadilan pun terpaksa menyelamatkan diri mereka. Menurut HR Tempo Online (17/11/2003), dalam kolom "Berita Nasional", termuat judul, "Karyawan Kejaksaan dan Pengadilan Larantuka berlindung di Keuskupan".


Hari itu rakyat tidak mempunyai sandaran lagi, seiring harga diri rakyat yang telah terbang searah jago merah yang melalap gedung kebanggaan yang dibakar dan diinjak oleh anak kandungnya sendiri. Tidak ada lagi sandaran rakyat. Takta rakyat telah diruntuhkan oleh kekuasaan dan kesewenang-wenangan. 


Perjuangan Amanue adalah perjuangan rakyat semesta. Dia hanya titik kecil di sudut NTT. Hari-hari itu panggung NTT menceritakan kebusukan Kolusi, Nepotisme, dan Korupsi sebagai wajah NTT. Media Kompas (13/10/2003) bahkan menurunkan judulnya yang miris, “Korupsi di tengah Kemiskinan” NTT. Menurut Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTT, Martinus Suwasono, praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) di daerah itu (NTT) cenderung vulgar dan "main babat".[4]

 
Justru perlawanan rakyat terjadi ketika DPRD sama sekali bungkam, tidak memainkan fungsi kontrolnya terhadap para bupati, wali kota dan gubernur menurut semangat UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 19, DPRD, bahwa mereka mempunyai hak antara lain: meminta pertanggungjawaban gubernur, bupati dan wali kota, meminta keterangan pemerintah daerah, mengadakan penyelidikan dan mengajukan pernyataan pendapati 


PENUTUP
Amanue bukan milik komunitas Kristiani, dia adalah milik rakyat. Keadilan dan kebenaran adalah hak dan milik rakyat. Kebijakan penguasa yang menindas rakyat apapun bentuk dan motifnya, itu yang dikritiki oleh seorang Amanue.  


Peristwa Frans Amanue ini menghadirkan dua pesan untuk publik. Pertama, menjadi pemimpin itu amanah karena merupakan panggilan dari Tuhan. Melayani rakyat dengan hati dan berkorban tanpa pamrih. Pemimpin tidak memiliki motif lain selain melayani. Karena pemimpin sesungguhnya adalah seorang pejuang kebenaran dan keadilan. Kedua, menjadi promotor keadilan dan perdamaian adalah tugas semua orang. Dunia membutuhkan setiap insan yang bukan hanya rindu perdamaian dan keadilan tetapi juga setiap insan yang membela kebenaran dan keadilan. Kita tidak bisa diam terhadap ketidakadilan, karena ketika kita diam, kita setuju kepada ketidakadilan. Kita harus mulai berjuang untuk bersikap adil dan membawa damai di tengah keluarga kita masing-masing.


Kritiknya Amanue adalah pedas dan tajam. Bagai rajawali, ia telah terbang tinggi mengangkasa. Ia pasti kembali suatu saat ke dalam diri para pejuang keadilan dan kebenaran.  Amanue akan selalu hadir dalam diri setiap orang yang rindu perdamaian dan cinta keadilan.  


Kota Rowido – Sarotari,
Hari Minggu Kerahiman Ilahi,
3 April 2016.









[1] PO, akronim dari Presbyterorum Ordinis, Nomor  2. Dokumen Konsili Vatikan II , Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam. Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana (penerj,) (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), hal. 472-474.
[2] Hironimus Adil, Eksekusi Kekerasan Politik: Bacaan dari Perkara Bupati Fernandez versus Rm. Frans Amanue, dalam Emanuel J Embu, SVD & Amatus Woi, SVD (Ed.), Berpastoral di Tapal Batas: Pertemuan Pastoral VI Konferensi Waligereja Nusa Tenggara (Maumere: Penerbit Ledalero-Puslit Candraditya, 2204), hal. 240.
[3] Dr. Guido Tisera (Ed.), Mengelolah Konflik, Mengupayakan Perdamaian (Maumere: LPAJ, 2000).