Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Kamis, 18 Februari 2016

REST IN PEACE



BATAS ADA DAN TIADA
(Belajar pada Yesus untuk mengenang Almarhum Bapak Klemens Kwen)
 (Oleh Krisantus M. Kwen)

Menengok waktu
Batas antara ada dan tiada begitu tipis. Dalam eksistensi waktu filsafat melihat yang “tidak ada” itu ada. Artinya tidak ada dalam ruang dan waktu, bukan berarti tidak eksis. Kaum seniman mengatakan dalam sebuah kerlipan terbentang sepintas ada dan tiada, namun memberi arti banyak. 


Senja menjamaku dalam keabadian
Dilubuk tenang kuraba rasa, aku masih merasa tiada sunyi. Aku akan p e c a h...
Tanya apa yang engkau tawarkan di langit pikiranku? Dalam angin tak ku dengar pesan darimu
Namun apa? Tetap saja. Suaramu ada, wajahmu nyata rasuki retina! (WS Rendra)


Tanggal 31 Januari 2016, bapak Klemens Kwen sudah tidak ada di sini dan kini (alam baka) tapi bapak ada dan hadir dalam pengalaman (alam fana).  Filsafat menggambarkan kehadiran Fenomena ini antara ada dan tiada. Yakni ada dalam indra dan ada dalam raga. Disposisi inilah yang membentuk pola berpikir dan pola ada seseorang. Mengutip Leibniz, tujuan agama sejati seharusnya adalah memaknai asas-asas dunia indrawi jauh ke dalam jiwa. Fenomena ini yang saya hendak maknai dalam terang iman saya. Yesus di masa hidup-Nya di dunia fana menuntun manusia untuk hidup baik dan benar sambil menyiapkan datangnya hari Tuhan, yakni Kerajaan-Nya, baik di bumi maupun di sorga (Mat 4:17;5:3; 8:11;12:28; 13:11; Luk 6:20;17:21;13:29;  Mrk 1:15;14:11


Memberi makna kehadiran
Bagaimana saya memaknai “kepergian” bapak Klemens Kwen selamanya di hadapan keluarga kami? Perspektif ini membuat saya lebih berpikir tentang untuk apa saya hadir di dunia dan untuk apa saya melanjutkan kehidupan. Pencarian ini akan menjawab pertanyaan untuk apa Alkitab menceritakan kehadiran Yesus di tengah dunia. Yang kemudian saya kenal sebagai Tuhan. 


Pertama, memaknai bapak Klemens hadir di dunia ‘ada” sebagai “materi” bukan dongeng atau hikayat, melalui pengalaman atau penalaran. Seperti sebuah fenomena “Tubuh” yang menjadi ambigu. Yang saya hayati dalam hidup sehari-hari sebagai cara saya menjadi bagian dari hidup di dunia. Ketika melakukan segala sesuatu dengan aman dan berproses tanpa ada masalah saya, maka saya adalah saya yang berhubungan dengan hidup itu sendiri. Tetapi ketika ada masalah dengan materi tubuh saya karena saya sakit demam, maka mulai bereaksi terhadap diri. Pada saat inilah saya menyadari ada hubungan antara saya dan tubuh raga ini. Demikian pun ketika almarhum masih ada di dunia. Pertanyaan ini kembali diajukan. Misalnya, almarhum sepanjang hari ini ada di rumah, sementara saat yang sama, saya ada di luar rumah, yakni ada di tempat saya bekerja dan setelah pulang bekerja, saya berada di rumah keluarga saya. Hari itu saya tidak berpikir tentang bapak demikian pun hari itu saya tidak pernah bertemu dan berbicara dengan almarhum. Antara ada dan tidak ada tidak ada bedanya. Bapak almarhum tidak memengaruhi saya, sekalipun kenangan bersama dia ada jauh di lubuk hati dan kapan saja sebuah peristiwa dapat saja menarik saya untuk mendekatinya. Fenomena ini membuat saya berpikir bahwa almarhum hari-hari ini pun tetap ada dalam jangkauan ketak hadiran. Hal ini sama artinya dia ada tetapi saya tidak mengingat dan menjumpainya di dunia. Tetapi ada titik sambung ketika saya sadar dan peduli akan kehadirannya dalam ingatan.  


 kedua, memaknai kehadiran yang memberi. Saya menamainya daya dorong yang melecuti hati dan pikiran. Bahwa almahum hadir dan pernah ada di dunia, itu bukan dongeng. Ketika dia hidup, dia telah memberikan seluruh raganya untuk keluarganya demi mama dan enam anaknya. Dia juga memberi raganya untuk melayani kehidupan melalui pekerjaannya, menjadi tukang jahit pakaian. Ia melayani konsumennya dengan setia, rajin dan tekun untuk memberi hidup raga bagi kami. Dia juga memberi dirinya untuk Gerejanya, menjadi seorang anggota serikat awam, “konfreria”, memberi hidup pada bakanya. 


Bolehlah saya menyebut kehadiran bapak Klemens di dunia dengan mengamalkan tridarma hidupnya: keluarga, pekerjaan dan pelayanan. Tiga pengabdian itu memberi arti akan adanya almarhum di tengah realitas ada dan realitas absolut. Untuk itulah dia telah berjuang dengan segenap kesanggupannya untuk mempertahankan komitmennya ketika dia memilih untuk berkeluarga, bekerja dan melayani. Jika ada cerita sekitar kehidupan fananya, itu menjadi bagian dari bunga-bunga yang menjadi cara dia memberi makna pada hidup. Kenangan akan makna memberi ini telah mematri dalam ingatan untuk terus melanjutkan kehidupannya dengan cara yang baru, bagaimana saya memberi arti pada makna untuk hidup. 


Belajar pada adanya Yesus
Yesus pernah hadir di dunia (Mat 1:18-25: Luk 2:1-7). Dia tinggal bersama keluarga dan handai taulan-Nya (Mrk 3:31-35; Mat 12;46-50; Luk 18:19-21). Selama hidup-Nya, Dia telah membangun  komunikasi dengan sesamanya. Dia membentuk sebuah komunitas bhakti dengan menghimpun para murid untuk hidup bersama-Nya (Mrk 1:16-20; Mat 4:18-22; Luk 5:1-11).  Ketika ada di dunia, Dia telah memengaruhi khalayak banyak untuk mencari kebenaran yang Dia sebut dengan “Waktunya telah genap; KerajaanAllah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Luk 1:15: Mat 4:12-17: Luk 4:14-15). 


Yesus benar-benar telah mengubah dunia. Kehadiran-Nya sangat dirindukan dan disanjung  sehingga memengaruhi manusia. Yesus memberikan kepada kita satu teladan hadir dan ada bersama orang-orang lain sambil menunjukkan sebuah jalan yang harus dilalui manusia menuju Allah (Yoh 14:6). Kehadiran-Nya di dunia membentuk dua konsep hadir.  


Pertama, Ia hadir untuk menjangkau ketakberadaan “Ilahi”. Dia mengubah pola pikir dan image tentang hidup manusia. Sejak masa kecilnya Yesus telah mencengangkan bahkan membingungkan kedua orang tuanya. “Mengapa kamu mencari Aku, tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk 2:49). Ia menujukkan dengan tepat sebuah hakikat ketakberadaan Allah, yang ”Tidak ada” (baka), menjadi ada, “fana”. Ia sanggup menarik Allah yang begitu tak terjangkau menjadi Allah terjangkau “Bapa”. Spiritualitas kehadiran ditunjukkan (kepada) hanya untuk dua orang itu, Maria dan Yosef. Ia sejenak tinggal dan berdiam di Bait Allah, di rumah Allah yang Kudus. Allah yang begitu tak terjangkau di alam pikiran Yahudi karena betapa hebatnya Allah yang bersemayam di atas bumi, yang membentangkan langit (Yes 40:22), menjadi Allah yang dapat “dijangkau” dan “akrab” sebagai sohib-sobat-hanya Yesus yang mengakrabkan Allah yang tak terjangkau menjadi Allah yang dapat diakrabi. Akhirnya Maria hanya sanggup menyimpan perkara itu di dalam hatinya (Luk 2:51c). 


Kedua, Ia hadir untuk melakukan pekerjaan Bapa-Nya. Para Murid-Nya menyangka Yesus memenuhi kodrat-Nya  sama seperti diri mereka. Setelah melakukan pekerjan tangan, Dia harus mengaso, istirahat untuk makan. Akan tetapi Yesus masih membalikkan kerangka berpikir mereka tentang arti makan dalam kontek tugas perutusan-Nya. Di hadapan mereka, Ia menunjukkan hakikat makan secara rohaniah. Konteks kenyang ditunjukkan dalam arti baru, “melakukan pekerjaan Bapa” (Yoh 4:34). Bagi Yesus, makanan raga memang penting, namun jauh lebih penting adalah melakukan pekerjaan Allah. Konteks perjumpaan dengan sesama yang menderita, yang membutuhkan pertolongan, yang tersingkirkan di tengah masyarakat, macam percakapan dengan perempuan Samaria. Perjumpaan dengan Allah dalam kehadiran di tengah Bait Allah membawa konsekuensi bagi perutusan  manusia menurut Yesus. Manusia tidak sekekar ada dalam hadir - materi, namun ada dalam baka-roh/spirit. Dimana perjumpaan dalam “tiada” di Bait Allah menjadi “ada” bersama dalam percakapan dengan perempuan Samaria. Di kedua “kehadiran” itu Yesus menunjukkan Allah yang hadir sekaligus Allah yang “tersembunyi”, namun memberi dampak pada tindakan Yesus. Di sini dan kinilah tanggung jawab itu menjadi milik setiap pengikut Yesus:


“Akan tetapi, hendaknya semua memahami bahwa kewajiban mereka yang pertama dan utama untuk menyiarkan iman, yakni menghayati kehidupan kristiani secara mendalam. Sebab semangat mereka dalam pengabdian kepada Allah dan cinta kasih mereka terhadap sesama akan mendatangkan ilham dorongan rohani yang baru bagi seluruh Gereja” (AG 36). 


Spirituasitas adalah perubahan hati (metanoia), yakni di dalam Yesus, manusia melihat secara baru akan makna “ada” Allah. Kesadaran itu menjadi daya dorong manusia untuk bertindak “memberi diri”.Keduanya adalah hakikat kehadiran serempak batas ada dan tiada, yakni hadir serempak tersembunyi.


Penutup: Tugas Manusia
Mengenang kepergian almarhum bapak Klemens Kwen dan semua yang sudah meninggalkan (dunia) kita dalam raga, memberi arti baru antara ada dan tiada. Keduanya juga menjadi satu dalam filosofi hidup manusia. Ketika saya mengenang almarhum serempak menghadirkan “ada” dia dalam memoria, yakni cara saya bertindak. Yesus mendahului kehadiran-Nya di Bait Allah sebelum melakukan segala sesuatu atas perintah Bapa-Nya. Ia telah mengakrabi yang baka, tak kelihatan untuk menjadi nyata kelihatan dalam diri sesama yang hidup. Pada titik inilah saya pantas menyebut, beristirahatlah dalam damai bapaku Klemens Kwen, rest in peace!

                                                    Foto: Alm.Bpk.Klemens Kwen.