Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Rabu, 23 Maret 2016

KERAJAAN KATOLIK DI INDONESIA (1)



LARANTUKA, BUNDA REINHA, DAN RAJA LARANTUKA
Kausalitas Negara –Agama di Kota Larantuka

(Krisantus M. Kwen)

PENDAHULUAN
Tanggal 20 April 1859, Pulau Flores dan sekitarnya (Adonara, Solor, dan Lomblen) diserahkan Portugis kepada Belanda. Hari itu dua Negara adidaya dunia abad 19, Belanda dan Portugis mencatat perseteruan mereka hanya bisa didamaikan sebagai akibat dari persetujuan Lisabon, Portugis. Peralihan itu berdasarkan jaminan atas pinjaman Gubernur Portugis di Timor Timur dari Belanda sebesar ʄ 120.000. 


Pengalihan tersebut telah didahului sebelumnya melalui penyerahan benteng Larantuka kepada Belanda pada 1851 dengan jaminan ʄ80.000.[1] Peristiwa tersebut mempertegas wilayah kolonialisme Belanda di wilayah Nusantara masa itu dan Larantuka secara hukum dimasukan dalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda terhitung sejak tanggal tersebut. Politik menjadi aroma dalam ciuman kekuasaan negara. Hal tersebut serentak mempertegas Larantuka sebagai sebuah kota kecil di ujung timur Nusantara, yang tetap diperhitungkan dalam kanca politik di tingkat dunia sampai abad ke-19.

Gambar 1: Patung Reinha Rosari, pelindung kota Larantuka. Terletak di pertigaan jalan depan Istana Keuskupan, Sandominggo.


Larantuka adalah kota Katolik di pulau Flores, tempat kedudukan raja Katolik  di samping raja Katolik di Sikka, Maumere. Kekuasaan politik raja tersebut berakhir sampai dengan dilengsernya raja Don Lorenzo II pada 1904 oleh Belanda, kemudian diasingkan ke Yogyakarta. Berturut turut kemudian naik tahktah Don Louis Balantran de Rosario, putra Katarina Diaz Viera Godinho, kemudian digantikan oleh Joan Bulantran de Rosari, dan pada tahun 1912 digantikan kembali oleh Putra Lorenzo, Johanes Servus Diaz Viera Godinho. Pergantian raja-raja dalam masa kekuasaan kerajaan Larantuka (Raja I-XXIII) adalah sesuatu yang lazim pada masanya. 

Gambar 2: Istana raja Larantuka, terletak di Kelurahan Pohonsiri, Larantuka


Semana santa di Larantuka sebagai ikon kota ini memiliki kausalitas antara peran raja dan tradisi religius bagi masyarakat pribumi. Sejarah panjang hampir 200 tahun tanpa imam dalam masa kekuasan VOC yang anti Katolik, di Larantuka dan seantero wilayah misi di Flores telah menempatkan raja Larantuka sebagai penjaga warisan iman dan tradisi religius tersebut. Dalam tradisi masyarakat pribumi ini, kehadiran Bunda Reinha di kota Larantuka, benar-benar tak terbantahkan. Devosi umat yang kuat kepada Bunda Reinha di Larantuka adalah bukti bahwa ibunda Yesus Kristus ini mendapat tempat  yang istimewa di hati umat Katolik.  


Religiusitas umat yang tampak dalam Prosesi Jumat Agung, yang masih lekat dengan kebudayaan setempat.  Ritus ini sempat mempesona imam yang dikirim ke Larantuka oleh Prefektur Batavia, Mgr. Vrancken. Dalam suratnya, pastor  Sanders kepada uskup Vrancken di Batavia, tertanggal 14 April 1861, sebagai berikut:

“.....bagian upacara ini sedemikian lugas dan indah, begitu mengesankan, sehingga saya tidak mampu memberikan lukisan yang baik. Orang mesti mendengar dan melihat sendiri hal ini, tindakan iman yang indah dari orang-orang kristen bersahaja di tengah malam sunyi, diterangi cahaya bulan benderang di negeri tropis di tengah hutan belantara, yang dikitari ribuan orang tak beriman dan kafir……..”.[2]


BUNDA REINHA LARANTUKA: RELIGIUSITAS RAKYAT
Yang membuat Larantuka istimewa adalah kota ini telah diserahkan kepada perlindungan Bunda Maria oleh raja Larantuka. Raja Larantuka ke-10 Don Lorenzo Usineno II DVG menyerahkan kota Larantuka di bawah perlindungan Bunda Reinha pada 8 September 1888. Raja dilantik secara meriah untuk pertama kalinya dalam sejarah raja-raja Larantuka, yakni  di dalam Gereja Katedral. 


gambar 3: Raja Larantuka dan pembantunya

Upacara nan agung lagi sakral tersebut diiringi oleh brigade musik yang menakjubkan oleh barisan pemain musik  yang dilatih secara khusus oleh Bruder Jesuit, Aloysius van den Biggelar, SJ pada 14 September 1887. Ia membentuk barisan musik tiup, hasil karya seorang bruder Yesuit, Edward vee meulen, SJ. Setelah Kotbah imam, raja bersumpah di depan altar Perawan Tersuci Maria dan meletakkan tongkat kerajaan kepada Bunda Reinha. Selanjutnya Bunda Maria lebih dikenal dengan sebutan Reinha Larantuka atau Ratu Larantuka. 


Menurut laporan para misionaris, raja dan permaisuri adalah pemimpin yang menjadi panutan iman Katolik di wilayah kerajaan. Mereka sangat sering ke Gereja pada hari-hari biasa. Pada tanggal 8 September 1888, pesta Maria sebagai Ratu Larantuka, tongkat raja Larantuka diletakkan di altar Perawan tersuci Maria.[3]  

Dalam perjalanan iman Katolik di kota ini, pemimpin umat Katolik, Uskup Larantuka, Mgr. Gabriel Manek SVD menyerahkan Diosis Larantuka kepada Hati Maria yang Tak Bernoda pada 1954. Uskup Gabriel Manek, SVD adalah pendiri Kongregasi Putri Reinha Rosari (PRR) adalah seorang pemimpin umat yang kuat devosinya kepada Bunda Maria. Ia sangat menghormati Bunda Reinha dan menganjurkan umat Katolik untuk taat dan kuat berdoa melalui perantaraan Bunda Maria. 


Ada tiga simbol yang patut dicatat dalam peristiwa ini. Pertama, religiusitas rakyat. Raja sebagai simbol pemimpin panutan rakyatnya, telah menunjukkan kepada publik bahwa ada harapan mesianis. Masyarakat Larantuka dan kebudayaan Lamaholot  yang menghidupi wujud berkat dari sang penguasa alam semesta, Lera Wulan Tanah Ekan menemukan akar imannya kepada Yesus, yang disebut Kristus dan Tuhan (Kis 2:36) dan melalui peran Maria Reinha yang mengantar anak-anaknya kepada Yesus.[4] Harapan tersebut ditemukan dalam kehadiran Peran Maria Reinha Larantuka di dalam sanubari raja dan rakyatnya. 


Kedua, Kekuasaan adalah pelayanan. Tujuan pembentukan pemerintahan sipil selain memperoleh kekuasaan politik juga mewujudkan kesejahteraan rakyat. Harapan dan tujuan kekuasaan raja di kota Larantuka memiliki ciri yang khas, yang mengikuti peran Maria yang mengabdi Putra-Nya. Spiritualitas Maria yang kuat tertanam dalam sanubari raja Larantuka sehingga meneladani figur Maria sebagai simbol pelayanannya di hadapan rakyatnya. 


Ketiga, Gereja sebagai penjaga iman. Keberhasilan Gereja mengantar raja untuk mendapat penobatan dan berkat Ilahi di dalam Gereja sebetulnya pertama-tama adalah komitmen iman raja dan rakyat Larantuka. Imam sebagai wakil Tuhan menuntun raja sebagai cerminan kehendak rakyat agar menaruh kepercayaan pada otoritas Gereja, wakil Tuhan di dunia. Demikianpun ketika uskup Gabriel Manek, SVD menyerahkan Diosis Larantuka kepada Bunda Maria, merupakan simbolisasi pengakuan akan tuntuntan Gereja. Bapa uskup sungguh menghargai spiritualitas iman rakyat Larantuka yang senantiasa berlindung kepada Maria, Ratu Rosari.
Gambar 4: Patung Bunda Tuan Ma diantar dari kapela menuju Gereja Katedral Larantuka


HARMONISASI NEGARA – AGAMA
Sejarah kota Larantuka adalah harmonisasi Agama-Negara. Meskipun dalam membaca pemerintahan kerajaan di Larantuka, kita tidak bisa membaca pemerintahan yang otonom secara politik dan militer. Karena raja Larantuka de Yure berada di bawah pengawasan atau tunduk kepada pemerintahan koloniali Belanda di Batavia (1859) dan de Fakto diberi kebebasan untuk memerintah sejauh tidak bertentangan dengan garis pemerintahan kolonialisasinya. 


Untuk kasus ini kita membaca dalam kaca mata Negara yang terinternalisasi di dalam pemerintahan tradisional raja-raja Larantuka, baik sebelum maupun sesudah tunduk dan taat di bawah pemerintahan kolonial Portugis dan Belanda[5]. Harus diakui pula bahwa efek hubungan agama-negara tentu tidak bisa dibaca dalam konteks kekinian-hari ini. Sebab mempunyai makna yang berbeda karena memiliki multi tafsir dalam disposisi kekuasaan yang jamak.


Sosiolog Ignas Kleden (1990) mereflesikan kausalitas Agama Negara dalam dua persaingan peran keimanan dan peran profetis. Menurutnya, semakin agama memainkan peran keimanan, semakin dekat hubungan antara agama dan negara, semakin agama memainkan peran profetis, semakin kritis agama terhadap negara.
Tentu, kita tidak hendak membaca kausalitas peran raja Larantuka di satu sisi dan agama Katolik di sisi yang lain, namun yang terbaca dalam perjalanan agama Katolik adalah harmonisasi hubungan antara profetis dan keimanan yang telah membentuk sejarah Larantuka. 


Pertama, agama telah berhasil mengubah wajah budaya Larantuka secara perlahan menjadi religiositas rakyat. Perayaan ‘Semana Santa’ di Larantuka dalam tradisi ratusan tahun telah membuktikan itu. Agama telah membentuk ruang publik masyarakat. Tradisi Semana Santa bukan hanya milik agama tetapi milik rakyat yang dipimpin oleh raja dan kini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memelihara tradisi dalam koridor praktik di ruang publik. Yakni menjamin keamanan dan mobilisasi masa rakyat dan peziarah yang hadir secara baik dan benar di kota Larantuka.


Kedua, otoritas Gereja sebagai pelayan iman. Gereja Katolik dibentuk dalam warisan iman dan tradisi yang benar dalam sejarahnya. Kehadiran Gereja Katolik melalui kepemimpinan Gereja Lokal adalah representatif peran Gereja menuntun iman dan menjaga moral yang benar sesuai misi Gereja. Yakni menunaikan Injil Kristus, kepada manusia jaman sekarang dengan harapan di tengah kegelisahan zaman, supaya di tengah ketidakpastian zaman, Gereja sanggup menunaikan tugas dengan cinta kasih, semangat dan kegembiraan yang besar.[6]


PENUTUP: TUGAS KITA
Harmonisasi dan kerjasama yang konstruktif antara lembaga agama, peran raja Larantuka dan semua pihak yang membentuk sejarah Larantuka adalah keniscayaan. Kita hanya sanggup melanjutkan narasi dan ritus ini bersama dengan kejujuran sejarah dan kerendahan hati. Kita adalah pelaku sejarah itu sendiri dan yang sedang mengikuti perhentian demi perhentian-Nya bersama Bunda-Nya. I can follow him whereever he goes.


Rabu Trewa, Lingkungan St. Yosep Kota Rowido,
Paroki San Juan, 23 Maret 2016.




[1]Karel Steenbrink,Orang-orang Katolik di Indonesia  1808 – 1942. Jilid I. Yosef Maria Florisan (Penerj.) (Maumere: Penerbirbit Ledalero, 2006), Hal. 131.
[2] Ibid. Hal. 142
[3] Ibid. Hal. 163.
[4]Lumen Gentium No. 52-69, Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana (penerj,) (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), pp. 149-163
[5]Menyebut zaman kuasaan Kolonialisasi Belanda di Indonesia yang dicatat sejarah adalah 350 tahun di Indonesia, sebetulnya masih terus diperdebatkan. Karena sejarawan Belanda G.J. Resink telah membatahnya, melalui bukunya: BUKAN 350 TAHUN DIJAJAH (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012). Buku ini sangat penting untuk dibaca karena resink secara metodis, sistimatis membongkar kebohongan tersebut melalui pendekatan hukum Internasional yang dianut pada masa itu dan sesuai dengan standar yang diakui oleh dunia.
[6] Anjuran Paus Paulus VI No. 1, Evangelii Nuntiandi, 8 Desember 1975

2 komentar: