Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Senin, 30 Maret 2020

MENGHINDARI DISTORSI KEBANGSAAN


Oleh : Krisantus M. Kwen
(Dimuat di Opini HU Flores Pos, 10 Oktober 2019)


Harus diakui dengan jujur bahwa masyarakat Indonesia sedang dilanda isu-isu radikalisme idiologis dan fanatisme religius. Fenomena sosial dan politik itu telah mengguncang tanah air kita Persoalan ini jangan dianggap sepele. Oleh karena itu merekatkan hubungan persaudaraan insani di Nusantara hari-hari ini adalah pekerjaan tambahan yang tidak ringan kepada para pemimpin kita. Yang paling dirasakan secara masif dan tersistematis adalah selama masa kampanye menyongsong pemilihan umum (PEMILU) serentak Indonesia tanggal 17 April 2019 yang lalu


Kenyataan pahit tersebut sebagai akibat dari sebagian kecil warga negara yang terpapar radikalisme. Mereka yang terpapar radikalisme bukan hanya berasal dari golongan kecil, orang-orang yang tidak berpendidikan melainkan juga menghinggapi pola pikir oknum tokoh masyarakat dan dari kalangan akademisi. Bahkan kita sempat terhenyak bahwa dari barisan tokoh yang terpapar paham radikalisme tersebut terdapat mantan pemimpin organisasi kader yang berhaluan kebangsaan. Menteri Pertahanan (Menhan) Ryammizard Ryacudu menyebutkan ada 23, 4% mahasiswa Indonesia juga ikut-ikutan terpapar radikalisme dan menyetujui negara khilafah (detiknews 19/07/2019). Sebetulnya apa yang menggerus patriotisme dan semangat kebangsaan kita?


Hari kesaktian Pancasila 1 Oktober  2019 dan hari lahir TNI ke 74 pada 5 Oktober 2019 yang kita peringati dalam minggu ini merupakan momentum untuk mereflekskan pentingnya semangat kebangsaan kita dalam menghadapi radikalisme idiologis dan fanatisme religius tersebut. Saatnya kita bangkit untuk tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada para provokator bangsa yang mengancam kedaulatan dan melemahkan sendi-sendi hidup berbangsa kita.


Reformasi bisa salah arah
Reformasi telah merubah arah perjalanan bangsa ini ke depan pasca rezim Soeharto tahun 1998. Diawali krisis ekonomi dan moneter yang sangat berat yang melanda bangsa dan tanah air Indonesia. Reformasi kala itu menjadi era penuh harapan akan terjadinya penyelengaraan negara yang lebih demokratis, transparan dan memiliki akuntabilitas yang diwujudkan dalam good governance. Yakni dengan maskot kebebasan berpendapat. Tuntutan perubahan yang dimotori oleh mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa tersebut diharapkan makin  mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan pembangunan nasional sebagaimana termuat dalam alinea IV UUD 1945. 


Yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dan gerakan Reformasi tersebut diharapkan dapat mendorong perubahan mental bangsa ini ke arah yang baik. Nyatanya kebebasan di ruang publik bisa menjadi bumerang bagi anak bangsa ketika kebebasan itu tidak dikelola dengan baik dan benar. Inikah reformasi yang kita harapkan? Lihatlah oknum pemimpin kita seenaknya mengeluarkan pernyataan yang berbau SARA. Sementara para penegak hukum belum berani melakukan terobosan untuk memeriksa dan menahan pentolan-pentolan yang terpapar radikalisme. Walaupun peristiwa tersebut secara masif dan sistimatis diberitakan dihampir seluruh media cetak dan media online.


Butuh keberanian untuk bersikap
Menanggapi peristiwa dan indikator tersebut, hemat saya sedang terjadi tiga gejala dalam hidup berbangsa kita. Pertama, ada upaya pelemahan sistim hukum kita. Meskipun perangkat kelembagaan dan terobosan dalil-dalil hukum telah dibuat dan banyak pasal dipakai untuk menjerat para pelaku kejahatan, namun belum banyak terobosan berarti yang dibuat oleh aparatur hukum. Terutama keberanian para penegak hukum melakukan penyelidikan, penyidikan dan penetapan tersangka secara cepat. Alih-alih menetapkan tersangka, yang sudah ditangkap dan ditahan pun harus dilepaskan. Karena ada banyak kasus salah tangkap dalam satu tahun belakangan ini (kompas 18/7/2019). Tentulah keadaan ini akan menciderai rasa keadilan masyarakat. Makin tumpulnya proses penegakan hukum, semakin meyakinkan publik bahwa para oknum penegak hukum sedang melakukan standar ganda penegakkan hukum. Atau yang biasa dikenal dalam adagium klasik, hukum kita ibarat dua sisi mata pisau, tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Secara kasat mata dan telanjang masyarakat awam dapat memberikan penilaian minus. Yakni sedang terjadi persekongkolan dalam penerapan hukum. 


Kedua, ke-gamang-an sosial. Ketakutan jenis ini disebabkan oleh lemahnya integritas pribadi. Eksistensi pribadi oknum penegak hukum mengalami distorsi moral. Entah apa lebel yang dapat diberikan kepadanya: ewuh pakewuh; segan; hormat dan bisa jadi takut terhadap oknum publik yang menjadi calon tersangka. Jika pun terpaksa oknum ini diperiksa, tindakan dan proses hukum terhadapnya menjadi lelet karena alasan prosedural dan banyak alasan klasik lainnya. Tetapi karena para oknum tersebut terlanjur menjadi publik figur, maka susah untuk diperiksa. Alih-alih ditangkap, calon tersangka malah dielu-elukan kalau tidak mau disebut dikunjungi. 


Ketiga, penokohan figur secara karbitan. Lazim publik mengenal ketokohan seseorang harus teruji oleh waktu sehingga kualitas diri dan pertumbuhan pribadinya benar-benar menjadi matang. Alat ukurnya adalah sertifikat, ijazah atau pengakuan formal lainnya. Tetapi perubahan zaman dan perkembangan teknologi informasi ikut menggerus prosedural standar ilmiah tersebut. Digantikan dengan pencitraan ketokohan melalui seleksi karbitan mengikuti selera pasar. Sikap dan pernyataan tokoh karbitan ini malah jauh dari kebenaran otentik. Omongannya tidak berdasar. Apalagi legitimasi ilmiah. Jauh panggang dari api. Karena tokoh jenis ini dibentuk oleh ilusi dengan medsos sebagai domain untuk mencipta pangsa pasar tersendiri. Mengenaskan!


Mengungkapkan kebenaran dan keadilanHarus diakui bahwa hari-hari ini kita juga berada di era kegaduhan pada sebagian lembaga negara, baik lokal maupun nasional. “Moral force” belum sepenuhnya menjadi panglima. Karena para aktor yang terpapar radikalisme mengejar kekuasaan dan demi popularitas sebagai “publik figur”, daripada kompetensi profesionalitas. Meminjam istilah Komarudin Hidayat (2014), seorang tokoh intelektual muslim, bahwa kegagalan tersebut sebagai akibat rendahnya kepercayaan sosial politik masyarakat kepada aparatur negara. Karena oknum tersebut kurang memelihara dan merawat Indonesia. 


Pada titik inilah, masyarakat membutuhkan animasi dan advokasi dari para pemimpinnya. Yakni kinerja aparat hukum yang mengedepankan kualitas SDM, disiplin dan integritas pribadi. Dalam arti tertentu harus dikatakan bahwa aparatur hukum kita mestinya adalah para pejuang kebangsaan serentak pejuang kemanusiaan. Ditangan merekalah nasib bangsa ini ditentuka. Oleh karena itu ada dua sikap yang dianjurkan untuk dimiliki oleh aparatur negara kita, dan bahkan para pejabat publik dalam usaha menumbuhkan semangat kebangsaan. 


Pertama, berani membongkar kejahatan dan melawan ketidakadilan yang sedang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Untuk menunjang niat dan gerakan ini dibutuhkan data yang akurat serta mempertimbangkan banyak hal termasuk dampak perjuangan dengan meminimalisasi korban dari kaum kecil dan lemah. 


Kedua, keberanian untuk mengungkapkan kebenaran di muka umum, baik lisan atau tertulis. Seorang pemimpin mestinya pejuang kemanusiaan yang otentik. Ia harus berani mengenakan  sifat kritis terhadap kasus yang ia hadapi. oleh karena itu dia harus berani mengungkapkan kebenaran tentang adanya ketidakadilan dan membongkar kejahatan serta mengutuk ketidakdilan itu sendiri.


Krisantus M. Kwen
Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka dan Ketua Padma Indonesia Wilayah Flores Timur, Lembata, Alor.






Rabu, 18 Maret 2020

Relevansi Agama Versus Intoleran


Relevansi Agama Versus Intoleran
Kamis, 5 Maret 2020 11:30

Dok
Logo Pos Kupang
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul Relevansi Agama Versus Intoleran

Oleh Krisantus Minggu Kwen (Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka)
POS-KUPANG.COM - Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah teruji sejak berdirinya di tahun 1945. Gerakan militerisme maupun idiologisme mampu ditangkal oleh founding fathers bangsa kita. Para pemimpin negara dapat menyelesaikan dengan tuntas setiap gerakan perlawanan terhadap negara dengan beragam pendekatan.
Pendekatan militer dan keamanan memang digunakan jika siituasi tertentu perlu disikapi karena tuntutan keadaan yang membahayakan keselamatan warga negara. Namun jauh lebih efektif adalah Negara membangun kesadaran masyarakatuntuk hidup rukun bersatu di bawah ideologi Pancasila.


Ideologi yang merupakan dasar negara ini telah menjamin kemerdekaan setiap warga untuk memeluk agama dan kepercayaannya secara baik dan benar. Komitmen ini dipegang oleh pemimpin bangsa kita dengan menciptakan dan menegakkan hukum secara konsisten.
Sementara itu agama-agama yang mampu hidup berdampingan di Indonensia sebetulnya adalah jawaban akan relevansi sosial akan kenyataan perbedaan dalam masyarakat. Di akar rumput (grass root) para pemeluk dapat hidup berdampingan. Ini membuktikan bahwa agama-agama memiliki sebuah visi yang sama untuk membangun masyarakat dan dunia.


Gerakan Anti Toleransi
Munculnya fenomena baru anti toletansi di Indonesia dalam satu dekade terakhir janganlah dianggap sepele oleh para pemimpin kita. Hal demikian muncul seiring dengan perkembangan yang luar biasa melalui media-media alternatif. Kemajuan media digital jugadimanfaatkan secara tidak bertanggungjawab oleh segelintir orang yang mengatasnamakan agama tertentu untuk membangun argumentasi ideologi dan dogmatis secara serampangan dan naif.


Demikianpun merebaknya pemuka-pemuka agama "karbitan" mencoba memengaruhi publik dengan wacana anti tolenasi di sejumlah youtubers yang merebak di media digital. Tetapi harus diakui bahwa agama-agama di Indonesia sama sekali tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada gerakan anti toleransi.
Namun demikian aparatur negara kita tidak boleh lengah akan situasi ini. Menerapkan hukum secara konsisten terhadap kemunculan gerakan anti toleransi adalah jawaban yang paling strategis dari negara untuk menjamin kemerdekaan setiap agama dan kepercayaan dalam melaksanakan ibadatnya.
Guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta, Azyumardi Azra (2010) pernah mengingatkan kita bahwa kendala dan hambatan terhadap kebebasan agama dan keyakinan terletak kepada ketidakmampuan negara menegakkan undang-undang dan ketentuan dan peraturan hukum nasional maupu internasional (yang sudah diratifikasi) dalam kehidupan aktual umat beragama. Rambu-rambu ini seharusnya diwaspadai secara baik, benar dan terukur oleh aparatur hukum kita. Penelitian dari lembaga Setara Institute 12 tahun terakhir ini memperlihatkan pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh aparat negara kita dalam menegakkan hukum. Karena ormas keagamaan, aparat kepolisian, dan pemda ternyata ikut terlibat dalam tindakan intoleransi (Kompas, 5/2/2020).
Jika mau jujur, maka kita harus mengakui bahwa fenomena-fenomena kemunculan youtubers yang menyerang sistem dogmatis dan teologi agama-agama tertentu merupakan penyangkalan akan relevansi agama dalam hidup berbangsa dan bertanah air.


Irelevansi agama tersebut merupakan bentuk lain dari upaya untuk melemahkan sistem bernegara yang telah disepakati oleh founding fathers kita. Membiarkan fenomena ini merebak tanpa upaya untuk menangkalnya sama dengan menyimpan bom waktu yang akan meledak kapan saja dan dimana saja di seluruh pelosok tanah air Nusantara ini.

Antisipasi Kegagalan
Pada umumnya ada dua gejala yang merongrong kewibawaan hukum ketika berhadapan dengan gerakan intoleransi di Indonesia. Pertama, kurangnya kemauan politik penguasa. Indikatornya terletak pada keengganan aparat pemerintah dan aparat hukum dalam menjamin aktualisasi kebebasan beragama dan keyakinan. Pluralistik merupakan konditio sine qua non keberadaan bangsa ini.
Komposisi keberadaan para pemeluk agama beragam di setiap wilayah. Apalagi dengan corak dan karakter yang dinamis itu bertumbuh di Nusantara. Tugas negara adalah menjamin keberadaan dan keragaman umat ini dengan segala hak dan kewajibannya. Negara tidak boleh lengah untuk membiarkan munculnya dominasi mayoritas dan tirani minoritas untuk menggagalkan kerukunan hidup beragama.
Aparatur negara yang tidak konsisten untuk melaksanakan penegakkan hukum itu -hari hari ini dapat kita kita lihat dengan kasat mata. Ada oknum aparat yang menerbitkan surat pendirian rumah ibadat, akan tetapi kemudian tidak berani menjaga marwah hukumnya karena tunduk dan takut terhadap tekanan minoritas yang menolak pembangunan rumah ibadat. Negara menjadi lemah dihadapan kaum intoleran.


Mentalitas seperti ini dapat menggerus kewibawaan hukum kita. Kedua, lemahnya dukungan sipil terhadap penegakkan aturan dan hukum. Salah salah satu alat kontrol negara adalah masyarakat sipil (civil society). Pembiaran masyarakat terhadap tekanan tirani minoritas dalam menggagalkan penegakkan hukum merupakan kegagalan peran masyarakat sipil dalam hidup bernegara.
Elemen-elemen masyarakat sipil sebetulnya dapat menjadi mitra strategis negara dalam membangun bangsa agar perkembang sesuai dengan cita-cita berdirinya negara ini.


Momentum Kerukunan Hidup Beragama
Hari-hari ini media-media arus utama (mainstream) Indonesia baik cetak maupun online memberitakan niat dan rencana pemerintah dan sejumlah tokoh agama di Indonesia untuk bersepakat membangun kerukunan umat beragama di tingkat nasional maupun Internasional.
Momentum yang digunakan oleh paratokoh Indonesia adalah rencana kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia. Hal itu diketahui setelah ada undangan pemerintah Indonesia kepada pemimpin Negara Vatikan itu untuk berkunjung ke negara kita. Kita memang banyak berharap kepada agenda-agenda bersama yang mendorong terciptanya iklim kerukunan diantara anak bangsa.


Upaya melibatkan dan memengaruhi segenap komponen untuk mempertahan iklim kerukunan merupakan imperatif, kewajiban yang hakiki bagi tegak berdirinya negara ini. Karena komitmen founding fathers Indonesia adalah menciptakan iklim politik berbangsa yang mengakomodir keragaman agama dan kepercayaan. Demikianlah jati diri Indonesia yang sesungguhnya. Menafikan kebebasan agama-agama dan kepercayaan di ruang publik sebetulnya kita sedang menciptakan irelevansi peran agama-agama itu sendiri.
Oleh karena itu kita harus sepakat untuk mempertahankan konsistensi bangsa ini dengan melawan setiap gerakan anti toleransi di setiap sudut negeri ini. Semoga.


Artikel ini telah tayang di 
pos-kupang.com dengan judul Relevansi Agama Versus Intoleran, https://kupang.tribunnews.com/2020/03/05/relevansi-agama-versus-intoleran?page=all.

Editor: Kanis Jehola