Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Sabtu, 23 Januari 2016

CATATAN POLITIK DAN HUKUM



BLUNDER POLITIK DAN HUKUM INDONESIA

(Usaha Mengembalikan Kepercayaan Rakyat pada Negara)



oleh Krisantus M. Kwen
(Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka)




Mengakhiri tahun 2015, masyarakat Indonesia telah disuguhkan sebuah pengadilan yang terbuka (dan tertutup) kepada ketua DPR RI, Setya Novanto (SN) berdasarkan laporan Sudirman Said (SS), menteri ESDM kepada DPR RI. Kemudian Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menyidangkan perkara tersebut karena SN diduga melakukan pencemaran nama baik Presiden dan wakil presiden. Seperti sebuah skenario, perhatian publik diarahkan oleh sutrada film di panggung politik Indonesia dengan latar: dugaan pelanggaran politik aparat negara menuju rana hukum positif. 


Tahun 2016 masih menyisakan pertanyaan publik yang tidak boleh dianggap sepele oleh aparatur negara di bidang penegakkan hukum, apakah hukum (etik) bisa menyelesaikan persoalan politik ketatanegaraan karena menyeret kepala negara? Karena presiden dan wakil presiden didudukan sebagai objek perkara oleh pelapor (SS) dan (SN) sebagai terlapor. Dapat diduga bahwa politik dan hukum diperhadapkan dan jabatan kepala negara dipertaruhkan di depan publik dalam skenario tersebut.


Akhir sebuah skenario
17 anggota MKD (16/12/2015) telah menyudahi sengketa “Papa minta saham”, yang dilakukan oleh ketua DPR RI Setya Novanto (SN), yang diduga mencatut nama kepala Negara (Eksekutif), presiden Jokowi dan wakil presiden Yusuf Kala untuk mendapat keuntungan saham PT Freeport Indonesia. 10 Vs 7 adalah angka pertarungan konsistensi lembaga Negara (Legislatif) DPR RI melalui proses sidang Mahkamah Kehormatan (MKD) yang kontroversi itu. 10 orang hakim MKD memutuskan sanksi sedang, dan 7 orang hakim MKD menjatukan sanksi berat. Jika publik merujuk kepada Pasal 147 ayat (4) UU MD3, bahwa amar putusan MKD berbunyi “menyatakan teradu tidak terbukti melanggar atau menyatakan teradu terbukti melanggar”, maka seyogyanya MKD wajib membuat sebuah keputusan untuk meligitimasi numerik poling anggota MKD tersebut, apakah SN bersalah atau tidak bersalah. Karena hasil poling anggota MKD harus diikuti oleh legitimasi sebuah keputusan, mengingat para anggota MKD adalah hakim-hakim dalam sidang sebuah perkara. 


Rakyat butuh kepastian hukum
MKD telah penghentikan sidang setelah membaca surat pengunduran diri Setya Novanto. Setidaknya ada tiga landasan berpikir yang perlu dicermati. Pertama, publik telah disodorkan sebuah kesimpulan sidang tanpa landasan legitimasi (legalstanding). Legitimasi adalah sebuah prasyarat kebenaran (bonum). Karena seluruh proses tata beracara objek pengadilan sebagaimana jalannya peraturan-peraturan hukum sebagai hukum formil yang harus dilaksanakan. Mengurangi salah satu syarat formil dari seluruh proses persidangan MKD di atas, dengan tidak membuat keputusan apapun adalah melahirkan proses beracara yang cacat hukum. 


Sekalipun sidang MKD adalah persidangan soal kepantasan atau substansi pada etika atau tidak beretika seorang SN dalam kasus “Papa minta saham”. Implikasi dari proses tersebut menuntut konsekuensi moral para penegak hukum publik untuk menegakkan keadilan di rana hukum positif. Oleh karena itu dibutuhkan kecermatan lembaga hukum formil untuk segera melanjutkan proses hukum secara publik, baik pada institusi Mahkamah Agung maupun lembaga Kepolisian. 


Tidak kurang Jaksa Agung Muhamad Prasatyo kepada salah satu media on line nasional (16/12/2015) telah menegaskan bahwa keputusan MKD akan memperkuat penyelidikan di kejaksaan agung RI. Kita berharap Jaksa Agung benar-benar konsistensi dengan ucapannya. Komitmen tersebut harus diwujudkan dihadapan rakyat dengan menindaklanjuti sikap hukum melalui proses penegakkan keadilan secara pertanggung jawab. Karena komentar aparat penegak hukum tersebut bagaikan press release kepada publik dan mereka telah mengibarkan bendera perang terhadap ketidakadilan hukum. Dengan demikian pernyataan aparat negara tersebut tidak hanya untuk membangun argumen politik sesaat untuk menyenangkan rakyat yang telah resa dan gelisa karena lemahnya sense of crisis aparatur negara dalam kasus “Papa minta saham”. Jika pada akhirnya press release tersebut tidak diikuti oleh langkah konkret penegakkan hukum, maka upaya tersebut hanyalah lip service, sekedar memuaskan dahaga politik rakyat sesaat. 


Kedua, MKD sebetulnya momentum mengembalikan hak demokrasi kepada rakyat karena itu hukum tertinggi dalam negara yang menganut paham demokrasi seperti negara Indonesia ini. Sidang MKD dilaksanakan secara terbuka untuk masyarakat, sekalipun pada agenda yang menghadirkan SN tidak dipublikasikan secara terbuka kepada masyarakat. Pada titik ini demokrasi mengalami ‘cacat proses’. Sehingga sangat disayangkan, MKD gagal memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Karena masyarakat sudah cukup cerdas untuk menilai pemimpinnya (yudikatif) membuat kebijakan. Konsep demikian disebut oleh Roland Pennock (1979) sebagai sebuah tindakan politik. Gambaran kebijakan politik tersebut sebetulnya secara cerdas dapat teraplikasi secara seimbang dalam keputusan hakim MKD. 


Namun amat disayangnya momentum tersebut tidak digunakan secara cerdas. Hakim yang adil bila amar putusannya dikemas dalam tiga asas secara seimbang (Triadism of Gustav Raadbruch), yakni asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Seandainya perkara “Papa minta saham” divonis dengan sanksi pelanggaran sedang, maka memberhentikan SN dari ketua DPR RI adalah memenuhi kepatutan karena bersinggungan dengan “pencemaran” martabat lembaga Presiden (eksekutif), yang wajib dihormati oleh segenap komponen bangsa dan negara. Dengan memutuskan (legalstanding) SN bersalah atau tidak bersalah, akan memenuhi asas kemanfaatan karena akan mengurangi gejolak dan mengembalikan rasa kepercayaan rakyat kepada lembaga DPR RI (legislatif). Dan asas kepastian hukum dapat diciptakan melalui keputusan MKD (yudikatif). 


Menonton keputusan MKD tanpa keputusan (decision without decision) yang menyatakan diri dalam jurisprudensi, yaitu keputusan sidang MKD, membuat publik terkesima, bahwa 17 hakim MKD tersebut “terkapar” dihadapan realitas hukum formil, ketika mereka tidak berdaya membuat keputusan (decision makers). Ketiga, kegagalan pendidikan politik melalui penegakkan hukum oleh lembaga publik bagaikan blunder. Tadinya rakyat berharap DPR RI yang terjelma dalam diri MKD akan melahirkan produk kebijakan yang merakyat. Karena di dalam tubuh MKD terakumulasi keragaman idiologi politik lintas partai yang bertarung untuk kepentingan bangsa dan negara. Namun dihadapan rakyat pula, ternyata hakim-hakim “yang mulia” bertekuk lutut dihadapan kepentingan jangka pendek “menyelamatkan” SN. 


Kembalikan kepercayaan rakyat
“Papa minta saham” adalah “hutang” Negara kepada Rakyat. Ini adalah pembelajaran yang amat berharga bagi “Rakyat” dan “DPR” kita dalam regulasi proses berbangsa dan bernegara. Momentum ini beralih menjadi “PR” besar aparatur negara di bidang penegakkan hukum sepanjang tahun 2016. Semoga Lembaga-lembaga Negara tidak lagi mengalami degradasi hukum dan politik untuk kepentingan jangka pendek. Hukum dan politik wajib didudukkan secara proporsional dan konstruktif untuk kemajuan demokrasi dan kehidupan bangsa dan negara yang baik dan benar. Sebab rakyat menghendaki hukum harus ditegakkan dan politik harus diabdikan untuk kepentingan bangsa dan negara.