Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Senin, 25 Januari 2021

DONALD TRUMP DAN PERILAKU POLITIK KITA

 Dimuat  Koran Poskupang Online dan Cetak, Jumat, 22Januari 2021

 

Oleh Krisantus M. Kwen

Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka

Latar belakang Gedung Capitol Hill, Washington DC

Di tengah perjuangan bangsa Indonesia dan dunia internasioal yang sedang berjibaku memerangi pandemi Covid-19, datang berita yang mengejutkan jagad mondial. Amerika Serikat (AS) digucang kerusuhan massa. Pendukung Presiden Donald Trump menyerbu Gedung Capitol di Washington DC (06/01/2021) pada saat Konggres Amerika Serikat sedang bersidang untuk mengesahkan hasil pemilihan presiden yang dimenangkan oleh Joe Biden (Kompas online 8/1/2021).  

 

Hari-hari ini AS berada di bawah tekanan dan kecaman internasional karena negara yang dijuluki maskot demokrasi tersebut justru tidak dapat menahan serangan pada demokrasinya sendiri. Pemicu kerusuhan tersebut dibiangi oleh presidenmya sendiri si gaek Donald Trump. Demikian Twitter mantan presiden Amerika, Barack Obama dalam akunnya @BarackObama yang diunggah 7 Januari 2021. Bahwa Kerusuhan Negara pengusung Demokrasi terbesar dunia ini dipicuh oleh seorang presiden yang terus berbohong tentang hasil pemilihan umum (www.pikiran rakyat 7/1/2021).

PERILAKU AKTOR POLITIK

Kerusuhan massa pendukung presiden Donald Trump di Capitol Hill membuktikan bahwa tradisi demokrasi  yang berusia ratusan tahunpun bisa dilecehkan oleh kekuasaan yang korup. Fenomena Donald Trump di akhir masa jabatan yang kontroversi tersebut setidaknya memberikan tiga pelajaran berharga kepada kita.  

 

Pertama, substansi kebenaran demokrasi adalah perilaku kekuasaan. Kemajuan  teknologi informatika dengan maskot media daring tidak dapat menghentikan penyelewengan kebenaran. Salah satu keunggulan media digital adalah dapat memberikan akses yang cepat kepada pengguna media dan memengaruhi pembentukan opini publik. Potensi dan peluang ini serempak bisa menjadi kelemahan dan ancaman bagi demokrasi jika dimanfaatkan secara salah oleh kaum oportunis media massa. Mereka menyalagunakan media online untuk kepentingan tertentu. Potret kemenangan Donald Trump tahun 2016 yang diduga disokong oleh informasi dari media sosial (Media Indonesia 30/09/2017). 

 

Bahkan para peneliti akademisi sekaliber New York University dan Stand Ford university menemukan indikasi itu ketika meneliti pengaruh berita palsu (fake news) yang disiarkan media sosial menjelang pemilihan (A. Margana, 2017). Publik AS tentu tidak mau mengulangi kesalahan yang sama pada pemilihan presiden pada periode selanjutnya. Benar, bahwa terobosan masif media sosial yang didukung dana yang besar dan konstan dapat pembentuk opini dan memengaruhi pilihan warga terhadap calon presidennya. Pada kasus ini media sosial benar-benar dimanfaatkan secara brutal oleh petualang politik dengan mengedepankan Fake News secara terstruktur dan sistimatis. Donald Trump memainkan strategi untuk membentuk opini publik tentang hasil pemilihan presiden yang curang. 

 

Mayoritas publik Amerika tentu mengikuti sepak terjang perjalanan karir politiknya. Mereka bertanggung jawab menjatuhkan pilihan dan menentukan nasib politik Trump. Kekalahan Trump membuktikan bahwa perilaku politik yang menyimpang dari kehendak publik berdampak pada penolakan mayoritas publik kepadanya dalam pemilihan presiden. Rakyat AS telah melihat bukti dalam perjalanan karir politik Tramp. Pembelajaran yang efektif bagi para pemimpin masa kini bahwa Fake News dan trend politik sejenisnya tidak akan bertahan dalam sistem demokrasi. Perilaku pejabat politik ikut menentukan perjalanan karirnya. Sebab  substansi kekuasaan sebetulnya terletak pada kesaksian (weekness) perilaku aktor politik itu sendiri.   

 

Kedua, adanya penyimpangan komunikasi. Propaganda melalui media sosial merupakan salah satu indikator dalam memenangkan pemilihan umum. Pasca kemenangan Donald Trump pada pemilu 2016 di AS, media massa memperbincangkan berita palsu yang memengaruhi kemenangan pemilihan umum tersebut. Pakar politik, sosial, dan komunikasi di lembaga-lembaga akademisi melakukan penelitian terhadap isu tersebut. 

 

Tidak kurang Mark Zuckerberg, pemilik akun jejaring sosial Facebook pun mendapat kecaman karena dianggap bertanggungjawab terhadap penyebaran berita palsu yang memenangkan Trump. Demikianpun Mantan Presiden Barack Obama mengulangi hal yang sama bahwa Facebook bertanggung jawab terhadap serangan dan kebohongan yang berulang kali sehingga orang mempercayainya (CNN Indonesia, 14/11/2016).

 

Metode Fake News dianggap masih efektif untuk membentuk opini publik demi kemenangan politik. Akhirnya mayoritas pemilih terpengaruh dengan issu demikian dibandingkan memilih calon berdasarkan kinerja, program dan karakteristik personal (bbc News Indonesia, 20/4/2017).  Perilaku komunikasi demikian disebut Haryatmoko (2007) sebagai sebentuk penyelewengan karena memanipulasi dan demagogi dalam politik. Ia melampaui etika komunikasi karena oknum telah melakukan kekerasan dan tekanan yang berdampak pada hilangnya kebebasan massa publik dan tunduk pada tekanan. Hal tersebut ditandai dengan kebohongan yang diorganisir, menghilangkan kebebasan pendengar, dan tersedianya alat untuk mengalahkan resistensi dengan  media massa pendukungnya.  

 

Ketiga, politisasi kepentingan jangka pendek. Selama masa pemerintahannya Trump menunjukkan perilaku politik fenomenalnya. BBC News Indonesia (1/11/2020)  menyebutkan bahwa ia telah mengubah dunia yang dimulai dengan memperhatikan issu tembok perbatasan dengan Negara-negara Amerika Latin, ‘berita bohong’, dan perselisihan dengan China serta perilaku fenomenal lainnya yang mencemaskan dunia internasional. Beliau bersikukuh untuk tidak melanjutkan semua hasil pertemuan presiden-presiden AS sebelumnya. 

 

Perilaku-perilaku politik seperti ini hemat saya adalah usaha tendensius membangun citra politik jangka pendek untuk kepentingan kekuasaan bukan demi pelayanan publik sebagaimana substansi politik itu sendiri. Kecendrungan demikian menisbahkan adagium: politik itu kotor, politik untuk memperkaya diri dan kroni-kroninya. Pasca reformasi godaan semacam itu justru membuncah. Karena kekuasaan telah disalahgunakan oleh rezim untuk memperkaya diri dan orang lain. Semakin tinggi kedudukan seseorang, makin para kejatuhannya, Corruptio Optimi Pessima.