Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Rabu, 08 April 2020

MENYEBERANGI IDEALISME MENUJU REALITAS SOSIAL


(Memahami puisi-puisi Thomas Are dari perspektif teologi kontekstual)
Oleh : Krisantus M. Kwen[1]



Gambar: Cover Buku "CERMIN" karya Thomas Are, yang biasa disapa Tom Aresta. Atau dengan Nama seninya Penyair Gila.
Opini ini disampaikan penulis dalam diskusi Buku "CERMIN" yang diinisiasi & dipandu oleh Anselmus Atasoge. Yang dibuka oleh Ketua STP RL- P. Petrus Tukan, SVD. Yang menghadirkan 4 orang pembicara, yakni tiga orang dosen: Penulis, Sr. Theodora, CIJ, Alfons Aran, dan seorang pengamat seni, Karolus Larantukan.


1. PENGANTAR
Puisi dan politik menurut saya beda-beda tipis karena keduanya adalah sebuah seni kemungkinan. Yang membedakannya adalah cara mengekspresikan perasaan. Puisi hadir dikala ada gejolak dalam perasaan yang membutuhkan media untuk diungkapkan, namun politik adalah goncangan gejolak sosial yang membutuhkan media gerakan. Yang pertama mengekspresikan diri dengan kata-kata dengan tulisan dan yang kedua mengekspresikan diri dengan gerakan perjuangan. Keduanya mempunyai tujuan yang sama yakni menghendaki perubahan. Puisi berhenti pada gugatan sementara politik itu ingin merubah dan menggerakkan perubahan. Tetapi keduanya adalah seni yang sedang diperlihatkan dengan ekspresi yang berbeda. Benang merah yang mempertemukan keduanya adalah “empati” sosial dan “gerakan” sosial.


Teologi kontekstual yang saya maksudkan dalam kesempatan ini adalah melihat kembali realitas puisi-puisi Thomas Are sebagai sebuah konteks tertentu dalam memahami iman kristiani. Dan ini menurut teolog Stephen B. Bevans sebagai sebuah imperatif.[1] Realitas ini merupakan sebuah kewajiban bagi orang-orang Kristen untuk tidak berhenti pada kepuasan diri semata melainkan menanggapi setiap peristiwa kehidupan dengan cara yang baru untuk melihat kehendak Tuhan dalam peristiwa tersebut. Di sana ada dinamika antara injil dan tradisi di satu sisi dan kebudayaan serta perubahan sosial di sisi yang lain. Hemat saya dalam mempersatukan dua seberang ini manusia Kristiani membutuhkan titian agar impiannya terseberang menuju realitas sosial.

2.     MEMAHAMI TEOLOGI DENGAN CARA BARU
Demikianlah iman kristiani memperlakukan teologi atau refleksi iman sebagai sesuatu yang baru. Karena memahami teologis sebagai sesuatu yang kontekstual menurut  Bevans adalah sebuah penegasan yang baru.[2] Iman kristiani yang hidup dalam diri orang Kristiani mencerminkan teologis yang selalu dinamis karena sebetulnya ia sedang melakukan teologi. Seseorang atau kelompok orang yang sedang melakukan teologi kontekstual menurut Bevan sebetulnya sedang memperhatikan dua hal sekaligus.


Pertama, ia menghiraukan pengalaman iman dari masa lampau yang terekam dalam Kitab Suci dan dijaga agar tetap hidup. Hal ini dipelihara supaya terus hidup, dilestarikan dan ditetap dijaga serentak dibela.


Kedua, teologi kontekstual secara sungguh-sungguh memperhatikan pengalaman masa sekarang yang konteks aktual. Ini merupakan pengalaman yang kompleks karena Konteks itu menyangkut “pengalaman pribadi dan kolektif”. Bagaimana manusia kritiani dihadapkan pada sebuah realitas keberhasilan, kegagalan, kekecewaan, kebangaan, kelahiran juga kematian, dan lain-lain sehingga mendorong manusia kristian untuk mengalami Allah dalam kehidupannya. Pengalaman-pengalaman itu hanya dimungkinkan untuk diwujudkan dalam bentuk-konteks kebudayaannya, yakni “sistem konsepsi warisan” yang diungkapkan melalui simbol oleh orang-orang yang mengkomunikannya, melestarikan dan mengembangkannya. Demikian pun manusia yang menghidupi pengalaman tersebut dalam konteks lokasi sosial. “Lokasi sosial” merupakan prasyarat adanya posisi seseorang yang sedang melakukan teologi. Seorang yang berteologi pada posisi ini adalah dia yang memiliki jatidiri karena ia tahu kapan, dimana dan bahkan waktu yang tepat untuk mengamati, merefleksikan, dan mekaksanakan sikap sebagai orang beriman.


3.     MENYEBERANG IDEALISME SEBAGAI SEBUAH GERAKAN

   Harus diakui bahwa secara sosiologis kekristenan itu dimulai sebagai sebuah gerakan keagamaan yang dipelopori Yesus yang disebut sebagai Kristus dari Nasaret. Isi pesannya adalah upaya pembaruan untuk kedatangan kerajaan Allah. Seruannya yakni menghendaki orang untuk bertobatlah sebab kerajaan Allah sudah datang (Mat 4:7). Seiring perjalanan pewartaan, gerakan itu berubah menjadi komunitas kristiani sebagai titik awal umat kristen perdana. Tugas yang dipikul seorang yang berlabel Kristiani yakni melakukan tiga hal secara adekuat.[3] Yakni melakukan analisis peran, analisis faktor, dan analisis fungsional.  

  Analisis peran itu menyelidiki perilaku manusia yang khas. Analisis faktor untuk meneliti hubungan sebab akibatnya di dalam masyarakat secara keseluruhan, dan analisis fungsional melihat implikasinya terhadap masyarakat yang menjadi lingkup realitas sosial. Semua fungsi demikian menurut gerard Theissen dapat dipakai untuk menjelaskan kehidupan jemaan Kristen perdana. Sedangkan secara inovasi, agama dan umatnya dapat melakukan “gerakan” yang tampak seperti kehidupan jemaat perdana. Idealisme seorang kristiani harus dibaca sebagai sebuah gerakan karena sedang menata kacamata refleksinya sebagai bentuk ungkapan pengalaman. Karena pengalaman merupakan sebentuk kejujuran realitas sosial. Sehingga mendorong seseorang yang beragama untuk melakukan sebuah gerakan ke dalam dirinya sebelum melakukan perubahan di luar dirinya.


4.     MEMBACA PUISI THOMAS ARE SEBAGAI SEBUAH GERAKAN

  Membaca Puisi Thomas Are menghadapkan saya pada kenyataan sosial teologis kehidupannya. Bahwa latar belakang kampung halaman Thomas Are yang Katolik tua – Wureh ikut membentuk karakter puisi-puisinya.  Puisi-puisi ini lahir kedalaman hatinya. Dia tentu selalu gelisa terhadap kenyataan realitas - realitas: sosial keagamaannya, atau kenyataan-kenyataan teologis-biblisnya.
Pertama, seorang Thom Aresta mencoba untuk menukik pada kenyaataan pengalaman iman masa lampau yang berbau biblis – teologis. Dia hendak membaca pengalaman masa lampau untuk direduksi ke dalam kenyataan hari ini. Pengalaman Kitab Suci menurutnya bisa disejajarkan dengan realitas yang ia hidupi. Namun hemat saya goresan Thom, terlampau mengagungkan pengalaman masa lampau, dan kurang tajam mensandingkan dengan kenyataan sosial hari ini. Hal itu dilihat melalui Puisi seperti cahaya paskah dan jatuhnya iblis. Memang kelebihan Puisi Are yakni  menampilkan kekuatan cerita biblis, namun masih lemah dalam mengungkapkan kenyataan sosial di sekitarnya. Pengalaman pribadi begitu tampak sebagai isi pada puisi-puisinya seakan menjadi kekuatan plot narasi. Hal ini juga baik sebagai pembentuk identitas, namun bisa jadi mengurangi idealisme sosial yang seharusnya menjadi penyeimbang dari “warta” teologisnya. Seperti cinta putih, dinding hati, hati yang mendua, jaga hati nanti patah hati


Kedua, teologis-biblis hendak diperhadapkan pada konteks teologis hari ini. Saya hampir mengalami kesulitan untuk menemukan gagasasan literer yang memunculkan narasi ini. Maksud saya adalah realitas-realitas yang menjadi keprihatinan bersama manusia menjadi tema puisinya. Mencari keberpihakkan adalah sebuah cara berteologi karena kontekstualisasi adalah kunci berteologi hari ini. Pertanyaannya adalah apakah agama dan iman masih relevan untuk umat hari ini. Puisi yang menghibur hati adalah “Pembunuh Tuhan” karena berani memperlihatkan kenyataan keluarga-keluarga zaman ini.


Ketiga, kekuatan dari puisi Thomas adalah narasi-narasi hasil refleksi ini lahir dari pengalaman pribadi, konteks sosial, dan lokasi sosial. Karena pengalaman manusiawinyalah menjadi kekayaan sharing pengalaman hidup. Justru di sinilah katekese mendapat tempat yang khas, yakni sharing pengalaman hidup yang berakar pada pengalaman imannya. Atau akar spiritualitasnya telah mengajari Are untuk dengan jujur mengakui semua pengalaman itu.



5.     PENUTUP
Apresiasi terhadap penerbitan Puisi yang sangat bagus ini. Keberanian untuk memulai adalah serempak keberanian untuk bersaksi. Justru di sinilah independensi katekese yang lahir dari pengalaman hidup sehari-hari. Jika perasaan adalah domain utama untuk memperoleh bentuk awal perubahan, maka puisi dan politik adalah sama-sama memiliki motiv yang sejalan walaupun berbeda arah. Yang menyatukan arah gerak puisi-puisi Tomaresto adalah gerakan keprihatinan yang lahir dari kepingan hidup rohaninya yang terlahir dari seorang anak yang menghidupkan Tradisi Katolik Nagi Wureh. Karena dia mencoba menghidupi nilai rohaninya sebagai seorang Katekis, guru agama Katolik


Waibalun, 22 Februari 2020



[1] Stephen B.. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual (Maumere: Penerbit Ledalero), hal. 1
[2] Ibid, hal 2.
[3] Gerard Theissen, gerakan Yesus (Maumere: Penerbit Ledalero), hal. 2




[1] Disampaikan dalam diskusi Buku CERMIN, karya Thomas Are di Kampus STP Reinha Larantuka, Sabtu, 22 Februari 2020.