(Memahami puisi-puisi Thomas Are
dari perspektif teologi kontekstual)
Oleh : Krisantus M. Kwen[1]
Gambar: Cover Buku "CERMIN" karya Thomas Are, yang biasa disapa Tom Aresta. Atau dengan Nama seninya Penyair Gila.
Opini ini disampaikan penulis dalam diskusi Buku "CERMIN" yang diinisiasi & dipandu oleh Anselmus Atasoge. Yang dibuka oleh Ketua STP RL- P. Petrus Tukan, SVD. Yang menghadirkan 4 orang pembicara, yakni tiga orang dosen: Penulis, Sr. Theodora, CIJ, Alfons Aran, dan seorang pengamat seni, Karolus Larantukan.
1. PENGANTAR
Puisi
dan politik menurut saya beda-beda tipis karena keduanya adalah sebuah seni
kemungkinan. Yang membedakannya adalah cara mengekspresikan perasaan. Puisi
hadir dikala ada gejolak dalam perasaan yang membutuhkan media untuk
diungkapkan, namun politik adalah goncangan gejolak sosial yang membutuhkan
media gerakan. Yang pertama mengekspresikan diri dengan kata-kata dengan
tulisan dan yang kedua mengekspresikan diri dengan gerakan perjuangan. Keduanya
mempunyai tujuan yang sama yakni menghendaki perubahan. Puisi berhenti pada
gugatan sementara politik itu ingin merubah dan menggerakkan perubahan. Tetapi
keduanya adalah seni yang sedang diperlihatkan dengan ekspresi yang berbeda.
Benang merah yang mempertemukan keduanya adalah “empati” sosial dan “gerakan”
sosial.
Teologi kontekstual yang saya maksudkan dalam
kesempatan ini adalah melihat kembali realitas puisi-puisi Thomas Are sebagai
sebuah konteks tertentu dalam memahami iman kristiani. Dan ini menurut teolog
Stephen B. Bevans sebagai sebuah imperatif.[1]
Realitas ini merupakan sebuah kewajiban bagi orang-orang Kristen untuk tidak
berhenti pada kepuasan diri semata melainkan menanggapi setiap peristiwa
kehidupan dengan cara yang baru untuk melihat kehendak Tuhan dalam peristiwa
tersebut. Di sana ada dinamika antara injil dan tradisi di satu sisi dan
kebudayaan serta perubahan sosial di sisi yang lain. Hemat saya dalam
mempersatukan dua seberang ini manusia Kristiani membutuhkan titian agar impiannya
terseberang menuju realitas sosial.
2. MEMAHAMI
TEOLOGI DENGAN CARA BARU
Demikianlah
iman kristiani memperlakukan teologi atau refleksi iman sebagai sesuatu yang
baru. Karena memahami teologis sebagai sesuatu yang kontekstual menurut Bevans adalah sebuah penegasan yang baru.[2]
Iman kristiani yang hidup dalam diri orang Kristiani mencerminkan teologis yang
selalu dinamis karena sebetulnya ia sedang melakukan teologi. Seseorang atau
kelompok orang yang sedang melakukan teologi kontekstual menurut Bevan
sebetulnya sedang memperhatikan dua hal sekaligus.
Pertama,
ia menghiraukan pengalaman iman dari masa lampau yang terekam dalam Kitab Suci
dan dijaga agar tetap hidup. Hal ini dipelihara supaya terus hidup,
dilestarikan dan ditetap dijaga serentak dibela.
Kedua,
teologi kontekstual secara sungguh-sungguh memperhatikan pengalaman masa
sekarang yang konteks aktual. Ini merupakan pengalaman yang kompleks karena Konteks
itu menyangkut “pengalaman pribadi dan
kolektif”. Bagaimana manusia kritiani dihadapkan pada sebuah realitas
keberhasilan, kegagalan, kekecewaan, kebangaan, kelahiran juga kematian, dan
lain-lain sehingga mendorong manusia kristian untuk mengalami Allah dalam
kehidupannya. Pengalaman-pengalaman itu hanya dimungkinkan untuk diwujudkan
dalam bentuk-konteks kebudayaannya, yakni “sistem konsepsi warisan” yang
diungkapkan melalui simbol oleh orang-orang yang mengkomunikannya, melestarikan
dan mengembangkannya. Demikian pun manusia yang menghidupi pengalaman tersebut
dalam konteks lokasi sosial. “Lokasi sosial” merupakan prasyarat
adanya posisi seseorang yang sedang melakukan teologi. Seorang yang berteologi
pada posisi ini adalah dia yang memiliki jatidiri karena ia tahu kapan, dimana
dan bahkan waktu yang tepat untuk mengamati, merefleksikan, dan mekaksanakan
sikap sebagai orang beriman.
3. MENYEBERANG
IDEALISME SEBAGAI SEBUAH GERAKAN
Harus diakui bahwa secara sosiologis kekristenan itu
dimulai sebagai sebuah gerakan keagamaan yang dipelopori Yesus yang disebut
sebagai Kristus dari Nasaret. Isi pesannya adalah upaya pembaruan untuk
kedatangan kerajaan Allah. Seruannya yakni menghendaki orang untuk bertobatlah
sebab kerajaan Allah sudah datang (Mat 4:7). Seiring perjalanan pewartaan,
gerakan itu berubah menjadi komunitas kristiani sebagai titik awal umat kristen
perdana. Tugas yang dipikul seorang yang berlabel Kristiani yakni melakukan
tiga hal secara adekuat.[3]
Yakni melakukan analisis peran, analisis faktor, dan analisis fungsional.
Analisis peran itu menyelidiki perilaku manusia yang
khas. Analisis faktor untuk meneliti hubungan sebab akibatnya di dalam
masyarakat secara keseluruhan, dan analisis fungsional melihat implikasinya
terhadap masyarakat yang menjadi lingkup realitas sosial. Semua fungsi demikian
menurut gerard Theissen dapat dipakai untuk menjelaskan kehidupan jemaan
Kristen perdana. Sedangkan secara inovasi, agama dan umatnya dapat melakukan
“gerakan” yang tampak seperti kehidupan jemaat perdana. Idealisme seorang
kristiani harus dibaca sebagai sebuah gerakan karena sedang menata kacamata
refleksinya sebagai bentuk ungkapan pengalaman. Karena pengalaman merupakan
sebentuk kejujuran realitas sosial. Sehingga mendorong seseorang yang beragama
untuk melakukan sebuah gerakan ke dalam dirinya sebelum melakukan perubahan di
luar dirinya.
4. MEMBACA
PUISI THOMAS ARE SEBAGAI SEBUAH GERAKAN
Membaca Puisi Thomas Are menghadapkan saya pada
kenyataan sosial teologis kehidupannya. Bahwa latar belakang kampung halaman
Thomas Are yang Katolik tua – Wureh ikut membentuk karakter
puisi-puisinya. Puisi-puisi ini lahir
kedalaman hatinya. Dia tentu selalu gelisa terhadap kenyataan realitas -
realitas: sosial keagamaannya, atau kenyataan-kenyataan teologis-biblisnya.
Pertama,
seorang Thom Aresta mencoba untuk menukik pada kenyaataan pengalaman iman masa
lampau yang berbau biblis – teologis. Dia hendak membaca pengalaman masa lampau
untuk direduksi ke dalam kenyataan hari ini. Pengalaman Kitab Suci menurutnya
bisa disejajarkan dengan realitas yang ia hidupi. Namun hemat saya goresan Thom,
terlampau mengagungkan pengalaman masa lampau, dan kurang tajam mensandingkan
dengan kenyataan sosial hari ini. Hal itu dilihat melalui Puisi seperti cahaya paskah dan jatuhnya iblis. Memang kelebihan Puisi Are yakni menampilkan kekuatan cerita biblis, namun
masih lemah dalam mengungkapkan kenyataan sosial di sekitarnya. Pengalaman pribadi begitu tampak sebagai
isi pada puisi-puisinya seakan menjadi kekuatan plot narasi. Hal ini juga baik
sebagai pembentuk identitas, namun bisa jadi mengurangi idealisme sosial yang
seharusnya menjadi penyeimbang dari “warta” teologisnya. Seperti cinta putih, dinding hati, hati yang mendua, jaga
hati nanti patah hati.
Kedua,
teologis-biblis hendak diperhadapkan pada konteks teologis hari ini. Saya
hampir mengalami kesulitan untuk menemukan gagasasan literer yang memunculkan narasi
ini. Maksud saya adalah realitas-realitas yang menjadi keprihatinan bersama
manusia menjadi tema puisinya. Mencari keberpihakkan adalah sebuah cara berteologi
karena kontekstualisasi adalah kunci berteologi hari ini. Pertanyaannya adalah
apakah agama dan iman masih relevan untuk umat hari ini. Puisi yang menghibur
hati adalah “Pembunuh Tuhan” karena berani memperlihatkan kenyataan
keluarga-keluarga zaman ini.
Ketiga, kekuatan
dari puisi Thomas adalah narasi-narasi hasil refleksi ini lahir dari pengalaman
pribadi, konteks sosial, dan lokasi sosial. Karena pengalaman manusiawinyalah
menjadi kekayaan sharing pengalaman hidup. Justru di sinilah katekese mendapat tempat
yang khas, yakni sharing pengalaman hidup yang berakar pada pengalaman imannya.
Atau akar spiritualitasnya telah mengajari Are untuk dengan jujur mengakui
semua pengalaman itu.
5. PENUTUP
Apresiasi
terhadap penerbitan Puisi yang sangat bagus ini. Keberanian untuk memulai
adalah serempak keberanian untuk bersaksi. Justru di sinilah independensi
katekese yang lahir dari pengalaman hidup sehari-hari. Jika perasaan adalah
domain utama untuk memperoleh bentuk awal perubahan, maka puisi dan politik
adalah sama-sama memiliki motiv yang sejalan walaupun berbeda arah. Yang
menyatukan arah gerak puisi-puisi Tomaresto adalah gerakan keprihatinan yang
lahir dari kepingan hidup rohaninya yang terlahir dari seorang anak yang
menghidupkan Tradisi Katolik Nagi Wureh. Karena dia mencoba menghidupi nilai rohaninya
sebagai seorang Katekis, guru agama Katolik
Waibalun, 22 Februari 2020
[1]
Stephen B.. Bevans, Model-model Teologi
Kontekstual (Maumere: Penerbit Ledalero), hal. 1
[2]
Ibid, hal 2.
[3] Gerard
Theissen, gerakan Yesus (Maumere: Penerbit Ledalero), hal. 2
[1]
Disampaikan dalam diskusi Buku CERMIN, karya Thomas Are di Kampus STP Reinha
Larantuka, Sabtu, 22 Februari
2020.