LARANTUKA,
BUNDA REINHA, DAN RAJA LARANTUKA
Kausalitas
Negara –Agama di Kota Larantuka
(Krisantus
M. Kwen)
PENDAHULUAN
Tanggal 20 April 1859,
Pulau Flores dan sekitarnya (Adonara, Solor, dan Lomblen) diserahkan Portugis
kepada Belanda. Hari itu dua Negara adidaya dunia abad 19, Belanda dan Portugis
mencatat perseteruan mereka hanya bisa didamaikan sebagai akibat dari persetujuan
Lisabon, Portugis. Peralihan itu berdasarkan jaminan atas pinjaman Gubernur
Portugis di Timor Timur dari Belanda sebesar ʄ 120.000.
Pengalihan tersebut telah didahului sebelumnya melalui penyerahan benteng Larantuka kepada Belanda pada 1851 dengan jaminan ʄ80.000.[1] Peristiwa tersebut mempertegas wilayah kolonialisme Belanda di wilayah Nusantara masa itu dan Larantuka secara hukum dimasukan dalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda terhitung sejak tanggal tersebut. Politik menjadi aroma dalam ciuman kekuasaan negara. Hal tersebut serentak mempertegas Larantuka sebagai sebuah kota kecil di ujung timur Nusantara, yang tetap diperhitungkan dalam kanca politik di tingkat dunia sampai abad ke-19.
Pengalihan tersebut telah didahului sebelumnya melalui penyerahan benteng Larantuka kepada Belanda pada 1851 dengan jaminan ʄ80.000.[1] Peristiwa tersebut mempertegas wilayah kolonialisme Belanda di wilayah Nusantara masa itu dan Larantuka secara hukum dimasukan dalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda terhitung sejak tanggal tersebut. Politik menjadi aroma dalam ciuman kekuasaan negara. Hal tersebut serentak mempertegas Larantuka sebagai sebuah kota kecil di ujung timur Nusantara, yang tetap diperhitungkan dalam kanca politik di tingkat dunia sampai abad ke-19.
Gambar 1: Patung Reinha Rosari, pelindung kota Larantuka. Terletak di pertigaan jalan depan Istana Keuskupan, Sandominggo.
Larantuka adalah kota
Katolik di pulau Flores, tempat kedudukan raja Katolik di samping raja Katolik di Sikka, Maumere.
Kekuasaan politik raja tersebut berakhir sampai dengan dilengsernya raja Don
Lorenzo II pada 1904 oleh Belanda, kemudian diasingkan ke Yogyakarta. Berturut
turut kemudian naik tahktah Don Louis Balantran de Rosario, putra Katarina Diaz
Viera Godinho, kemudian digantikan oleh Joan Bulantran de Rosari, dan pada
tahun 1912 digantikan kembali oleh Putra Lorenzo, Johanes Servus Diaz Viera
Godinho. Pergantian raja-raja dalam masa kekuasaan kerajaan Larantuka (Raja
I-XXIII) adalah sesuatu yang lazim pada masanya.
Semana santa di
Larantuka sebagai ikon kota ini memiliki kausalitas antara peran raja dan
tradisi religius bagi masyarakat pribumi. Sejarah panjang hampir 200 tahun
tanpa imam dalam masa kekuasan VOC yang anti Katolik, di Larantuka dan seantero
wilayah misi di Flores telah menempatkan raja Larantuka sebagai penjaga warisan
iman dan tradisi religius tersebut. Dalam tradisi masyarakat pribumi ini,
kehadiran Bunda Reinha di kota Larantuka, benar-benar tak terbantahkan. Devosi
umat yang kuat kepada Bunda Reinha di Larantuka adalah bukti bahwa ibunda Yesus
Kristus ini mendapat tempat yang
istimewa di hati umat Katolik.
Religiusitas umat yang tampak
dalam Prosesi Jumat Agung, yang masih lekat dengan kebudayaan setempat. Ritus ini sempat mempesona imam yang dikirim ke
Larantuka oleh Prefektur Batavia, Mgr. Vrancken. Dalam suratnya, pastor Sanders
kepada uskup Vrancken di Batavia, tertanggal 14 April 1861,
sebagai berikut:
“.....bagian
upacara ini sedemikian lugas dan indah, begitu mengesankan, sehingga saya tidak
mampu memberikan lukisan yang baik. Orang mesti mendengar dan melihat sendiri
hal ini, tindakan iman yang indah dari orang-orang kristen bersahaja di tengah
malam sunyi, diterangi cahaya bulan benderang di negeri tropis di tengah hutan
belantara, yang dikitari ribuan orang tak beriman dan kafir……..”.[2]
BUNDA REINHA LARANTUKA:
RELIGIUSITAS RAKYAT
Yang membuat Larantuka
istimewa adalah kota ini telah diserahkan kepada perlindungan Bunda Maria oleh
raja Larantuka. Raja Larantuka ke-10 Don Lorenzo Usineno II DVG menyerahkan
kota Larantuka di bawah perlindungan Bunda Reinha pada 8 September 1888. Raja
dilantik secara meriah untuk pertama kalinya dalam sejarah raja-raja Larantuka,
yakni di dalam Gereja Katedral.
Upacara nan agung lagi
sakral tersebut diiringi oleh brigade musik yang menakjubkan oleh barisan pemain
musik yang dilatih secara khusus oleh
Bruder Jesuit, Aloysius van den Biggelar, SJ pada 14 September 1887. Ia
membentuk barisan musik tiup, hasil karya seorang bruder Yesuit, Edward vee
meulen, SJ. Setelah Kotbah imam, raja bersumpah di depan altar Perawan Tersuci
Maria dan meletakkan tongkat kerajaan kepada Bunda Reinha. Selanjutnya Bunda
Maria lebih dikenal dengan sebutan Reinha Larantuka atau Ratu Larantuka.
Menurut laporan para
misionaris, raja dan permaisuri adalah pemimpin yang menjadi panutan iman
Katolik di wilayah kerajaan. Mereka sangat sering ke Gereja pada hari-hari
biasa. Pada tanggal 8 September 1888, pesta Maria sebagai Ratu Larantuka,
tongkat raja Larantuka diletakkan di altar Perawan tersuci Maria.[3]
Dalam perjalanan iman
Katolik di kota ini, pemimpin umat Katolik, Uskup Larantuka, Mgr. Gabriel Manek
SVD menyerahkan Diosis Larantuka kepada Hati Maria yang Tak Bernoda pada 1954.
Uskup Gabriel Manek, SVD adalah pendiri Kongregasi Putri Reinha Rosari (PRR) adalah seorang pemimpin umat yang kuat devosinya kepada Bunda Maria. Ia
sangat menghormati Bunda Reinha dan menganjurkan umat Katolik untuk taat dan
kuat berdoa melalui perantaraan Bunda Maria.
Ada tiga simbol yang
patut dicatat dalam peristiwa ini. Pertama, religiusitas rakyat. Raja sebagai
simbol pemimpin panutan rakyatnya, telah menunjukkan kepada publik bahwa ada harapan
mesianis. Masyarakat Larantuka dan kebudayaan Lamaholot yang menghidupi wujud berkat dari sang
penguasa alam semesta, Lera Wulan Tanah Ekan menemukan akar imannya kepada
Yesus, yang disebut Kristus dan Tuhan (Kis 2:36) dan melalui peran Maria Reinha
yang mengantar anak-anaknya kepada Yesus.[4]
Harapan tersebut ditemukan dalam kehadiran Peran Maria Reinha Larantuka di
dalam sanubari raja dan rakyatnya.
Kedua, Kekuasaan adalah
pelayanan. Tujuan pembentukan pemerintahan sipil selain memperoleh kekuasaan
politik juga mewujudkan kesejahteraan rakyat. Harapan dan tujuan kekuasaan raja
di kota Larantuka memiliki ciri yang khas, yang mengikuti peran Maria yang
mengabdi Putra-Nya. Spiritualitas Maria yang kuat tertanam dalam sanubari raja
Larantuka sehingga meneladani figur Maria sebagai simbol pelayanannya di
hadapan rakyatnya.
Ketiga, Gereja sebagai penjaga
iman. Keberhasilan Gereja mengantar raja untuk mendapat penobatan dan berkat
Ilahi di dalam Gereja sebetulnya pertama-tama adalah komitmen iman raja dan rakyat
Larantuka. Imam sebagai wakil Tuhan menuntun raja sebagai cerminan kehendak
rakyat agar menaruh kepercayaan pada otoritas Gereja, wakil Tuhan di dunia. Demikianpun
ketika uskup Gabriel Manek, SVD menyerahkan Diosis Larantuka kepada Bunda
Maria, merupakan simbolisasi pengakuan akan tuntuntan Gereja. Bapa uskup
sungguh menghargai spiritualitas iman rakyat Larantuka yang senantiasa
berlindung kepada Maria, Ratu Rosari.
HARMONISASI NEGARA –
AGAMA
Sejarah kota Larantuka adalah
harmonisasi Agama-Negara. Meskipun dalam membaca pemerintahan kerajaan di
Larantuka, kita tidak bisa membaca pemerintahan yang otonom secara politik dan
militer. Karena raja Larantuka de Yure berada di bawah pengawasan atau tunduk
kepada pemerintahan koloniali Belanda di Batavia (1859) dan de Fakto diberi
kebebasan untuk memerintah sejauh tidak bertentangan dengan garis pemerintahan
kolonialisasinya.
Untuk kasus ini kita
membaca dalam kaca mata Negara yang terinternalisasi di dalam pemerintahan
tradisional raja-raja Larantuka, baik sebelum maupun sesudah tunduk dan taat di
bawah pemerintahan kolonial Portugis dan Belanda[5]. Harus
diakui pula bahwa efek hubungan agama-negara tentu tidak bisa dibaca dalam
konteks kekinian-hari ini. Sebab mempunyai makna yang berbeda karena memiliki
multi tafsir dalam disposisi kekuasaan yang jamak.
Sosiolog Ignas Kleden (1990)
mereflesikan kausalitas Agama Negara dalam dua persaingan peran keimanan dan
peran profetis. Menurutnya, semakin agama memainkan peran keimanan, semakin
dekat hubungan antara agama dan negara, semakin agama memainkan peran profetis,
semakin kritis agama terhadap negara.
Tentu, kita tidak
hendak membaca kausalitas peran raja Larantuka di satu sisi dan agama Katolik
di sisi yang lain, namun yang terbaca dalam perjalanan agama Katolik adalah
harmonisasi hubungan antara profetis dan keimanan yang telah membentuk sejarah
Larantuka.
Pertama,
agama telah berhasil mengubah wajah budaya Larantuka secara perlahan menjadi
religiositas rakyat. Perayaan ‘Semana Santa’ di Larantuka dalam tradisi ratusan
tahun telah membuktikan itu. Agama telah membentuk ruang publik masyarakat. Tradisi
Semana Santa bukan hanya milik agama tetapi milik rakyat yang dipimpin oleh
raja dan kini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memelihara tradisi dalam
koridor praktik di ruang publik. Yakni menjamin keamanan dan mobilisasi masa
rakyat dan peziarah yang hadir secara baik dan benar di kota Larantuka.
Kedua,
otoritas Gereja sebagai pelayan iman. Gereja Katolik dibentuk dalam warisan
iman dan tradisi yang benar dalam sejarahnya. Kehadiran Gereja Katolik melalui
kepemimpinan Gereja Lokal adalah representatif peran Gereja menuntun iman dan
menjaga moral yang benar sesuai misi Gereja. Yakni menunaikan Injil Kristus,
kepada manusia jaman sekarang dengan harapan di tengah kegelisahan zaman, supaya
di tengah ketidakpastian zaman, Gereja sanggup menunaikan tugas dengan cinta
kasih, semangat dan kegembiraan yang besar.[6]
PENUTUP: TUGAS KITA
Harmonisasi dan
kerjasama yang konstruktif antara lembaga agama, peran raja Larantuka dan semua
pihak yang membentuk sejarah Larantuka adalah keniscayaan. Kita hanya sanggup
melanjutkan narasi dan ritus ini bersama dengan kejujuran sejarah dan
kerendahan hati. Kita adalah pelaku sejarah itu sendiri dan yang sedang
mengikuti perhentian demi perhentian-Nya bersama Bunda-Nya. I can follow him
whereever he goes.
Rabu Trewa, Lingkungan
St. Yosep Kota Rowido,
Paroki San Juan, 23
Maret 2016.
[1]Karel
Steenbrink,Orang-orang Katolik di
Indonesia 1808 – 1942. Jilid I. Yosef
Maria Florisan (Penerj.) (Maumere: Penerbirbit Ledalero, 2006), Hal. 131.
[2] Ibid.
Hal. 142
[3] Ibid.
Hal. 163.
[4]Lumen
Gentium No. 52-69,
Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana (penerj,) (Jakarta: Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1993), pp. 149-163
[5]Menyebut
zaman kuasaan Kolonialisasi Belanda di Indonesia yang dicatat sejarah adalah
350 tahun di Indonesia, sebetulnya masih terus diperdebatkan. Karena sejarawan
Belanda G.J. Resink telah membatahnya, melalui bukunya: BUKAN 350 TAHUN DIJAJAH (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012). Buku ini sangat
penting untuk dibaca karena resink secara metodis, sistimatis membongkar kebohongan
tersebut melalui pendekatan hukum Internasional yang dianut pada masa itu dan
sesuai dengan standar yang diakui oleh dunia.
[6] Anjuran
Paus Paulus VI No. 1, Evangelii Nuntiandi, 8 Desember 1975