Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Rabu, 23 Maret 2016

KERAJAAN KATOLIK DI INDONESIA (1)



LARANTUKA, BUNDA REINHA, DAN RAJA LARANTUKA
Kausalitas Negara –Agama di Kota Larantuka

(Krisantus M. Kwen)

PENDAHULUAN
Tanggal 20 April 1859, Pulau Flores dan sekitarnya (Adonara, Solor, dan Lomblen) diserahkan Portugis kepada Belanda. Hari itu dua Negara adidaya dunia abad 19, Belanda dan Portugis mencatat perseteruan mereka hanya bisa didamaikan sebagai akibat dari persetujuan Lisabon, Portugis. Peralihan itu berdasarkan jaminan atas pinjaman Gubernur Portugis di Timor Timur dari Belanda sebesar ʄ 120.000. 


Pengalihan tersebut telah didahului sebelumnya melalui penyerahan benteng Larantuka kepada Belanda pada 1851 dengan jaminan ʄ80.000.[1] Peristiwa tersebut mempertegas wilayah kolonialisme Belanda di wilayah Nusantara masa itu dan Larantuka secara hukum dimasukan dalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda terhitung sejak tanggal tersebut. Politik menjadi aroma dalam ciuman kekuasaan negara. Hal tersebut serentak mempertegas Larantuka sebagai sebuah kota kecil di ujung timur Nusantara, yang tetap diperhitungkan dalam kanca politik di tingkat dunia sampai abad ke-19.

Gambar 1: Patung Reinha Rosari, pelindung kota Larantuka. Terletak di pertigaan jalan depan Istana Keuskupan, Sandominggo.


Larantuka adalah kota Katolik di pulau Flores, tempat kedudukan raja Katolik  di samping raja Katolik di Sikka, Maumere. Kekuasaan politik raja tersebut berakhir sampai dengan dilengsernya raja Don Lorenzo II pada 1904 oleh Belanda, kemudian diasingkan ke Yogyakarta. Berturut turut kemudian naik tahktah Don Louis Balantran de Rosario, putra Katarina Diaz Viera Godinho, kemudian digantikan oleh Joan Bulantran de Rosari, dan pada tahun 1912 digantikan kembali oleh Putra Lorenzo, Johanes Servus Diaz Viera Godinho. Pergantian raja-raja dalam masa kekuasaan kerajaan Larantuka (Raja I-XXIII) adalah sesuatu yang lazim pada masanya. 

Gambar 2: Istana raja Larantuka, terletak di Kelurahan Pohonsiri, Larantuka


Semana santa di Larantuka sebagai ikon kota ini memiliki kausalitas antara peran raja dan tradisi religius bagi masyarakat pribumi. Sejarah panjang hampir 200 tahun tanpa imam dalam masa kekuasan VOC yang anti Katolik, di Larantuka dan seantero wilayah misi di Flores telah menempatkan raja Larantuka sebagai penjaga warisan iman dan tradisi religius tersebut. Dalam tradisi masyarakat pribumi ini, kehadiran Bunda Reinha di kota Larantuka, benar-benar tak terbantahkan. Devosi umat yang kuat kepada Bunda Reinha di Larantuka adalah bukti bahwa ibunda Yesus Kristus ini mendapat tempat  yang istimewa di hati umat Katolik.  


Religiusitas umat yang tampak dalam Prosesi Jumat Agung, yang masih lekat dengan kebudayaan setempat.  Ritus ini sempat mempesona imam yang dikirim ke Larantuka oleh Prefektur Batavia, Mgr. Vrancken. Dalam suratnya, pastor  Sanders kepada uskup Vrancken di Batavia, tertanggal 14 April 1861, sebagai berikut:

“.....bagian upacara ini sedemikian lugas dan indah, begitu mengesankan, sehingga saya tidak mampu memberikan lukisan yang baik. Orang mesti mendengar dan melihat sendiri hal ini, tindakan iman yang indah dari orang-orang kristen bersahaja di tengah malam sunyi, diterangi cahaya bulan benderang di negeri tropis di tengah hutan belantara, yang dikitari ribuan orang tak beriman dan kafir……..”.[2]


BUNDA REINHA LARANTUKA: RELIGIUSITAS RAKYAT
Yang membuat Larantuka istimewa adalah kota ini telah diserahkan kepada perlindungan Bunda Maria oleh raja Larantuka. Raja Larantuka ke-10 Don Lorenzo Usineno II DVG menyerahkan kota Larantuka di bawah perlindungan Bunda Reinha pada 8 September 1888. Raja dilantik secara meriah untuk pertama kalinya dalam sejarah raja-raja Larantuka, yakni  di dalam Gereja Katedral. 


gambar 3: Raja Larantuka dan pembantunya

Upacara nan agung lagi sakral tersebut diiringi oleh brigade musik yang menakjubkan oleh barisan pemain musik  yang dilatih secara khusus oleh Bruder Jesuit, Aloysius van den Biggelar, SJ pada 14 September 1887. Ia membentuk barisan musik tiup, hasil karya seorang bruder Yesuit, Edward vee meulen, SJ. Setelah Kotbah imam, raja bersumpah di depan altar Perawan Tersuci Maria dan meletakkan tongkat kerajaan kepada Bunda Reinha. Selanjutnya Bunda Maria lebih dikenal dengan sebutan Reinha Larantuka atau Ratu Larantuka. 


Menurut laporan para misionaris, raja dan permaisuri adalah pemimpin yang menjadi panutan iman Katolik di wilayah kerajaan. Mereka sangat sering ke Gereja pada hari-hari biasa. Pada tanggal 8 September 1888, pesta Maria sebagai Ratu Larantuka, tongkat raja Larantuka diletakkan di altar Perawan tersuci Maria.[3]  

Dalam perjalanan iman Katolik di kota ini, pemimpin umat Katolik, Uskup Larantuka, Mgr. Gabriel Manek SVD menyerahkan Diosis Larantuka kepada Hati Maria yang Tak Bernoda pada 1954. Uskup Gabriel Manek, SVD adalah pendiri Kongregasi Putri Reinha Rosari (PRR) adalah seorang pemimpin umat yang kuat devosinya kepada Bunda Maria. Ia sangat menghormati Bunda Reinha dan menganjurkan umat Katolik untuk taat dan kuat berdoa melalui perantaraan Bunda Maria. 


Ada tiga simbol yang patut dicatat dalam peristiwa ini. Pertama, religiusitas rakyat. Raja sebagai simbol pemimpin panutan rakyatnya, telah menunjukkan kepada publik bahwa ada harapan mesianis. Masyarakat Larantuka dan kebudayaan Lamaholot  yang menghidupi wujud berkat dari sang penguasa alam semesta, Lera Wulan Tanah Ekan menemukan akar imannya kepada Yesus, yang disebut Kristus dan Tuhan (Kis 2:36) dan melalui peran Maria Reinha yang mengantar anak-anaknya kepada Yesus.[4] Harapan tersebut ditemukan dalam kehadiran Peran Maria Reinha Larantuka di dalam sanubari raja dan rakyatnya. 


Kedua, Kekuasaan adalah pelayanan. Tujuan pembentukan pemerintahan sipil selain memperoleh kekuasaan politik juga mewujudkan kesejahteraan rakyat. Harapan dan tujuan kekuasaan raja di kota Larantuka memiliki ciri yang khas, yang mengikuti peran Maria yang mengabdi Putra-Nya. Spiritualitas Maria yang kuat tertanam dalam sanubari raja Larantuka sehingga meneladani figur Maria sebagai simbol pelayanannya di hadapan rakyatnya. 


Ketiga, Gereja sebagai penjaga iman. Keberhasilan Gereja mengantar raja untuk mendapat penobatan dan berkat Ilahi di dalam Gereja sebetulnya pertama-tama adalah komitmen iman raja dan rakyat Larantuka. Imam sebagai wakil Tuhan menuntun raja sebagai cerminan kehendak rakyat agar menaruh kepercayaan pada otoritas Gereja, wakil Tuhan di dunia. Demikianpun ketika uskup Gabriel Manek, SVD menyerahkan Diosis Larantuka kepada Bunda Maria, merupakan simbolisasi pengakuan akan tuntuntan Gereja. Bapa uskup sungguh menghargai spiritualitas iman rakyat Larantuka yang senantiasa berlindung kepada Maria, Ratu Rosari.
Gambar 4: Patung Bunda Tuan Ma diantar dari kapela menuju Gereja Katedral Larantuka


HARMONISASI NEGARA – AGAMA
Sejarah kota Larantuka adalah harmonisasi Agama-Negara. Meskipun dalam membaca pemerintahan kerajaan di Larantuka, kita tidak bisa membaca pemerintahan yang otonom secara politik dan militer. Karena raja Larantuka de Yure berada di bawah pengawasan atau tunduk kepada pemerintahan koloniali Belanda di Batavia (1859) dan de Fakto diberi kebebasan untuk memerintah sejauh tidak bertentangan dengan garis pemerintahan kolonialisasinya. 


Untuk kasus ini kita membaca dalam kaca mata Negara yang terinternalisasi di dalam pemerintahan tradisional raja-raja Larantuka, baik sebelum maupun sesudah tunduk dan taat di bawah pemerintahan kolonial Portugis dan Belanda[5]. Harus diakui pula bahwa efek hubungan agama-negara tentu tidak bisa dibaca dalam konteks kekinian-hari ini. Sebab mempunyai makna yang berbeda karena memiliki multi tafsir dalam disposisi kekuasaan yang jamak.


Sosiolog Ignas Kleden (1990) mereflesikan kausalitas Agama Negara dalam dua persaingan peran keimanan dan peran profetis. Menurutnya, semakin agama memainkan peran keimanan, semakin dekat hubungan antara agama dan negara, semakin agama memainkan peran profetis, semakin kritis agama terhadap negara.
Tentu, kita tidak hendak membaca kausalitas peran raja Larantuka di satu sisi dan agama Katolik di sisi yang lain, namun yang terbaca dalam perjalanan agama Katolik adalah harmonisasi hubungan antara profetis dan keimanan yang telah membentuk sejarah Larantuka. 


Pertama, agama telah berhasil mengubah wajah budaya Larantuka secara perlahan menjadi religiositas rakyat. Perayaan ‘Semana Santa’ di Larantuka dalam tradisi ratusan tahun telah membuktikan itu. Agama telah membentuk ruang publik masyarakat. Tradisi Semana Santa bukan hanya milik agama tetapi milik rakyat yang dipimpin oleh raja dan kini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memelihara tradisi dalam koridor praktik di ruang publik. Yakni menjamin keamanan dan mobilisasi masa rakyat dan peziarah yang hadir secara baik dan benar di kota Larantuka.


Kedua, otoritas Gereja sebagai pelayan iman. Gereja Katolik dibentuk dalam warisan iman dan tradisi yang benar dalam sejarahnya. Kehadiran Gereja Katolik melalui kepemimpinan Gereja Lokal adalah representatif peran Gereja menuntun iman dan menjaga moral yang benar sesuai misi Gereja. Yakni menunaikan Injil Kristus, kepada manusia jaman sekarang dengan harapan di tengah kegelisahan zaman, supaya di tengah ketidakpastian zaman, Gereja sanggup menunaikan tugas dengan cinta kasih, semangat dan kegembiraan yang besar.[6]


PENUTUP: TUGAS KITA
Harmonisasi dan kerjasama yang konstruktif antara lembaga agama, peran raja Larantuka dan semua pihak yang membentuk sejarah Larantuka adalah keniscayaan. Kita hanya sanggup melanjutkan narasi dan ritus ini bersama dengan kejujuran sejarah dan kerendahan hati. Kita adalah pelaku sejarah itu sendiri dan yang sedang mengikuti perhentian demi perhentian-Nya bersama Bunda-Nya. I can follow him whereever he goes.


Rabu Trewa, Lingkungan St. Yosep Kota Rowido,
Paroki San Juan, 23 Maret 2016.




[1]Karel Steenbrink,Orang-orang Katolik di Indonesia  1808 – 1942. Jilid I. Yosef Maria Florisan (Penerj.) (Maumere: Penerbirbit Ledalero, 2006), Hal. 131.
[2] Ibid. Hal. 142
[3] Ibid. Hal. 163.
[4]Lumen Gentium No. 52-69, Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana (penerj,) (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), pp. 149-163
[5]Menyebut zaman kuasaan Kolonialisasi Belanda di Indonesia yang dicatat sejarah adalah 350 tahun di Indonesia, sebetulnya masih terus diperdebatkan. Karena sejarawan Belanda G.J. Resink telah membatahnya, melalui bukunya: BUKAN 350 TAHUN DIJAJAH (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012). Buku ini sangat penting untuk dibaca karena resink secara metodis, sistimatis membongkar kebohongan tersebut melalui pendekatan hukum Internasional yang dianut pada masa itu dan sesuai dengan standar yang diakui oleh dunia.
[6] Anjuran Paus Paulus VI No. 1, Evangelii Nuntiandi, 8 Desember 1975

Rabu, 09 Maret 2016

MPAB DPC PMKRI Sikka 2016


PUBLIK SPEAKING:

Advokasi Mahasiswa untuk Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC)[1]

(oleh: Krisantus M. Kwen)[2]


       1. PROLOG
Gus Dur sanggup melakukan 10 perubahan signifikan hanya dalam waktu dua tahun berkuasa (1999-2001), sementara dalam 10 tahun berkuasa, SBY hanya sanggup melakukan dua perubahan. Gus Dur melakukan perubahan di tengah era 1000 kegaduhan, perlawanan dan pemberontakan. Gus Dur adalah sosok perubahan yang berani sementara SBY tampil dengan gaya flamboyan, cenderung menghindari konflik, mengalah dan kompromi![3]

Kita hidup hari ini di era kegagalan dan kegaduhan kepemimpinan, baik lokal maupun nasional. “Moral force” belum sepenuhnya menjadi panglima. Karena mereka mengejar kekuasaan dan demi popularitas sebagai “publik figur”, daripada kompetensi profesionalitas. Meminjam istilah Komarudin Hidayat, seorang tokoh intelektual muslim, bahwa kegagalan tersebut sebagai akibat rendahnya kepercayaan politik masyarakat kepada negara.[4] Mereka kurang memelihara dan merawat Indonesia. Tepatnya, mayoritas segenap warga dan bangsa Indonesia adalah korban pembangunan karena dipinggirkan, “alienasi” oleh karena pertarungan kekuasaan para pemimpin, sebagaimana yang saya maksudkan di atas. Pada titik inilah, masyarakat membutuhkan advokasi untuk mendampingi dan menemani mereka dalam memperjuangkan hak-haknya demi rasa keadilan dan perdamaian (justice and peace).


MPAB DPC PMKRI Cabang Sikka 2016 memiliki dua momentum untuk perubahan itu. Pertama, DPC PMKRI Sikka sebagai sebuah Organisasi kepemudaan (OKP) memiliki spritualitas perjuangan melalui semboyan spiritualitas dan semboyan misioner, yang akan menjadi landasan pembinaan dan landasan perjuangan anggota dari kader muda Gereja Katolik. Semboyan PMKRI adalah “Religio Omnium Scientiarum Anima”, agama adalah jiwa segala ilmu pengetahuan dan “Pro Ecclesia et Patria”, untuk Gereja dan tanah air. Memiliki spiritualitas akan menegaskan arah perjuangan untuk membela ‘kaum terpinggirkan’ serempak menegaskan komitmen iman akan Kristus, sang advokasi sejati.


Momentum kedua, MPAB DPC PMKRI Sikka adalah melahirkan kader muda Katolik untuk keluar dari ‘sona aman’ hidup untuk melawan arus massa yang cenderung mapan. Agar dapat menjumpai sesamanya yang membutuhkan uluran tangan serempak terus hadir di tengah kepemimpinan daerah dalam bingkai kepemimpinan nasional agar memengaruhi kebijakan yang pro masyarat. 


Hemat saya, PUBLIK SPEAKING, akan menjadi sebuah cara untuk menegaskan komitmen agar perjuangan menegakkan keadilan dan perdamain terus menjadi senjata dalam perjuangan kader Muda Mahasiswa Katolik. Saya tidak hendak mengajarkan peserta untuk mendalami teori publik Speaking secara metodologis dan sisttimatis, melainkan secara praktis mengajak peserta untuk menggali, menemukan, dan mengenali segenap kemampuan yang mereka miliki. Sebab mereka telah memiliki pengetahuan awal untuk berbicara. Yang dibutuhkan adalah peserta  menggali motif dan orientasi untuk meneruskan komitmen agar terus berada di  arus perjuangan sebagai seorang kader.


2.    PUBLIC SPEAKING (PS): MENCARI CARA MENEGASKAN KOMITMEN.
2.1.  Arti
Frase ‘public speaking’, diterjemahkan dengan aneka arti. YS Gunadi menjelaskan PS adalah komunikasi yang dilakukan secara lisan mengenai suatu hal atau topik dihadapan banyak orang dengan tujuan mempengaruhi, mengajak, mendidik, mengubah opini, memberikan penjelasan, dan memberikan informasi kepada masyarakat di tempat tertentu.[5] Secara bebas disebutkan bahwa ‘public speaking’ adalah kemampuan berbicara di depan umum, ketrampilan berbicara secara efektif, komunikasi praktis, dan menarik simpatik orang banyak. Singkatnya publik speaking adalah pengetahuan dan ketrampilan untuk tampil secara meyakinkan untuk memenangkan sebuah misi baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan banyak orang. Jadi kata kunci dari PS adalah komunikasi. Komunikasi adalah pintu agar seseorang dapat menjumpai orang lain atau sekelompok orang.


2.2.  Memaknai Publik Speaking
Mencermati arti ‘PS’,  menyadarkan manusia bahwa ia tidak sekedar sebuah keterampilan melain ia adalah sebuah ‘seni’ untuk tampil, namun sekaligus melaksanakan peran seorang pemimpin. Karena ‘PS’ sebetulnya melaksanakan keunggulan komperatif tertentu yang hendak mempengaruhi orang lain agar bersama-sama menuju tujuan tertentu.


2.2.1.      Substansi Publik Speaking
‘PS’ terlahir dalam kesadaran komunitas. Karena kemampuan-kemampuan dasar komunikasi itu tumbuh dalam hidup bersama sebagai manusia. PS sebetulnya mulai dikenal sejak seseorang bertumbuh di dalam keluarganya sejak bayi, anak-anak, remaja dan menuju kedewasaan yang penuh. Selanjutnya ia meluaskan pergaulan di tengah masyarakat, tempat ia belajar, bekerja, dan lain sebagainya. Dengan kata lain setiap hari manusia hidup dalam suasana organisasi atau lingkungan kerja, yakni bekerjasama dengan manusia lain dalam sebuah wadah kebersamaan.[6] Agar komunikasi dapat berjalan secara efektif antarmanusia dalam kelompok, minimal ada tiga tuntutan dasar. 


Pertama, Pengetahuan. Seseorang mutlak memerlukan dan terus meningkatkan pengetahuan. Pengetahuan yang minim dapat menghalangi seseorang untuk bertumbuh karena rendahnya olah pikir dan pengetahuannya. Kedua, keberanian. Seseorang membutuhkan keberanian untuk menyatakan pendapat dan gagasan. Ada banyak orang yang memiliki pengetahuan yang OKE, namun sayangnya mereka tidak berani menyatakan gagasannya sehingga orang lain tidak tahu  apa yang menjadi ide dan gagasannya. Keberanian yang diungkapkan kepada orang lain harus didukung dengan sejumlah pengetahuan sehingga yang bersangkutan memiliki legitimasi dan kewibawaan yang memadai. Ketiga, etika. Seseorang sangat memerlukan etika untuk menjaga keseimbangan dengan  faktor pengetahuan dan keberanian. Sebagian orang masih gagal dalam menyampaikan gagasan dan ide ketika mereka berhadapan dengan atasannya hanya karena dia tidak memperhatikan etika. Etika itu ibarat warna-warni dalam komunikasi, namun sebetulnya mempengaruhi keberhasilan dan menyebabkan kegagalan jika tidak diindahkan dengan baik dan benar. Dia ibarat kopi susu yang lezar, namun disajikan dalam cangkir yang karat sehingga orang tidak mau meminumnya.[7]



2.2.2.      Keseimbangan Komunikasi
Pengetahuan, keberanian, dan etika adalah kualitas moral yang sangat mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan. Hal ini mengandaikan keunggulan-keunggulan komperatif tertentu. Karena dia akan memancarkan keindahan yang menakjubkan sehingga mempesona orang-orang disekitarnya. Ketiganya dapat terlaksana hanya jika ditempuh dengan keyakinan diri dan kualitas moral. Dengan demikian, maka setiap pribadi yang sanggup melaksanakan tiga tuntutan dasar komunikasi dan memperhatikan dua syarat pendukung tersebut, akan tampil secara profesional, konseptual, dan bertanggung jawab.


2.2.3.      Kekuatan Media dalam keseimbangan komunikasi
Untuk mencapai tujuan komunikasi, seseorang membutuhkan media. Baik dalam arti sederhana maupun dalam arti istimewa. Secara sederhana media itu hanya berupa alat-alat audio atau visual yang digunakan seseorang atau kelompok orang dan secara istimewa berupa peran media massa sebagai sarana pendidikan masyarakat. Untuk melaksanakan peran media secara tepat dan benar (Boris Libois,1994), membutuhkan tiga syarat pertimbangan.


 Pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dasyat terhadap publik, sekalipun media juga mudah memanipulasi dan mengalienasi publik yang lemah. Sebetulnya dalam event ini media mempunyai peran melindungi publik yang lemah. Kedua, menjaga keseimbangan antara  kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Hal ini hendak disalurkan untuk menghindari monopoli tendensi korporatis (kapitalisme) para wartawan media besar. Jangan sampai kritikan yang tajam dapat memberangus eksistensi media, pembatasan dan pengebirian pers. Ketiga, menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental. Karena logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna, sebab media hanya mempertahan kredibilitas pers, namun kehadiran pers sebagai pembawa pencerahan publik kurang diperhatikan. Dalam pertumbuhan media dan kebutuhan publik akan informasi terbentang jarak yang menantang tindakan-tindakan advokasi di ruang publik. Sebab logika pasar dan tuntutan keuntungan material hanya bisa dijaga dalam bentuk meningkatkan kemampuan daya saing.[8]


2.3.  RAKYAT YANG TERSINGKIR
Memperhatikan media massa dalam tiga bulan terakhir di NTT dan Indonesia pada umumnya, dapat kita temukan banyak kasus dimana kebutuhan publik belum dapat dilayani secara maksimal oleh penguasa publik (Baca:pemerintah kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat). Kebutuhan dasar manusia seperti air, listrik, sembako menjadi momok bagi pemerintah dan berpotensi pada pergerakan massa rakyat karena ketidakadilan dalam roda pemerintahan. Pemerintah kita (NTT) disinyalir mengabdi Rakyat dengan  Kekuasaan[9]. Fakta kemiskinan begitu menonjol untuk NTT amat memprihatinkan dalam kaca mata Nasional. Dalam angka statistik kita selalu berada pada nomor buntut dalam hal kesenjangan ekonomi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)NTT, Provinsi NTT berada pada urutan 32 dari 34 provinsi di Indonesia. Data tahun 2015, memperlihatkan bahwa 66,40% tenaga kerja di NTT adalah tamatan SD. Rasio penggunaan APBD menujukkan 67% digunakan untuk belanja pegawai, selebihnya untuk belanja barang dan jasa. NTT masih memimpin untuk tingkat kemiskinan di aras nasional. 


Fakta lain yang miris adalah banyak pejabat NTT memimpin Birokrasi dengan memainkan jurus Politik Praktis.[10] Oleh karena itu banyak energi dihabiskan dalam pergolakan politik. Apalagi pejabat dipromosikan sebagai imbalan dan balas jasa politik. Secara ekonomi makro NTT akan cenderung mengalami korban-korban balas dendam pemerintahan dari rezim ke rezim yang akan berimbas pada pelayanan publik yang tidak karuan. PR besar di era kini dan hari ini di NTT adalah bagaimana cara memutuskan mata rantai balas dendan dan balas jasa politik karena pejabat birokrasi masih ditempatkan atas dasar ‘like and dislike’. Fakta ini yang menyebabkan pelayanan publik diabaikan dan kesejahteraan rakyat masih jauh panggang dari api. 


Fakta-fakta ketimpangan sosial diatas merabat ke dimensi hukum, sosial-budaya, dan pengalaman ajaran agama sehari-hari. Lemahnya penegakkan supremasih hukum menyebabkan orang mudah main hakim sendiri. Orang-orang lemah dan miskin bahkan menjadi korban ketidakadilan hukum karena mereka tidak mempunyai akses kepada pelayanan publik yang baik. Ada adagium minor hukum, siapa yang memiliki uang memenangkan perkara. Karena kekuatan kebenaran dan hukum dapat dengan mudah dipatahkan oleh kekuasaan dan uang. 


Secara makro, kegagalan dalam memimpin rakyat dapat berdampak pada ketidakadilan dan kemiskinan secara secara struktural. Rakyat membutuhkan pemimpin yang memiliki visi memimpin dan misi membangun disertai dengan itikad dan kemauan untuk mengubah masyarakat agar menjadi lebih baik.


2.4.  ADVOKASI UNTUK RAKYAT DAN PERAN MAHASISWA
Yang dibutuhkan oleh Rakyat adalah kehadiran untuk menemani ketika mereka mengalami penindasan struktural. Keberanian oknum pemerintah untuk “memakan” anaknya sendiri dalam praktek-praktek di tengah masyarakat harus dilawan dengan tindakan pro rakyat. Spiritualitas atau semangat hidup harus dinyalakan oleh para pendamping massa rakyat yang menjadi korban pembangunan. Jawaban yang dibutuhkan oleh rakyat yang tersingkir adalah Advokasi, yakni tindakan mendampingi para korban ketidakadilan, yang menyebabkan mereka berada dalam ketidakdamaian yang berkepanjangan. Mereka jauh dari akses-akses pembangunan, dan akses pelayanan publik yang menjadi hak-hak mereka.


2.4.1.      Konsep Advokasi Kristiani
“Advokasi” atau pendampingan memiliki tiga ruang lingkup, yakni Advokasi Kebijakan Publik, Penyelesaian Kasus, dan Transformasi Konflik.[11]  
Ruang lingkup pertama adalah Advokasi Kebijakan Publik adalah semua bentuk pendampingan dan pembelaan bagi korban ketidakadilan dalam menghadapi pelaku ketidakadilan, baik dalam pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (Non-Litigasi), dengan tujuan untuk merobah, ataubahkan menghapus sebuah kebijakan publik yang dinilai merugikan orang banyak , atau untuk menciptakan kebijakan publik yang baru untuk menggantikan kebijakan yang merugikan kebijakan. 


Untuk melaksanakan advokasi ini prinsip kristiani yang menjadi tolok ukur adalah suara kenabian. Prinsip yang dianut yakni :denuntiare” dan “anuntiare”. Yang pertama berarti berani membongkar kejahatan dan melawan atau protes terhadap ketidakadian yang terjadi, yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan yang berdasarkan kuat pada data akurat. Untuk melaksanakan sikap ini perlu kehati-hatian supaya tidak menimbulkan korban  dari rakyat kecil dan tak berdaya. Prinsip kedua, berani mengungkapkan dan menyampaikan kebenaran di muka umum baik secara lisan atau tertulis. Sikap ini hendaknya menjadi orientasi umat baik tertahbis atau tak terbabtis. Dengan prinsip ini, umat menjadi tertantang untuk mengungkapkan kebenaran dan membongkar kejahatan serta mengutuk dan melawan semua ketidakadilan yang dilakukan pihak-pihak yang berkuasa. Orientasi advokasi pada dasarnya diberikan kepada para korban dan para pelaku ketidakadilan. Kepada korban disampaikan martabatnya sebagai hak-hak asasinya serempak kewajiban asasinya. 


Ruang lingkup advokasi kedua, Penyelesaian Konflik. Banyak orang kecil dan sederhana yang mengalami ketidakadilan dalam beragam bentuk. Mereka tidak berbuat apa-apa selain pasrah pada nasib, sehingga mereka kadang menjadi bulan-bulanan hukum yang tidak memihak. Sebagai pengikut Yesus, orang kristiani terpanggil untuk membantu “The poor” ini dalam menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Mereka harus menjadi teman bagi korban dan mengantar korban keluar dari kesesakkanyang dialaminya. Ruang lingkup advokasi ketiga adalah Transformasi konflik. Pada titik ini seorang pendamping korban ketidakadilan harus dengan tegas membedakan “kasus” dan “konflik”. Karena akan membantu dia menentukan sikap sebagai promotor Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC). Ketika konflik terjadi, seorang promotor harus menempatkan dirinya sebagai mediator Konflik. Dia berada di antara para pihak yang bertikai untuk menemukan jalan damai. Tetapi ketika terkjadi “Kasus”, seorang mediator harus berada bersama para korban yang mengalami ketidakadilan dan berjuang bersama mereka.[12]


2.4.2.      Peran PMKRI sebagai promotor KPKC.
Mahasiswa yang berada di dalam organisasi kepemudaan (PMKRI), dapat memainkan perannya secara adekuat, berakar dalam semboyan dan spiritualitas Organisasi. Konsolidasi yang mantap dapat membantu dia memainkan peran advokasi secara bertanggung jawab. Mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademik memiliki “iklim” yang kondusif karena memiliki kerangka berpikir yang sistimatis, dan metodis sesuai dasar keilmuan, yang sanggup diterapkan dalam rana sosial kemasyarakatan. Idealisme yang kokoh menegaskan dasar keberpihakkan kepada kaum kecil dan papa dari korban ketidakadilan.
Dasar kristianitas, fraternitas, dan intelektualitas adalah titik sambung yang sanggup mencerahkan keberpihakkkan PMKRI kepada para korban ketidakadian, disamping sebagai organisasi kader. Dengan tiga sikap: berpengetahuan, sikap berani, dan beretika dalam organisasi kader ini, akan sanggup melahirkan agen-agen pastoral Gereja masa depan, sekarang dan kini.


2.5.   EPILOG
“Perubahan selalu datang bersama sahabat-sahabatnya, yaitu resistensi, penyangkalan, dan kemarahan” kata Reinald  Kasali, demikianpun “Bukan yang terkuat yang mampu bertahan melainkanyang paling adaptif dalam merespons perubahan” kata teori survival of the fittest, yang dirumuskan Charles Darwin (1809-1882).


Keberpihakkan saja tidak cukup, beriman kristiani saja juga tidak cukup, karena gerakkan advokasi membutuhkann pengetahuan dan keberanian untuk berpihak demi sebuah perubahan untuk masyarakat.

Selamat kepada para peserta MPAB PMKRI Sikka 2016! Jadikan PMKRI sebagai organisasi kader serempak organiasasi perjuangan. Akhirnya kita harus sepakat untuk mengikuti Guru kita, Yesus Kristus, “I can follow him wherever he goes”


      ============================================






[1]Disampaikan dalam MPAB DPC PMKRI Sikka 8 – 13Maret 2016
[2] Dosen STIPAS Reinha Larantuka, Ketua PADMA Indonesia Flores Timur.
[3] Reinald Kasali, Let’s Change! Kepemimpinan, Keberanian, dan Perubahan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), hal. 3-6.
[4] Yanuardi Syukur, Anies Baswedan: Mendidik Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Giga Pustaka, 2014), hal. 15.
[5] http:www. Marketing.co.id/public-speaking-itu-pentimg, diakses 29 Februari 2016
[6] Herman Musakabe, Pemimpin dan Krisis Multi Dimensi: Etika dan Moralitas      Kepemimpinan (Kupang: Penerbit Yayasan Citra Insan Pembaru, 2008), Hal. 28-34.
[7] Ibid.
[8]Dr. Haryatmoko,  Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi (Yogyakarta:  Penerbit Kanisius, 2007), hal. 38-39.
[9] Kanisius Toel Baldus,Pos Kupang,18/02/2016.
[10] Herman seran, Pos Kupang, 2/03/2016.
[11] Dr. Norbet Betan SVD, Berjuang bersama menegakkan nilai-nilai: Keadilan, perdamaian & Keutuhan Ciptaan (Jakarta: Penerbit Padma Indonesia, 2008), hal. 61-65.
[12] Ibid.