Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Rabu, 09 Maret 2016

MPAB DPC PMKRI Sikka 2016


PUBLIK SPEAKING:

Advokasi Mahasiswa untuk Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC)[1]

(oleh: Krisantus M. Kwen)[2]


       1. PROLOG
Gus Dur sanggup melakukan 10 perubahan signifikan hanya dalam waktu dua tahun berkuasa (1999-2001), sementara dalam 10 tahun berkuasa, SBY hanya sanggup melakukan dua perubahan. Gus Dur melakukan perubahan di tengah era 1000 kegaduhan, perlawanan dan pemberontakan. Gus Dur adalah sosok perubahan yang berani sementara SBY tampil dengan gaya flamboyan, cenderung menghindari konflik, mengalah dan kompromi![3]

Kita hidup hari ini di era kegagalan dan kegaduhan kepemimpinan, baik lokal maupun nasional. “Moral force” belum sepenuhnya menjadi panglima. Karena mereka mengejar kekuasaan dan demi popularitas sebagai “publik figur”, daripada kompetensi profesionalitas. Meminjam istilah Komarudin Hidayat, seorang tokoh intelektual muslim, bahwa kegagalan tersebut sebagai akibat rendahnya kepercayaan politik masyarakat kepada negara.[4] Mereka kurang memelihara dan merawat Indonesia. Tepatnya, mayoritas segenap warga dan bangsa Indonesia adalah korban pembangunan karena dipinggirkan, “alienasi” oleh karena pertarungan kekuasaan para pemimpin, sebagaimana yang saya maksudkan di atas. Pada titik inilah, masyarakat membutuhkan advokasi untuk mendampingi dan menemani mereka dalam memperjuangkan hak-haknya demi rasa keadilan dan perdamaian (justice and peace).


MPAB DPC PMKRI Cabang Sikka 2016 memiliki dua momentum untuk perubahan itu. Pertama, DPC PMKRI Sikka sebagai sebuah Organisasi kepemudaan (OKP) memiliki spritualitas perjuangan melalui semboyan spiritualitas dan semboyan misioner, yang akan menjadi landasan pembinaan dan landasan perjuangan anggota dari kader muda Gereja Katolik. Semboyan PMKRI adalah “Religio Omnium Scientiarum Anima”, agama adalah jiwa segala ilmu pengetahuan dan “Pro Ecclesia et Patria”, untuk Gereja dan tanah air. Memiliki spiritualitas akan menegaskan arah perjuangan untuk membela ‘kaum terpinggirkan’ serempak menegaskan komitmen iman akan Kristus, sang advokasi sejati.


Momentum kedua, MPAB DPC PMKRI Sikka adalah melahirkan kader muda Katolik untuk keluar dari ‘sona aman’ hidup untuk melawan arus massa yang cenderung mapan. Agar dapat menjumpai sesamanya yang membutuhkan uluran tangan serempak terus hadir di tengah kepemimpinan daerah dalam bingkai kepemimpinan nasional agar memengaruhi kebijakan yang pro masyarat. 


Hemat saya, PUBLIK SPEAKING, akan menjadi sebuah cara untuk menegaskan komitmen agar perjuangan menegakkan keadilan dan perdamain terus menjadi senjata dalam perjuangan kader Muda Mahasiswa Katolik. Saya tidak hendak mengajarkan peserta untuk mendalami teori publik Speaking secara metodologis dan sisttimatis, melainkan secara praktis mengajak peserta untuk menggali, menemukan, dan mengenali segenap kemampuan yang mereka miliki. Sebab mereka telah memiliki pengetahuan awal untuk berbicara. Yang dibutuhkan adalah peserta  menggali motif dan orientasi untuk meneruskan komitmen agar terus berada di  arus perjuangan sebagai seorang kader.


2.    PUBLIC SPEAKING (PS): MENCARI CARA MENEGASKAN KOMITMEN.
2.1.  Arti
Frase ‘public speaking’, diterjemahkan dengan aneka arti. YS Gunadi menjelaskan PS adalah komunikasi yang dilakukan secara lisan mengenai suatu hal atau topik dihadapan banyak orang dengan tujuan mempengaruhi, mengajak, mendidik, mengubah opini, memberikan penjelasan, dan memberikan informasi kepada masyarakat di tempat tertentu.[5] Secara bebas disebutkan bahwa ‘public speaking’ adalah kemampuan berbicara di depan umum, ketrampilan berbicara secara efektif, komunikasi praktis, dan menarik simpatik orang banyak. Singkatnya publik speaking adalah pengetahuan dan ketrampilan untuk tampil secara meyakinkan untuk memenangkan sebuah misi baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan banyak orang. Jadi kata kunci dari PS adalah komunikasi. Komunikasi adalah pintu agar seseorang dapat menjumpai orang lain atau sekelompok orang.


2.2.  Memaknai Publik Speaking
Mencermati arti ‘PS’,  menyadarkan manusia bahwa ia tidak sekedar sebuah keterampilan melain ia adalah sebuah ‘seni’ untuk tampil, namun sekaligus melaksanakan peran seorang pemimpin. Karena ‘PS’ sebetulnya melaksanakan keunggulan komperatif tertentu yang hendak mempengaruhi orang lain agar bersama-sama menuju tujuan tertentu.


2.2.1.      Substansi Publik Speaking
‘PS’ terlahir dalam kesadaran komunitas. Karena kemampuan-kemampuan dasar komunikasi itu tumbuh dalam hidup bersama sebagai manusia. PS sebetulnya mulai dikenal sejak seseorang bertumbuh di dalam keluarganya sejak bayi, anak-anak, remaja dan menuju kedewasaan yang penuh. Selanjutnya ia meluaskan pergaulan di tengah masyarakat, tempat ia belajar, bekerja, dan lain sebagainya. Dengan kata lain setiap hari manusia hidup dalam suasana organisasi atau lingkungan kerja, yakni bekerjasama dengan manusia lain dalam sebuah wadah kebersamaan.[6] Agar komunikasi dapat berjalan secara efektif antarmanusia dalam kelompok, minimal ada tiga tuntutan dasar. 


Pertama, Pengetahuan. Seseorang mutlak memerlukan dan terus meningkatkan pengetahuan. Pengetahuan yang minim dapat menghalangi seseorang untuk bertumbuh karena rendahnya olah pikir dan pengetahuannya. Kedua, keberanian. Seseorang membutuhkan keberanian untuk menyatakan pendapat dan gagasan. Ada banyak orang yang memiliki pengetahuan yang OKE, namun sayangnya mereka tidak berani menyatakan gagasannya sehingga orang lain tidak tahu  apa yang menjadi ide dan gagasannya. Keberanian yang diungkapkan kepada orang lain harus didukung dengan sejumlah pengetahuan sehingga yang bersangkutan memiliki legitimasi dan kewibawaan yang memadai. Ketiga, etika. Seseorang sangat memerlukan etika untuk menjaga keseimbangan dengan  faktor pengetahuan dan keberanian. Sebagian orang masih gagal dalam menyampaikan gagasan dan ide ketika mereka berhadapan dengan atasannya hanya karena dia tidak memperhatikan etika. Etika itu ibarat warna-warni dalam komunikasi, namun sebetulnya mempengaruhi keberhasilan dan menyebabkan kegagalan jika tidak diindahkan dengan baik dan benar. Dia ibarat kopi susu yang lezar, namun disajikan dalam cangkir yang karat sehingga orang tidak mau meminumnya.[7]



2.2.2.      Keseimbangan Komunikasi
Pengetahuan, keberanian, dan etika adalah kualitas moral yang sangat mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan. Hal ini mengandaikan keunggulan-keunggulan komperatif tertentu. Karena dia akan memancarkan keindahan yang menakjubkan sehingga mempesona orang-orang disekitarnya. Ketiganya dapat terlaksana hanya jika ditempuh dengan keyakinan diri dan kualitas moral. Dengan demikian, maka setiap pribadi yang sanggup melaksanakan tiga tuntutan dasar komunikasi dan memperhatikan dua syarat pendukung tersebut, akan tampil secara profesional, konseptual, dan bertanggung jawab.


2.2.3.      Kekuatan Media dalam keseimbangan komunikasi
Untuk mencapai tujuan komunikasi, seseorang membutuhkan media. Baik dalam arti sederhana maupun dalam arti istimewa. Secara sederhana media itu hanya berupa alat-alat audio atau visual yang digunakan seseorang atau kelompok orang dan secara istimewa berupa peran media massa sebagai sarana pendidikan masyarakat. Untuk melaksanakan peran media secara tepat dan benar (Boris Libois,1994), membutuhkan tiga syarat pertimbangan.


 Pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dasyat terhadap publik, sekalipun media juga mudah memanipulasi dan mengalienasi publik yang lemah. Sebetulnya dalam event ini media mempunyai peran melindungi publik yang lemah. Kedua, menjaga keseimbangan antara  kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Hal ini hendak disalurkan untuk menghindari monopoli tendensi korporatis (kapitalisme) para wartawan media besar. Jangan sampai kritikan yang tajam dapat memberangus eksistensi media, pembatasan dan pengebirian pers. Ketiga, menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental. Karena logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna, sebab media hanya mempertahan kredibilitas pers, namun kehadiran pers sebagai pembawa pencerahan publik kurang diperhatikan. Dalam pertumbuhan media dan kebutuhan publik akan informasi terbentang jarak yang menantang tindakan-tindakan advokasi di ruang publik. Sebab logika pasar dan tuntutan keuntungan material hanya bisa dijaga dalam bentuk meningkatkan kemampuan daya saing.[8]


2.3.  RAKYAT YANG TERSINGKIR
Memperhatikan media massa dalam tiga bulan terakhir di NTT dan Indonesia pada umumnya, dapat kita temukan banyak kasus dimana kebutuhan publik belum dapat dilayani secara maksimal oleh penguasa publik (Baca:pemerintah kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat). Kebutuhan dasar manusia seperti air, listrik, sembako menjadi momok bagi pemerintah dan berpotensi pada pergerakan massa rakyat karena ketidakadilan dalam roda pemerintahan. Pemerintah kita (NTT) disinyalir mengabdi Rakyat dengan  Kekuasaan[9]. Fakta kemiskinan begitu menonjol untuk NTT amat memprihatinkan dalam kaca mata Nasional. Dalam angka statistik kita selalu berada pada nomor buntut dalam hal kesenjangan ekonomi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)NTT, Provinsi NTT berada pada urutan 32 dari 34 provinsi di Indonesia. Data tahun 2015, memperlihatkan bahwa 66,40% tenaga kerja di NTT adalah tamatan SD. Rasio penggunaan APBD menujukkan 67% digunakan untuk belanja pegawai, selebihnya untuk belanja barang dan jasa. NTT masih memimpin untuk tingkat kemiskinan di aras nasional. 


Fakta lain yang miris adalah banyak pejabat NTT memimpin Birokrasi dengan memainkan jurus Politik Praktis.[10] Oleh karena itu banyak energi dihabiskan dalam pergolakan politik. Apalagi pejabat dipromosikan sebagai imbalan dan balas jasa politik. Secara ekonomi makro NTT akan cenderung mengalami korban-korban balas dendam pemerintahan dari rezim ke rezim yang akan berimbas pada pelayanan publik yang tidak karuan. PR besar di era kini dan hari ini di NTT adalah bagaimana cara memutuskan mata rantai balas dendan dan balas jasa politik karena pejabat birokrasi masih ditempatkan atas dasar ‘like and dislike’. Fakta ini yang menyebabkan pelayanan publik diabaikan dan kesejahteraan rakyat masih jauh panggang dari api. 


Fakta-fakta ketimpangan sosial diatas merabat ke dimensi hukum, sosial-budaya, dan pengalaman ajaran agama sehari-hari. Lemahnya penegakkan supremasih hukum menyebabkan orang mudah main hakim sendiri. Orang-orang lemah dan miskin bahkan menjadi korban ketidakadilan hukum karena mereka tidak mempunyai akses kepada pelayanan publik yang baik. Ada adagium minor hukum, siapa yang memiliki uang memenangkan perkara. Karena kekuatan kebenaran dan hukum dapat dengan mudah dipatahkan oleh kekuasaan dan uang. 


Secara makro, kegagalan dalam memimpin rakyat dapat berdampak pada ketidakadilan dan kemiskinan secara secara struktural. Rakyat membutuhkan pemimpin yang memiliki visi memimpin dan misi membangun disertai dengan itikad dan kemauan untuk mengubah masyarakat agar menjadi lebih baik.


2.4.  ADVOKASI UNTUK RAKYAT DAN PERAN MAHASISWA
Yang dibutuhkan oleh Rakyat adalah kehadiran untuk menemani ketika mereka mengalami penindasan struktural. Keberanian oknum pemerintah untuk “memakan” anaknya sendiri dalam praktek-praktek di tengah masyarakat harus dilawan dengan tindakan pro rakyat. Spiritualitas atau semangat hidup harus dinyalakan oleh para pendamping massa rakyat yang menjadi korban pembangunan. Jawaban yang dibutuhkan oleh rakyat yang tersingkir adalah Advokasi, yakni tindakan mendampingi para korban ketidakadilan, yang menyebabkan mereka berada dalam ketidakdamaian yang berkepanjangan. Mereka jauh dari akses-akses pembangunan, dan akses pelayanan publik yang menjadi hak-hak mereka.


2.4.1.      Konsep Advokasi Kristiani
“Advokasi” atau pendampingan memiliki tiga ruang lingkup, yakni Advokasi Kebijakan Publik, Penyelesaian Kasus, dan Transformasi Konflik.[11]  
Ruang lingkup pertama adalah Advokasi Kebijakan Publik adalah semua bentuk pendampingan dan pembelaan bagi korban ketidakadilan dalam menghadapi pelaku ketidakadilan, baik dalam pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (Non-Litigasi), dengan tujuan untuk merobah, ataubahkan menghapus sebuah kebijakan publik yang dinilai merugikan orang banyak , atau untuk menciptakan kebijakan publik yang baru untuk menggantikan kebijakan yang merugikan kebijakan. 


Untuk melaksanakan advokasi ini prinsip kristiani yang menjadi tolok ukur adalah suara kenabian. Prinsip yang dianut yakni :denuntiare” dan “anuntiare”. Yang pertama berarti berani membongkar kejahatan dan melawan atau protes terhadap ketidakadian yang terjadi, yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan yang berdasarkan kuat pada data akurat. Untuk melaksanakan sikap ini perlu kehati-hatian supaya tidak menimbulkan korban  dari rakyat kecil dan tak berdaya. Prinsip kedua, berani mengungkapkan dan menyampaikan kebenaran di muka umum baik secara lisan atau tertulis. Sikap ini hendaknya menjadi orientasi umat baik tertahbis atau tak terbabtis. Dengan prinsip ini, umat menjadi tertantang untuk mengungkapkan kebenaran dan membongkar kejahatan serta mengutuk dan melawan semua ketidakadilan yang dilakukan pihak-pihak yang berkuasa. Orientasi advokasi pada dasarnya diberikan kepada para korban dan para pelaku ketidakadilan. Kepada korban disampaikan martabatnya sebagai hak-hak asasinya serempak kewajiban asasinya. 


Ruang lingkup advokasi kedua, Penyelesaian Konflik. Banyak orang kecil dan sederhana yang mengalami ketidakadilan dalam beragam bentuk. Mereka tidak berbuat apa-apa selain pasrah pada nasib, sehingga mereka kadang menjadi bulan-bulanan hukum yang tidak memihak. Sebagai pengikut Yesus, orang kristiani terpanggil untuk membantu “The poor” ini dalam menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Mereka harus menjadi teman bagi korban dan mengantar korban keluar dari kesesakkanyang dialaminya. Ruang lingkup advokasi ketiga adalah Transformasi konflik. Pada titik ini seorang pendamping korban ketidakadilan harus dengan tegas membedakan “kasus” dan “konflik”. Karena akan membantu dia menentukan sikap sebagai promotor Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC). Ketika konflik terjadi, seorang promotor harus menempatkan dirinya sebagai mediator Konflik. Dia berada di antara para pihak yang bertikai untuk menemukan jalan damai. Tetapi ketika terkjadi “Kasus”, seorang mediator harus berada bersama para korban yang mengalami ketidakadilan dan berjuang bersama mereka.[12]


2.4.2.      Peran PMKRI sebagai promotor KPKC.
Mahasiswa yang berada di dalam organisasi kepemudaan (PMKRI), dapat memainkan perannya secara adekuat, berakar dalam semboyan dan spiritualitas Organisasi. Konsolidasi yang mantap dapat membantu dia memainkan peran advokasi secara bertanggung jawab. Mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademik memiliki “iklim” yang kondusif karena memiliki kerangka berpikir yang sistimatis, dan metodis sesuai dasar keilmuan, yang sanggup diterapkan dalam rana sosial kemasyarakatan. Idealisme yang kokoh menegaskan dasar keberpihakkan kepada kaum kecil dan papa dari korban ketidakadilan.
Dasar kristianitas, fraternitas, dan intelektualitas adalah titik sambung yang sanggup mencerahkan keberpihakkkan PMKRI kepada para korban ketidakadian, disamping sebagai organisasi kader. Dengan tiga sikap: berpengetahuan, sikap berani, dan beretika dalam organisasi kader ini, akan sanggup melahirkan agen-agen pastoral Gereja masa depan, sekarang dan kini.


2.5.   EPILOG
“Perubahan selalu datang bersama sahabat-sahabatnya, yaitu resistensi, penyangkalan, dan kemarahan” kata Reinald  Kasali, demikianpun “Bukan yang terkuat yang mampu bertahan melainkanyang paling adaptif dalam merespons perubahan” kata teori survival of the fittest, yang dirumuskan Charles Darwin (1809-1882).


Keberpihakkan saja tidak cukup, beriman kristiani saja juga tidak cukup, karena gerakkan advokasi membutuhkann pengetahuan dan keberanian untuk berpihak demi sebuah perubahan untuk masyarakat.

Selamat kepada para peserta MPAB PMKRI Sikka 2016! Jadikan PMKRI sebagai organisasi kader serempak organiasasi perjuangan. Akhirnya kita harus sepakat untuk mengikuti Guru kita, Yesus Kristus, “I can follow him wherever he goes”


      ============================================






[1]Disampaikan dalam MPAB DPC PMKRI Sikka 8 – 13Maret 2016
[2] Dosen STIPAS Reinha Larantuka, Ketua PADMA Indonesia Flores Timur.
[3] Reinald Kasali, Let’s Change! Kepemimpinan, Keberanian, dan Perubahan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), hal. 3-6.
[4] Yanuardi Syukur, Anies Baswedan: Mendidik Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Giga Pustaka, 2014), hal. 15.
[5] http:www. Marketing.co.id/public-speaking-itu-pentimg, diakses 29 Februari 2016
[6] Herman Musakabe, Pemimpin dan Krisis Multi Dimensi: Etika dan Moralitas      Kepemimpinan (Kupang: Penerbit Yayasan Citra Insan Pembaru, 2008), Hal. 28-34.
[7] Ibid.
[8]Dr. Haryatmoko,  Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi (Yogyakarta:  Penerbit Kanisius, 2007), hal. 38-39.
[9] Kanisius Toel Baldus,Pos Kupang,18/02/2016.
[10] Herman seran, Pos Kupang, 2/03/2016.
[11] Dr. Norbet Betan SVD, Berjuang bersama menegakkan nilai-nilai: Keadilan, perdamaian & Keutuhan Ciptaan (Jakarta: Penerbit Padma Indonesia, 2008), hal. 61-65.
[12] Ibid.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar