Selamat Datang Di Blog KRISANTUS M. KWEN

Senin, 08 April 2024

INDUSTRI IKAN ATAU POLITISASI IKAN

 Oleh Krisantus M. Kwen

Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka, Flores Timur

(Dimuat di Harian Pos Kupang, online Jumat, 15 Maret 2024. 


POS KUPANG.COM. Belum lama publik Flores Timur dikagetkan dengan keputusan Pemerintah Kabupaten Flores Timur (Pemda Flotim) menyerahkan aset Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Amagarapati kepada pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemda NTT). 


Tentu saja penyerahan salah satu sumber terbesar APBD ini sepengetahuan Dewan Perwakian Rakyat Daerah Flores Timur (DPRD Flotim). 


Rakyat terkaget-kaget karena sumber pendapatan daerahnya diserahkan untuk menjadi aset Pemda NTT sekaligus menjadi sumber pendapatan Pemda NTT.


Meski ditolak oleh DPRD Flotim dan beberapa kalangan tetapi pemerintah tetap bersikukuh untuk menyerahkan pengelolaannya kepada Pemda NTT. PPI Amagarapati adalah bantuan hibah pemerintah Jepang kepada Pemda Flotim dan menjadi salah satu ikon kabupaten yang pernah dikunjungi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tahun 2016. 


Pasti pemerintah Jepang punya alasan kuat untuk membangun PPI ini untuk Rakyat Flores Timur. Karena para nelayan pole and line asal Flotim punya sejarah panjang menangkap ikan tuna dan cakalang untuk diekspor ke Jepang melalui perusahaan PT. Bali Raya kala itu. Kehadiran PPI Amagarapati sebetulnya menjadi simbol hebatnya nelayan daerah ini. 


Untuk itulah Rakyat dengan sukarela melalui proses negosiasi yang meyakinkan sehingga pemilik hak ulayat tanah menyerahkan miliknya untuk Pemda Flotim dan selanjutnya Pemerintah Jepang membangun PPI di tanah Amagarapati. Rakyat boleh menduga lemahnya sense of belonging terhadap aset ini karena pemimpinnya bukan dipilih langsung olehnya melainkan ditunjuk oleh gubernur NTT. Sehingga menjadi bagian dari rencana untuk melaksanakan agenda provinsi. Hal demikian menguatkan persepsi publik tentang birokrasi yang selalu lamban, korup, kaku, anti perubahan dan sering dituding musuh warga negara (Djamaludin Malik:2012).

 

LEMAH BARGAINING POSITION DAN JANJI POLITIK

Pengambilalihan Kebijakan pengelolaan oleh Pemda NTT tentu patut disoroti dan dicermati dengan seksama tatkala Undang-Undang Otonomi Daerah memasuki Ulang tahunnya ke 25 pada tahun 2024 ini, sejak penetapan UU No. 22 Tahun 1999. Meski telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014, namun sejatinya setiap daerah diberi kewenangan untuk membangun sesuai karakter daerahnya dan mempunya prioritas yang berbeda jika dibandingkan dengan daerah lainnya.


Sehingga sepatutnya Pemda Flotim mempunyai wewenang untuk mengelola rumah tangganya sendiri. Namun sebaliknya terjadi. Pemda Flotim (eksekutif) tidak sanggup melindungi asetnya dan melepaskan begitu saja ikon yang membanggakan harga diri masyarakat nelayan di Kabupaten ini. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa posisi tawar (bargaining position) dan tanggung jawab Pemda Flotim (Eksekutif) dan DPRD Flotim (legislatif) terhadap asetnya begitu lemah dan tidak berdaya dan terbaca tunduk dibawah tekanan.  Hal ini bukan tanpa alasan. 


Ulasan sebuah media lokal secara provokatif bahkan menyebut bahwa meskipun ditolak DPRD, aset Pemda Amagarapati diambil alih Pemda NTT (14/3/2023). Jika legendaris musik pop Indonesia Koes Plus menyebut Indonesia lautnya bukan hanya kolam susu, tetapi ikan dan udang menghampiri dirimu, itu bukan isapan jempol karena sumber laut kita memang melimpah. Kekayaan lautnya dengan luas 5,8 juta km2 dengan potensi perikanan tangkap laut 12,5 juta ton yang menjadi modal ekonomi untuk sejahterakan rakyatnya sekaligus modal ketahanan pangan rakyat, dalam neraca ekonomi sumber daya ikan ( Zuzi Anna, 2019).


Seringkali modal ekonomi yang menggiurkan ini menjadi bancaan calon kepala daerah dalam kampanye politik setiap hajatan politik. Dengan lihai mereka memikat rakyat dengan menjanjikan akan mendirikan industri ikan jika terpilih menjadi kepala daerah. Tentu saja mereka mengetengahkan data-data secara akurat yang menunjukkan bahwa daerah ini pantas menjadi salah satu industri perikanan terbesar di tanah air dan rakyat terpesona. Walaualam.  Sampai hari ini tidak ada sesuatu yang signifikan membuktikan bahwa ada kebijakan dan usaha untuk menjadikan NTT sebagai lumbung serentak industri ikan. Yang kita dengar malah sebaliknya, daerah ini rugi miliaran rupiah karena gagal total mengelolah budi daya ikan. 


Bahkan aset-aset Pemda NTT menjadi Mubasir dan tidak terurus dengan baik (5/7/2022). Padahal sudah bermimpi akan meraup ratusan miliar rupiah. Penyebabnya lagi-lagi, kurang koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten dalam perjalanan pengelolaanya (Poskupang.com24/6/2021). Pengambilalihan aset pemerintah kabupaten Flores Timur  oleh Pemda NTT menunjukkan kelemahan Pemda NTT dan Pemda Flotim dalam memenej dan melahirkan kebijakan baru dalam semangat implementasi UU Otonomi daerah. Hal demikian melahirkan fenomena sosial dan memunculkan persepsi publik yang perlu diuraikan.


Pertama, kontra produktif kebijakan. Jika keberadaan PPI Amagarapati adalah untuk melayani kebutuhan perijinan dan sumber bahan bakar melaut para nelayan Flores Timur dan mendatangkan pendapatan untuk APBD Flores Timur, apakah selama ini pemerintah Kabupaten tidak sanggup melakukan tugas tersebut sehingga harus diambil alih oleh Pemda NTT? Bukankah selama ini Pemda Flotim melalui Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan telah melaksanakan fungsinya secara baik dan benar untuk melayani para nelayan, termasuk nelayan pole and line


Bahkan Pemda Flotim telah melobi Pertamina Pusat untuk menghidupkan dan mengaktifkan kembali depot minyak yang sudah lama dibiarkan terlantar. Agar dapat beroperasi kembali untuk melayani para nelayan dan industri serta usaha masyarakat kecil lainnya. Penyerahan aset penting oleh Pemda Flotim kepada Pemda NTT menunjukkan kelemahan Pemda Flotim yang kontra produktif karena tidak sanggup untuk mengelola aset daerahnya secara baik. Padahal amanat Undang-undang Negara sudah memberi ruang kepada setiap pemerintah daerah untuk mengelola aset daerahnya, bahkan 15 Tahun sebelum pemberlakuan UU No 23 tahun 2014 Pemda Flotim sudah mengelola PPI Amagarapati. 


Pada prinsipnya setiap pemberlakuan Undang-Undang tidak pernah membatalkan atau meniadakan prinsip, fungsi dan tanggung jawab Undang-undang lainnya. Dengan demikian kebijakan pemerintah tersebut sangat tidak populer dan jauh dari semangat Otonomi Daerah. dalam meningkatkan APBD untuk mensejahterakan masyarakatnya. Apalagi keputusan strategi tersebut dilakukan tatkala kepala pemerintahan daerah adalah penjabat yang ditunjuk oleh Gubernur NTT. 


Walaualam. Mimpi masyarakat Flores Timur menjadikan Laut sebagai sumber (industri ikan) untuk meningkatkan APBD kabupaten tidak pernah terwujud dalam semangat otonomi daerah. Keterlibatan pemerintah provinsi tidak harus ditunjukkan dengan mengambil alih aset pelayanan, namun memberi penguatan dan mutu pelayanan kepada aparat pemerintah kabupaten.

 

Kedua, belum ada prioritas dan koordinasi dalam kebijakan. Pemda Flotim di setiap rezim telah menghabiskan miliaran rupiah untuk membelikan ratusan kapal pole and line dan semua kelengkapan penunjang lainnya. Tentu saja PPI Amagarapati merupakan salah satu komponen pendukung pengelolahan hasil tangkap nelayan. Namun demikian tidak diikuti dengan kebijakan strategis untuk menunjang pelayanan kepada masyarakat nelayan. Penyerahan asetnya ini lagi-lagi membuktikan bahwa Pemda Flotim tidak mempunyai upaya yang signifikan untuk meningkatkan kualitas entrepreneurship pelayanan publiknya.


Ketiga, lemahnya pengawalan pembangunan.  Rezim boleh berganti, namun pembangunan di setiap sektor hendaknya berkelanjutan. Tanggung jawab dalam pengawalan dan kontrol butuh Kerjasama antara eksekutif dan legislatif. Rakyat membutuhkan DPRD yang kuat untuk melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Hanya DPRD yang kuatlah yang dapat melindungi aset dan simbol harga diri rakyat.


PERLU ADA EVALUASI BERSAMA

UU Otonomi Daerah telah 25 Tahun berselang, namun setiap daerah otonomi belum memanfaatkan peluang dan kesempatan tersebut secara maksimal. Penerapannya masih bagai buah simalakama. Tingginya biaya pembangunan menjadi akar banyaknya kepala daerah yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kita masih menyaksikan kinerja pemerintah yang buruk terbukti angka kemiskinan tetap tinggi, pada indikator angka tengkes (stunting) di daerah yang tinggi, dan pertumbuhan ekonomi belum signifikan. 


Bahkan daerah-daerah otonomi nyaris tanpa inovasi dan keberanian melakukan terobosan (Kompas.com 5/9/2024). Pengawalan aset-aset daerah adalah tanggung jawab pemerintah daerah eksekutif dan legislatif. Tentu saja koordinatif dan konsultatif penting untuk menghindari saling merebut “lahan”. Pesta Demokrasi adalah momentum evaluasi kinerja dan kebijakan rezim. Fenomena PPI Amagarapati adalah ujian terbesar. Kita mau menjadi pahlaman atau pecundang amanat Rakyat. Karena di atas segalanya ada simbol dan kearifan lokal sebagai  wujud otonomi yang sejati.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar