POS-KUPANG.COM-(10/9/2023)
Ketika hati kita sedang miris dan gunda gulana karena ada kejahatan kemanusiaan di depan mata kita, yakni Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di luar negeri, muncul secercah harapan yang diangkat sebagai tema Kemerdekaan RI ke 78 tanggal 17 Agustus 2023 yang lali. Tema yang diangkat yakni "Terus Melaju Untuk Indonesia Maju". Pemerintah tentu mengharapkan bahwa tagline ini menjadi acuan seluruh komponen anak bangsa untuk merefleksikan dirinyadalam mengisi kemerdekaan. Tak terkecuali dalam perspektif Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Persoalan-persoalan PMI dapat diketahui melalui laporan Crisis Center Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) antara tahun 2022-2023 yaitu gaji tidak dibayar, gagal berangkat, perdagangan orang, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, tindak kekerasan dari majikan, depresi/sakit jiwa, penipuan peluang kerja dan lain sebagainya. Bahkan dalam siaran humasnya, Kemenko Polhukamajak perang terhadap TPPO (15/7/2023). Topik ini jangan dianggap sepele hanya karena menjadi wacana rutin kita.
Karena sebetulnya sedang terjadi bencana kemanusiaan. Ini sungguh menyangkut
harkat dan martabat kemanusaan. Martabat manusia adalah keniscayaan untuk
mendapat perlindungan serempak hak untuk memperoleh keadilan dalam penerapan
dan perlindungan hukum. Sebagaimana janji kemerdekaan Indonesia yang
termaktub dalam preambule UUD 1945 yakni negara melindungi segenap bangsa
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
melaksanakan ketertiban dunia.
Dalam bingkai inilah seyogyanya dalam perspektif Dirgahayu Republik Indonesia ke-78 perlu ada transformasi kehidupan dalam menangani persoalan PMI. Supaya cita-cita untuk melindungi segenap bangsa Indonesia yang diharapkan foundingfathers mewujud dalam mengelola PMI kita.
APA SIKAP KITA
Dalam laman berita Ombudsman Republik Indonesia terbaru (Juli 2023) bahwa dalam lima tahun terakhir ada 657 PMI NTT Kembali dalam peti mati. Atau setiap 4 hari ada 1 PMI meninggal dunia. Menyimak data ini menghadapkan kita pada tantangan serempak pekerjaan besar di tengah merayakan Dirgahayu kemerdekaan Republik Indonesia ke 78. Jika kita tidak menanggulangi pekerjaan rumah ini, minimal untuk mengelimir dampak atau menurunkan grafik TPPO. Kalau ingin melaju untuk Indonesia maju, maka perlutindakan untuk itu.
Pertama, penguatan PMI melalui peran pengawasan. Sejak mereka pendaftar sampai pemberangkatan ke luar negeri.Perlu ada peningkatkan peran pemerintah daerah, baik di tingkat desa/kelurahan, kabupaten, provinsi dan pusat.
Hal yang sama perlu dibarengi dengan penguatan pengawasan yang dilakukan oleh TNI/Polri di setiap proses perekrutan yang berpotensi mengarah kepada TPPO. Negara kita baru saja membuat standar PMI yang akan bekerja di luar negeri ke dalam Peraturan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia pada tanggal 4 Juli 2022.
Dalam pasal 2, bab 1 tentang ketentuan umum disebutkan bahwa PMI yang hendak ke
bekerja ke luar negeri minimal berusia 18 tahun, memiliki kompetensi, sehat
jasmani dan rohani, terdaftar dan memiliki nomor kepesertaan jaminan sosial,
dan memiliki dokumen lengkap yang dipersyaratkanseperti KTP, KK, surat Ijin
orangtua/wali, surat keterangan status, surat pernyataan alih waris.
Persyaratan demikian untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapat
perlindungan yang maksimal dari negara. Meskipun kita ketahui bahwa sebagian
besar PMI kita adalah pekerja ilegal.
Bahkan Jendral Listiyo Sigit Prabowo, Kepala kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) menyebutkan bahwa dari sembilan juta PMI yang bekerja di luar negeri itu, ada lima juta PMI berstatus illegal. Media nasional Kompas.com (6/6/2023) menyebutkan bahwa PMI illegal tersebut muncul pertama-tama bukan karena korban sindikat, melainkan karena sistem.
Kedua, perlu perubahan cara berpikir. Hemat saya menghadapi kenyataan demikian perlu ada perubahan mindset penanganan terhadap TPPO. Jika selama ini model pendekatan top-downuntuk mengerahkan segenap sumber daya manusia yang menghadirkan pengawasan melekat dari tingkat pusat dan pengawasan aparat hukum (APH) yang sistematis, maka sudah saatnya pendekatan ini diubah dari tingkat desa/kelurahan atau bottom-up.
Jika anggaran yang digelontorkan negara kepada desa bernilai fantastis,
menembus miliaran rupiah, bukankah nilai itu perlu disepakati di tingkat
desa/kelurahan supaya ada kebijakan anggaran untuk menangani masalah TPPO dan
PMI? Tidak sulit untuk itu jika ada niat baik dan kontrol dari trias political
desa yakni kepala desa, badan permusyawaratan desa, dan Lembaga-lembaga
adat/masyarakat.
Dan berturut-turut pengawasan dilakukan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi demikian selanjutnya pengawasan di tingkat pusat. Situasi ini penting dan mendesak sehingga tidak perlu lagi didiskusikan terus menerus, melainkan cepat dan terukur karena asal muasal manusia PMI adalah orang desa dan dusun di pelosok negeri kita.
Ketiga, penguatan perusahan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI).
dalam melakukan prosessosialisasi, perekrutan, persyaratan medis, pelatihan,
kelengkapan dokumen, dan pemberangkatan ke luar negeri. P3MI adalah mitra
pemerintah dan ujung tombak pelaksanaan terhadap perjalanan PMI ke luar negeri.
Kontribusi mereka bukan sekedar menjadi mitra melainkan penyokong utama
pembangunan negara.
Dalam laporannya pada pertemuan Musyawara Daerah (Musda) Jawa Timur (15/9/2022), Asosiasi perusahaan penempatan tenaga kerja Indonesia (Aspataki), kepala badan perlindungan pekerja migran Indonesia (BP2TKI), Benny Ramdani menyebutkan bahwa kontribusi P3MI untuk devisa negara adalah terbesar kedua, yakni setiap tahun adalah 159,6 triliun.
Meskipun demikian P3MI memiliki keterbatasan akses, termasuk anggaran dalam melakukan perekrutan, melengkapi dokumen, perjanjian penempatan, pelatihan, medical, komunikasi agency pekerja luar negeri hingga pengurusan visa keberangkatan. Jika ditelusuru secara seksama pasti ada ruang yang tidak semuanya dapat diakses oleh P3MI, termasuk anggaran.
Hanya pemerintahlah yang dapat mengisi kelemahan ini karena akan berdampak pada
pemotongan gaji PMI yang dikenakan pada biaya pada proses penguatan kapasitas
PMI oleh P3MI. Dengan demikian sharing anggaran antara pemerintah dan P3Mi
adalah kunci untuk mengeliminir dampak pada persoalan proses penguatan
kapasitas PMI kita.
PERLU KERJASAMA LINTAS SEKTOR
Kerjasama semua pihak untuk meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan terhadap bahaya TPPO sdalah kondisi sine qua non, wajib terpenuhi.PMI berasal dari desa/kelurahan, maka dibutuhkan kerjasama lintas sektoral. Yang akan dimulai dari aparatur desa/kelurahan untuk mengawasi keberangkan PMI yang bekerja ke luar negeri.
Mereka tidak hanya menyelesaikan administrasi dengan menandatangani dokumen PMI, melainkan mengawasi proses perjanjian penempatan ke luar negeri (MoU) antara warganya, pemerintah, dan P3MI. Dari sinilah aparat di tingkat desa/kelurahan mengetahui tentang penguatan kapasitas warganya dan batas akhir pekerjaan di luar negeri (kontrak kerja).
Demikianpun perangkat BP2MI seyogyanya melakukan pendekatan sampai ditingkat
desa/kelurahan dalam periodesasi wilayah kerjanya. Upaya tersebut untuk
memastikan bahwa siklus kerjasama lintas sektoral ini tidak terputus. Kerjasama
antara aparat desa/kelurahan, dan BP2MI dimulai ketika MoU antara PMI,
pemerintah, dan P3MI ditandatangani.
Demikianpun APH dalam menangani TPPO melihat P3Mi dan pemerintah sebagai mitra untuk melindungi warga negara dari perbuatan melawan hukum. Sinkronisasi dan koordinasi tetap melekat terutama ketika sedang menangani masalah dan pengawasan rutin. Siklus inilah yang wajib dipenuhi jika memang kita hendak menatap PMI secara bermartabat dan manusiawi. Kehadiran negara dalam batas-batas inilah yang membuat warga negara boleh merayakan Dirgahayu RI. Sehingga kita akhirnyabersepakat untuk Terus Maju Untuk Indonesia Maju.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar