Relevansi Agama Versus
Intoleran
Kamis, 5
Maret 2020 11:30
Dok
Logo Pos Kupang
Oleh Krisantus Minggu Kwen (Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka)
POS-KUPANG.COM - Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah teruji sejak
berdirinya di tahun 1945. Gerakan militerisme maupun idiologisme mampu
ditangkal oleh founding fathers bangsa kita. Para pemimpin negara dapat
menyelesaikan dengan tuntas setiap gerakan perlawanan terhadap negara dengan
beragam pendekatan.
Pendekatan militer dan keamanan memang digunakan jika siituasi tertentu
perlu disikapi karena tuntutan keadaan yang membahayakan keselamatan warga
negara. Namun jauh lebih efektif adalah Negara membangun kesadaran
masyarakatuntuk hidup rukun bersatu di bawah ideologi Pancasila.
Ideologi yang merupakan dasar negara ini telah menjamin kemerdekaan setiap
warga untuk memeluk agama dan kepercayaannya secara baik dan benar. Komitmen
ini dipegang oleh pemimpin bangsa kita dengan menciptakan dan menegakkan hukum
secara konsisten.
Sementara itu agama-agama yang mampu hidup berdampingan di Indonensia
sebetulnya adalah jawaban akan relevansi sosial akan kenyataan perbedaan dalam
masyarakat. Di akar rumput (grass root) para pemeluk dapat hidup berdampingan.
Ini membuktikan bahwa agama-agama memiliki sebuah visi yang sama untuk
membangun masyarakat dan dunia.
Gerakan Anti Toleransi
Munculnya fenomena baru anti toletansi di Indonesia dalam satu dekade
terakhir janganlah dianggap sepele oleh para pemimpin kita. Hal demikian muncul
seiring dengan perkembangan yang luar biasa melalui media-media alternatif.
Kemajuan media digital jugadimanfaatkan secara tidak bertanggungjawab oleh
segelintir orang yang mengatasnamakan agama tertentu untuk membangun
argumentasi ideologi dan dogmatis secara serampangan dan naif.
Demikianpun merebaknya pemuka-pemuka agama "karbitan" mencoba
memengaruhi publik dengan wacana anti tolenasi di sejumlah youtubers yang
merebak di media digital. Tetapi harus diakui bahwa agama-agama di Indonesia
sama sekali tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada gerakan anti
toleransi.
Namun demikian aparatur negara kita tidak boleh lengah akan situasi ini.
Menerapkan hukum secara konsisten terhadap kemunculan gerakan anti toleransi
adalah jawaban yang paling strategis dari negara untuk menjamin kemerdekaan
setiap agama dan kepercayaan dalam melaksanakan ibadatnya.
Guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta, Azyumardi Azra (2010)
pernah mengingatkan kita bahwa kendala dan hambatan terhadap kebebasan agama
dan keyakinan terletak kepada ketidakmampuan negara menegakkan undang-undang
dan ketentuan dan peraturan hukum nasional maupu internasional (yang sudah
diratifikasi) dalam kehidupan aktual umat beragama. Rambu-rambu ini seharusnya
diwaspadai secara baik, benar dan terukur oleh aparatur hukum kita. Penelitian
dari lembaga Setara Institute 12 tahun terakhir ini memperlihatkan pelanggaran
kebebasan beragama yang dilakukan oleh aparat negara kita dalam menegakkan
hukum. Karena ormas keagamaan, aparat kepolisian, dan pemda ternyata ikut
terlibat dalam tindakan intoleransi (Kompas, 5/2/2020).
Jika mau jujur, maka kita harus mengakui bahwa fenomena-fenomena kemunculan
youtubers yang menyerang sistem dogmatis dan teologi agama-agama tertentu
merupakan penyangkalan akan relevansi agama dalam hidup berbangsa dan bertanah
air.
Irelevansi agama tersebut merupakan bentuk lain dari upaya untuk melemahkan
sistem bernegara yang telah disepakati oleh founding fathers kita. Membiarkan
fenomena ini merebak tanpa upaya untuk menangkalnya sama dengan menyimpan bom
waktu yang akan meledak kapan saja dan dimana saja di seluruh pelosok tanah air
Nusantara ini.
Antisipasi Kegagalan
Pada umumnya ada dua gejala yang merongrong kewibawaan hukum ketika
berhadapan dengan gerakan intoleransi di Indonesia. Pertama, kurangnya kemauan
politik penguasa. Indikatornya terletak pada keengganan aparat pemerintah dan
aparat hukum dalam menjamin aktualisasi kebebasan beragama dan keyakinan.
Pluralistik merupakan konditio sine qua non keberadaan bangsa ini.
Komposisi keberadaan para pemeluk agama beragam di setiap wilayah. Apalagi
dengan corak dan karakter yang dinamis itu bertumbuh di Nusantara. Tugas negara
adalah menjamin keberadaan dan keragaman umat ini dengan segala hak dan
kewajibannya. Negara tidak boleh lengah untuk membiarkan munculnya dominasi
mayoritas dan tirani minoritas untuk menggagalkan kerukunan hidup beragama.
Aparatur negara yang tidak konsisten untuk melaksanakan penegakkan hukum
itu -hari hari ini dapat kita kita lihat dengan kasat mata. Ada oknum aparat
yang menerbitkan surat pendirian rumah ibadat, akan tetapi kemudian tidak
berani menjaga marwah hukumnya karena tunduk dan takut terhadap tekanan
minoritas yang menolak pembangunan rumah ibadat. Negara menjadi lemah dihadapan
kaum intoleran.
Mentalitas seperti ini dapat menggerus kewibawaan hukum kita. Kedua,
lemahnya dukungan sipil terhadap penegakkan aturan dan hukum. Salah salah satu
alat kontrol negara adalah masyarakat sipil (civil society). Pembiaran
masyarakat terhadap tekanan tirani minoritas dalam menggagalkan penegakkan
hukum merupakan kegagalan peran masyarakat sipil dalam hidup bernegara.
Elemen-elemen masyarakat sipil sebetulnya dapat menjadi mitra strategis
negara dalam membangun bangsa agar perkembang sesuai dengan cita-cita
berdirinya negara ini.
Momentum Kerukunan Hidup Beragama
Hari-hari ini media-media arus utama (mainstream) Indonesia baik cetak
maupun online memberitakan niat dan rencana pemerintah dan sejumlah tokoh agama
di Indonesia untuk bersepakat membangun kerukunan umat beragama di tingkat nasional
maupun Internasional.
Momentum yang digunakan oleh paratokoh Indonesia adalah rencana kedatangan
Paus Fransiskus ke Indonesia. Hal itu diketahui setelah ada undangan pemerintah
Indonesia kepada pemimpin Negara Vatikan itu untuk berkunjung ke negara kita.
Kita memang banyak berharap kepada agenda-agenda bersama yang mendorong
terciptanya iklim kerukunan diantara anak bangsa.
Upaya melibatkan dan memengaruhi segenap komponen untuk mempertahan iklim
kerukunan merupakan imperatif, kewajiban yang hakiki bagi tegak berdirinya
negara ini. Karena komitmen founding fathers Indonesia adalah menciptakan iklim
politik berbangsa yang mengakomodir keragaman agama dan kepercayaan.
Demikianlah jati diri Indonesia yang sesungguhnya. Menafikan kebebasan
agama-agama dan kepercayaan di ruang publik sebetulnya kita sedang menciptakan
irelevansi peran agama-agama itu sendiri.
Oleh karena itu kita harus sepakat untuk mempertahankan konsistensi bangsa
ini dengan melawan setiap gerakan anti toleransi di setiap sudut negeri ini.
Semoga.
Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Relevansi Agama Versus Intoleran, https://kupang.tribunnews.com/2020/03/05/relevansi-agama-versus-intoleran?page=all.
Editor: Kanis Jehola
Tidak ada komentar:
Posting Komentar