Dimuat di Koran Harian Flores Pos, 29 Agustus 2019
Para pemimpin lokal adalah orang-orang cerdas yang
memiliki kemampuan di atas rata-rata untuk memimpin masyarakat. Inilah modal
awal wilayah kita di NTT. — Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka, Krisantus M. Kwen
74 tahun Indonesia telah berdaulaut sebagai negara
merdeka. Akan tetapi, apakah kita sudah merdeka 100 persen? Pertanyaan ini
masih mengganggu saya untuk melihat kembali kenyataan kita di Indonesia
hari-hari ini. Gagasan ini menarik saya lebih jauh untuk melihat kembali spirit
yang menjadi latar dari orientasi pembangunan bangsa kita dan dampak yang
mengiringi tujuan pembangunan itu sendiri di wilayah pedesaan.
Dengan makin bergulirnya pembangunan di desa dalam
semangat otonomi daerah (Otda) diharapkan makin bertumbuh pula alam demokrasi
di desa, sebagai ujung tombak partisipasi masyarakat.
Ancaman Otonomi Daerah
Salah satu pilar pembangunan negeri ini adalah sejak
dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otda dan UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Semangat yang diharapkan dari UU
ini, bagaimana melibatkan partisipasi masyarakat. Akan tetapi
ketidak-hati-hatian dalam mengelola Otda dapat mengarah kepada ekonomi makro
yang membias kepada kepentingan kapital. Artinya demi keuntungan ekonomi
pusat/global, kepentingan masyarakat desa diabaikan.
Pada titik ini telah terjadi persekongkolan (Wahono:
2001). Kalau tidak hati-hati dalam mengelola kelembagaan di tingkat desa, kita
akan terjerumus ke dalam kubangan yang merugikan masyarakat. Sebab lembaga-lembaga
desa tersebut hanya akan menjadi perpanjangan tangan penguasa. Lahirnya lembaga
Badan Pertimbangan Desa (BPD) sebagai implementasi Otda diharapkan dapat
mendorong proses demokratisasi yang memayungi kepentingan dan peran masyarakat.
BPD diharapkan sebagai sharing of power dalam melahirkan kebijakan
yang memihak kepada rakyat.
Penelitian di Jawa Tengah dan Kalimantan setelah
pelaksanaan 5 tahun Otda ditemukan banyak kasus bahwa BPD sedang menuju pada
pola yang jauh dari semangat demokratisasi (Wahono). Jika kenyataan demikian,
maka otonomi hanya akan memindahkan wilayah korupsi dari pusat dan diletakkan
di desa.
.... otonomi hanya akan memindahkan wilayah korupsi
dari pusat dan diletakkan di desa.
Otda adalah bagian dari upaya mendorong desentralisasi.
Tujuan penting desentralisasi adalah mendorong demokrasi lokal (Smith, 1985).
Sedangkan desentralisasi demokrasi adalah bentuk pengembangan hubungan sinergi
antara pemerintah pusat dengan pemerintah lokal dan antara pemerintahan lokal
dan warga masyarakat.
Jadi seyogyanya desentralisasi demokratis itu hendak
mengelola kekuasaan untuk mengembangkan kebijakan, perluasan proses demokrasi
pada level pemerintahan yang lebih rendah. Dan mengembangkan standar ukuran
yang menjamin bahwa demokrasi dilaksanakan secara berkelanjutan itu sendiri.
Masyarakat lebih dilibatkan dalam pembangunan untuk memikirkan, merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi pembangunan itu sendiri.
Oleh sebab itu, hubungan antara desentralisasi dan
demokrasi penting untuk diketahui perannya. Demokrasi dan desentralisasi
merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Sebab desentralisasi tanpa disertai
demokratisasi hanya akan memindahkan sentalisasi dan korupsi dari pusat ke
daerah/desa (Sutoro eka: 2006).
Peluang Perubahan
Ada dua wilayah desa yang harus disikapi secara kritis
ketika berbicara tentang perspektif otonomi daerah (Sutoro) yakni wilayah
internal desa dan wilayah eksternal desa. Wilayah internal desa secara politik
menunjuk pada relasi antara pemerintah desa, BPD, institusi lokal, dan warga
masyarakat. Sementara itu, wilayah eksternal desa meliputi hubungan antara desa
dengan pemerintah supra desa (pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan).
Dua wilayah ini menjadi titik simpul dari perubahan ke
arah yang lebih baik atau justru menjadi titik krusial yang menjebak para stakeholder.
Semua pihak yang berkehendak baik harus membawa peluang demokratisasi yang
bercorak desentralisasi, dengan membawa desa kepada kebebasan dengan corak
demokrasi lokal.
Salah satu isu yang strategis untuk demokratis di desa adalah akuntabilitas
publik. Namun secara empirik, akuntabilitas dianggap tidak terlalu penting.
Hanya saja secara sosial ketika membawa dirinya dalam pergaulan, ia merasa
tidak wajib untuk mempertanggungjawabkan program, kegiatan, dan keuangan.
Pengalaman hubungan dan intervensi yang dominan dari
negara ke desa dan integrasi desa ke negara membuat kades lebih
mempertanggungjawabkan akuntabilitas administrasi kepada pemerintah supra desa
daripada akuntabilitas publik kepada masyarakat pemilihnya. Sebaliknya, kades
yang membangun relasi yang positif dengan mempertanggungjawabkan setiap
kebijakannya kepada masyarakat, akan mengembalikan hak-hak masyarakat.
Kecerdasan, Sebuah Landasan Berdemokrasi
Yang saya maksudkan dengan kecerdasan tidak hanya
mencakup pranata pendidikan, tetapi juga sikap kritis untuk nelaksanakan
demokrasi dalam realitas sosial, budaya, politik, ekonomi, dan keagamaan. Para
pemimpin lokal adalah orang-orang cerdas yang memiliki kemampuan di atas
rata-rata untuk memimpin masyarakat. Inilah modal awal wilayah kita di NTT.
Memahami realitas tersebut di atas berarti mampu
bersikap antisipatif untuk menghindari ‘kerawanan’ yang bisa menjebak para
pemimpin kepada pelanggaran norma hukum adat, sosial, dan hukum positif.
Antisipatif yang dalam alam demokrasi adalah
mengikutsertakan masyarakat atau elemen masyarakat untuk mendukung dan
mengarahkan sebuah perubahan baik internal desa atau eksternal desa.
Masing-masingnya akan memberi warna bagi perjalanan pembangunan di wilayah
desa. Serentak membuka peluang bagi masyarakat untuk memberikan aspirasinya
kepada orang yang mereka percayakan untuk memimpin mereka. Dengan demikian,
pemerintah desa dan kecamatan serta kabupaten memberikan ruang yang cukup agar
masyarakat dapat berperan serta dalam pembangunan di wilayahnya.
Bangun Komunitas Alternatif
Harus kita akui dengan jujur bahwa tidak semua hal
dapat ditangani oleh pemerintah secara tuntas. Entah karena keterbatasan sistem
ataupun karena model dan pendekatan yang berbeda.
Sementara itu, perubahan dan permasalahan sosial
masyarakat kian menumpuk dan menjadi beban dalam pembangunan. Harga komoditas
pertanian yang tidak stabil, pola rekruitmen tenaga honorer daerah, masalah
migran dan perantau, pergaulan bebas, permasalahan hukum, dan lain sebagainya.
Salah satu masalah krusial kemanusiaan di NTT adalah
penanganan dan advokasi pekerja migran dan perantau (Mirantau). Hal yang sama
dihadapi para migran dan perantau asal Kabupaten Flores Timur, khususnya
wilayah Tanjung Bunga.
Lihat saja data korban yang meninggal sejak tahun 2016
sampai dengan 2019. Tahun 2016 total 46 orang yang terdiri dari 26 laki-laki,
20 perempuan. Ada 4 legal, 42 ilegal. Tahun 2017 total 62 orang, terdiri dari
43 laki-laki, 19 perempuan. Ada 1 legal, 61 ilegal. Tahun 2018, total 105
orang, terdiri dari 71 laki-laki, 34 perempuan. Ada 3 legal, 102 ilegal. Tahun
2019 hingga Agustus ini, total 74 orang, semuanya laki-laki. Dalam 4 tahun
terakhir, seluruhnya 213 orang terdiri dari 140 laki-laki, 73 perempuan. Ada 8
legal, 205 ilegal.
Data tersebut memperlihatkan situasi yang menjadi persoalan aktual
kemanusiaan di sekitar kita. Di antara korban yang meninggal tersebut tentu
terdapat pula warga desa kita atau tetangga kita, dan bahkan keluarga kita
sendiri.
Di samping desa-desa di pedalaman, terdapat pula
banyak desa kita berada di pesisir laut. Lautan yang luas dengan pesisir yang
mengitari pulau-pulau di NTT yang elok, membuat wilayah ini menyimpan potensi
laut yang luar biasa. Potensi perkebunan dan pertanian juga mendapat perhatian
karena menjadi salah satu andalan masyarakat di desa.
Bagaimanakah cara kita menjaga sekian kekayaan yang
menjadi kekuatan dan peluang tersebut? Namun bisa jadi justru menjadi titik
lemah serentak ancaman bagi wilayah ini.
Menurut Josef Riwu Kaho (2007), ada empat faktor yang
memengaruhi pelaksanaan Otda, yaitu manusia pelaksana, keuangan daerah, faktor
peralatan, dan faktor organisasi dan manajemen. Empat faktor tersebut dapat
saling menunjang satu sama lain. Prioritas yang menentukan adalah faktor
manusia sebagai sumber daya andalan yakni manusia pelaksana yang meliputi
kepala daerah, DPRD, aparatur pemerintah, dan masyarakat, baik dalam kesatuan
sistem atau peraorangan.
Tantangan dan peluang yang menjadi penyeimbang dalam
sistem tersebut adalah bagaimana mengupayakan kontrol sosial yang terus-menerus
dalam upaya untuk mencapai keadilan dan serentak partisipasi masyarakat.
Salah satu tawaran yang saya usulkan adalah membentuk
institusi formal berupa forum masyarakat pesisir. Fungsinya, untuk mengontrol
pengelolaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan semua potensi yang tersedia.
Keanggotaannya adalah para kepala desa, BPD, institusi adat, kaum muda, dan
wanita. Forum akan mengidentifikasi, merumuskan masalah, dan membuat model
pendekatan, melaksanakan sikap bersama.
Jika media ini konsisten, dapat menjadi forum
alternatif untuk menyuarakan kepentingan serentak partisipasi mastarakat.
Secara periodik, forum ini akan bertemu sesuai dengan kesepakatan bersama.
Hemat saya dari forum seperti ini akan melahirkan
pribadi-pribadi yang konsisten untuk memperjuangkan amanat masyarakat yang
tidak tersalurkan, namun menyimpan potensi untuk diaktualkan secara positif.
Akhirnya, kita patut bersyukur kepada Tuhan karena HUT
Ke-74 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ini menjadi momentum bersejarah
bagi kita untuk meredefinisi ulang persoalan bangsa kita dan tingkat
partisipasi kita dalam membangun kesadaran di desa-desa kita.
Sekiranya gagasan ini dapat membuka wawasan kita
bersama untuk tetap konsisten untuk memperhatikan dengan seksama akan alur dan
sistem yang menjadi kekuatan dalam memajukan dan memperjuangkan kepentingan
masyarakat, itulah sebagian yang tercecer dari cita-cita kemerdekaan yang
sebenarnya.
Sebab membangun kesadaran berarti menggalang persatuan
internal dan eksternal di desa dalam reformasi politik dan pembaruan
pemerintahan (governance reform). Itulah makna partisipasi di alam
demokrasi yang sesungguhnya.
Oleh Krisantus M. Kwen, Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka dan Ketua Padma
Indonesia Wilayah Flores Tumur, Lembata, Alor
foto 1: Sambutan Bapak Camat kec.Tanjung Bunga sekaligus membuka seminar jelang HUT RI ke-74 di desa Gekeng Derang. Penulis hadir membawakan materi bersama pemateri yang lain, Benediktus Baon sbg aktivis sosial dan anggota DPR terpilih dan Felix Kelen, Kabid Kepurbakalaan Dinas Pariwisata Flores Timur.
foto 2: Tema Diskusi Publik
foto 2: Tema Diskusi Publik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar