Oleh : Krisantus M. Kwen
(Dimuat di Opini HU Flores Pos, 10 Oktober 2019)
Harus diakui dengan jujur bahwa masyarakat Indonesia sedang dilanda isu-isu radikalisme idiologis dan fanatisme
religius. Fenomena sosial dan politik itu telah
mengguncang tanah air kita Persoalan ini jangan dianggap sepele. Oleh karena itu merekatkan
hubungan persaudaraan insani di Nusantara
hari-hari ini adalah pekerjaan tambahan yang tidak ringan kepada para pemimpin kita. Yang paling dirasakan secara masif
dan tersistematis adalah selama masa kampanye menyongsong
pemilihan umum (PEMILU) serentak Indonesia tanggal 17 April 2019 yang lalu.
Kenyataan pahit tersebut sebagai akibat dari sebagian kecil warga negara
yang terpapar radikalisme. Mereka yang terpapar radikalisme bukan hanya berasal
dari golongan kecil, orang-orang yang tidak berpendidikan melainkan juga menghinggapi pola pikir oknum tokoh masyarakat dan
dari kalangan akademisi. Bahkan kita sempat terhenyak bahwa dari barisan tokoh yang terpapar paham radikalisme tersebut terdapat mantan pemimpin
organisasi kader yang berhaluan kebangsaan. Menteri Pertahanan
(Menhan) Ryammizard Ryacudu menyebutkan ada 23, 4% mahasiswa Indonesia juga
ikut-ikutan terpapar radikalisme dan menyetujui negara khilafah (detiknews
19/07/2019). Sebetulnya apa yang menggerus patriotisme dan semangat kebangsaan
kita?
Hari kesaktian Pancasila 1 Oktober 2019 dan hari lahir TNI ke 74 pada 5 Oktober
2019 yang kita peringati dalam minggu ini merupakan momentum untuk mereflekskan
pentingnya semangat kebangsaan kita dalam menghadapi radikalisme idiologis dan
fanatisme religius tersebut. Saatnya kita bangkit untuk tidak memberikan ruang
dan kesempatan kepada para provokator bangsa yang mengancam kedaulatan dan
melemahkan sendi-sendi hidup berbangsa kita.
Reformasi
bisa salah arah
Reformasi telah merubah arah perjalanan bangsa
ini ke depan pasca rezim Soeharto tahun 1998. Diawali krisis ekonomi dan
moneter yang sangat berat yang melanda bangsa dan tanah air Indonesia. Reformasi
kala itu menjadi era penuh harapan akan terjadinya penyelengaraan negara yang
lebih demokratis, transparan dan memiliki akuntabilitas yang diwujudkan dalam good governance. Yakni dengan maskot kebebasan
berpendapat. Tuntutan perubahan yang dimotori oleh mahasiswa, pemuda, dan
berbagai komponen bangsa tersebut diharapkan makin mendekatkan bangsa
pada pencapaian tujuan pembangunan nasional sebagaimana termuat dalam alinea IV
UUD 1945.
Yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Dan gerakan Reformasi tersebut diharapkan dapat
mendorong perubahan mental bangsa ini ke arah yang baik. Nyatanya kebebasan di
ruang publik bisa menjadi bumerang bagi anak bangsa ketika kebebasan itu tidak
dikelola dengan baik dan benar. Inikah reformasi yang kita harapkan? Lihatlah
oknum pemimpin kita seenaknya mengeluarkan pernyataan yang berbau SARA.
Sementara para penegak hukum belum berani melakukan terobosan untuk memeriksa
dan menahan pentolan-pentolan yang terpapar radikalisme. Walaupun peristiwa
tersebut secara masif dan sistimatis diberitakan dihampir seluruh media cetak
dan media online.
Butuh
keberanian untuk bersikap
Menanggapi peristiwa dan indikator tersebut, hemat
saya sedang terjadi tiga gejala dalam hidup berbangsa kita. Pertama, ada upaya pelemahan sistim
hukum kita. Meskipun perangkat kelembagaan dan terobosan dalil-dalil hukum
telah dibuat dan banyak pasal dipakai untuk menjerat para pelaku kejahatan,
namun belum banyak terobosan berarti yang dibuat oleh aparatur hukum. Terutama
keberanian para penegak hukum melakukan penyelidikan, penyidikan dan penetapan
tersangka secara cepat. Alih-alih menetapkan tersangka, yang sudah ditangkap
dan ditahan pun harus dilepaskan. Karena ada banyak kasus salah tangkap dalam
satu tahun belakangan ini (kompas 18/7/2019). Tentulah keadaan ini akan
menciderai rasa keadilan masyarakat. Makin tumpulnya proses penegakan hukum,
semakin meyakinkan publik bahwa para oknum penegak hukum sedang melakukan
standar ganda penegakkan hukum. Atau yang biasa dikenal dalam adagium klasik,
hukum kita ibarat dua sisi mata pisau, tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Secara
kasat mata dan telanjang masyarakat awam dapat memberikan penilaian minus. Yakni
sedang terjadi persekongkolan dalam penerapan hukum.
Kedua, ke-gamang-an
sosial. Ketakutan jenis ini disebabkan oleh lemahnya integritas pribadi.
Eksistensi pribadi oknum penegak hukum mengalami distorsi moral. Entah apa
lebel yang dapat diberikan kepadanya: ewuh
pakewuh; segan; hormat dan bisa jadi takut terhadap oknum publik yang
menjadi calon tersangka. Jika pun terpaksa oknum ini diperiksa, tindakan dan
proses hukum terhadapnya menjadi lelet
karena alasan prosedural dan banyak alasan klasik lainnya. Tetapi karena para
oknum tersebut terlanjur menjadi publik figur, maka susah untuk diperiksa.
Alih-alih ditangkap, calon tersangka malah dielu-elukan kalau tidak mau disebut
dikunjungi.
Ketiga, penokohan figur
secara karbitan. Lazim publik mengenal ketokohan seseorang harus teruji oleh
waktu sehingga kualitas diri dan pertumbuhan pribadinya benar-benar menjadi
matang. Alat ukurnya adalah sertifikat, ijazah atau pengakuan formal lainnya. Tetapi
perubahan zaman dan perkembangan teknologi informasi ikut menggerus prosedural
standar ilmiah tersebut. Digantikan dengan pencitraan ketokohan melalui seleksi
karbitan mengikuti selera pasar. Sikap
dan pernyataan tokoh karbitan ini malah jauh dari kebenaran otentik. Omongannya
tidak berdasar. Apalagi legitimasi ilmiah. Jauh panggang dari api. Karena tokoh
jenis ini dibentuk oleh ilusi dengan medsos sebagai domain untuk mencipta pangsa
pasar tersendiri. Mengenaskan!
Mengungkapkan
kebenaran dan keadilanHarus
diakui bahwa hari-hari ini kita juga berada di era kegaduhan pada sebagian lembaga
negara, baik lokal maupun nasional. “Moral force” belum sepenuhnya menjadi
panglima. Karena para aktor yang terpapar radikalisme mengejar kekuasaan dan
demi popularitas sebagai “publik figur”, daripada kompetensi profesionalitas.
Meminjam istilah Komarudin Hidayat (2014), seorang tokoh intelektual muslim,
bahwa kegagalan tersebut sebagai akibat rendahnya kepercayaan sosial politik
masyarakat kepada aparatur negara. Karena oknum tersebut kurang memelihara dan
merawat Indonesia.
Pada titik inilah, masyarakat membutuhkan animasi dan
advokasi dari para pemimpinnya. Yakni kinerja aparat hukum yang mengedepankan
kualitas SDM, disiplin dan integritas pribadi. Dalam arti tertentu harus dikatakan
bahwa aparatur hukum kita mestinya adalah para pejuang kebangsaan serentak pejuang
kemanusiaan. Ditangan merekalah nasib bangsa ini ditentuka. Oleh karena itu ada
dua sikap yang dianjurkan untuk dimiliki oleh aparatur negara kita, dan bahkan
para pejabat publik dalam usaha menumbuhkan semangat kebangsaan.
Pertama, berani membongkar kejahatan dan melawan ketidakadilan
yang sedang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Untuk
menunjang niat dan gerakan ini dibutuhkan data yang akurat serta
mempertimbangkan banyak hal termasuk dampak perjuangan dengan meminimalisasi
korban dari kaum kecil dan lemah.
Kedua,
keberanian untuk mengungkapkan kebenaran di muka umum, baik lisan atau
tertulis. Seorang pemimpin mestinya pejuang kemanusiaan yang otentik. Ia harus
berani mengenakan sifat kritis terhadap kasus yang ia hadapi. oleh karena
itu dia harus berani mengungkapkan kebenaran tentang adanya ketidakadilan dan
membongkar kejahatan serta mengutuk ketidakdilan itu sendiri.
Krisantus M. Kwen
Dosen Sekolah
Tinggi Pastoral Reinha Larantuka dan Ketua Padma Indonesia Wilayah Flores
Timur, Lembata, Alor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar