SEBUAH CARA
PANDANG AKADEMISI[1]
Oleh
Krisantus Minggu Kwen, S.Pd.,M.Th
1. LATAR
BELAKANG
Kita
tentu masih ingat tentang semangat eksekutif terutama legislatif memperkenalkan
empat pilar kebangsaan kepada masyarakat Indonesia. Hal tersebut dilakukan
sesuai dengan amanat Pasal 5 huruf a dan dan huruf Undang undang Nomor 17 tahun
2014 sebagimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Ketiga lembaga Negara tersebut ditugaskan untuk
memasyarakatkan Ketetapan MPR tentang empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD
1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Hal tersebut dilakukan secara sistimatis
dan masif kepada komponen bangsa yang belum disentuh oleh sosialisasi selama
ini, agar masyarakat memperoleh pemahaman secara utuh tentangnya.
Reformasi
telah merubah arah perjalanan bangsa ini ke depan pasca Soeharto. Yang diawali
krisis ekonomi dan moneter yang sangat berat bagi masyarakat Indonesia. Era
reformasi diharapkan menjadi era penuh harapan akan terjadinya penyelengaraan
negara yang lebih demokratis, transparan dan memiliki akuntabilitas yang
mewujud dalam good governance serta adanya kebebasan pendapat. Tuntutan
perubahan yang dimotori oleh mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa
tersebut diharapkan makin mendekatkan
bangsa pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana termuat dalam UUD 1945. Dan
gerakan Reformasi tersebut diharapkan dapat mendorong perubahan mental bangsa
ini.
Dalam
tulisan ini, saya memfokuskan diri kepada usaha kita untuk meningkatkan wawasan
kebangsaan dengan berpijak pada gerakan Reformasi sebagai titik pijak bagi
generasi milineal dalam mengisi arah dalam hidup berbangsa di tanah air. Titik
pijak yang kedua adalah menempatkan kawasan akademisi dalam peran strategisnya
untuk membangun bangsa dan tanah air kita. Dalam rangka memperingati hari
pendidikan nasional tahun 2019 ini kita diingat kembali bahwa keempat pilar
tersebut merupakan imperatif dari condition
sino quo non, mutlak diwujudkan dalam rangka pendidikan di lembaga
perguruan tinggi.
2. UUD,
PANCASILA, NKRI, BHINEKA TUNGGAL IKA ADALAH IDENTITAS INDONESIA
Setiap
negara memiliki filosofi dan dasar yang kuat untuk membentuk semangat
kebangsaannya. Sebelum dan sesudah berdirinya Negara Indonesia, para founding father kita telah merumuskan
arah perjalanan bangsa ini. Pengalaman dijajah di era kolonialis telah
membentuk karakter dan wawasan kebangsaan yang mewujud dalam cita-cita
kebangsaan. Semangat nasionalisme pendiri bangsa ini lahir dari persamaan nasib
yakni menyaksikan penderitaan rakyat yang dibelenggu oleh penjajahan bangsa
asing. Kekayaan alam dan rakyat kita dibelenggu untuk memenuhi tuntutan kaum
aggresor dalam mewujudkan supremasi ekonomi dan politik di negara jajahannya.
Pasca
kemerdekaan di era Soekarno dan Soeharto, Negara mengalami pasang surut
pemerintahan. Ketatanegaraan kita mengalami cobaan yang berat. Masa Soekarno
adalah era orde lama dalam memulai perjalanan bangsa ini pasca kemerdekaan.
Sili berganti sistim ketatanegaraan kita, sesuai dengan cita-cita pemerintah
yang berkuasa. Soekarno berkuasa selama 22 tahun dan 32 Tahun Soharto berkuasa
di Indonesia. Mereka berdua meninggalkan jejak pemerintahan dengan karakter
yang berbeda sesuai typical pemerintahannya. Saya tidak menjabarkan selayang
pandang pemerintahan kedua mantan presiden tersebut, melainkan merefleksikan
semangat reformasi yang menjadi dasar pijak membangun bangsa dan tanah air
kita.
Setelah
Indonesia mengalami tiga era perjalanan bangsa: Orde Lama, Orde baru dan Orde
Reformasi, namun tantangan dan cobaan kehidupan bernegara dan bangsa kita tidak
berlaku surut oleh masalah. Tuntutan reformasi yang menurunkan Soeharto sebagai
penutup dua era ketatanegaraan bersimpul pada tuntutan: Amandemen UUD Tahun
1945; penghapusan Doktrin Dwi Fungsi ABRI; Penegakkan Supremasi Hukum;
Penghormatan HAM; serta Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN),
Desentralisasi serta hubungan yang adil antara pusat dan daerah, mewujudkan kebebasan
pers, dan mewujudkan kehidupan demokrasi. Demikianpun tujuan penegakkan dan
perubahan UUD 1945 bertujuan untuk: menyempurnakan aturan dasar dalam mencapai
tujuan nasional yang tertuang dalam UUD dan memperkokoh NKRI yang berdasarkan
Pancasila; menyempurnakan jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta
memperluas partisipasi masyarakat; penyempurnaan aturan dasar penyelenggaraan
secara demokratis melalui pembagian kekuasaan; penyempurnaan aturan dasar mengenai
jaminan konstitusi dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan social,
mencerdaskan kehidupan bangsa, meneggakkan etika, moral, dan solidaritas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan harkat dan
martabat kemnusiaan dalam mewujudkan Negara sejahtera; melengkapi aturan dasar
yang penting dalam penyelenggaraan Negara seperti pengaturan wilayah dan
pemilihan umum.
3. TANTANGAN
BERNEGARA KITA
Meskipun negara ini
meletakkan aturan dan hukum sebagai penyangga sistim pemerintahan, namun
kejahatan korupsi tidaklah surut yang diperlihatkan oleh oknum pejabat dan staf
pemerintahan. KKN seperti wabah epidemis penyakit menular yang menggregoti
penyakit manusia dewasa ini. Demikianpun bahaya intoleransi dan epidemik
penyakit sosial lainnya. Hadirnya kelompok-kelompok radikal di berbagai
momentum politik merupakan ancaman hidup berbangsa yang harus ditanggapi secara
serius dan benar. Sistim hukum yang masih lemah mendorong penyalagunaan
wewenang dalam membuat kebijakan yang sangat menciderai martabat manusia. Belum
lagi sistim hukum yang masih lemah karena aparat masih tidak profesional. Masih
ada keputusan hukum yang menciderai para pencari keadilan karena masih ada
salah tangkap dan salah menghukum di peradilan “sesat” kita.
4. PERAN
SERTA KAMPUS DALAM PENYUMBANGKAN WAWASAN KEBANGSAAN
Amanat
Konstitusi yang termaktub dalam UUD 1945 memberi wewenang kepada pemerintah
Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Cita-cita tersebut terelaborasi dalam Pembukaan UUD
1945 Bab XIII pasal 31 UUD 1945 sebelum perubahan, dengan 2 (dua) ayat yang
berjudul pendidikan. Pasal 31 menyatakan bahwa tiap warga Negara berhak
mendapat pengajaran, dan pemerintah berusaha
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan
Undang-undang. Undang-undang yang menyangkut Kolaborasi kemudian dapat
diperlihatkan dalam amanat UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen, UU No 12 tahun 2012
tentang pendidikan Tinggi dan peraturan lainnya di lembaga pendidikan.
Konsiderasi
peraturan yang termaktub tentang lembaga pendidikan tinggi sebagai jenjang
setelah pendidikan dasar dan menengah, yang mencakup pendidikan diploma,
sarjana, magister, spesialis dan doktor. Yang diselenggrakan dengan sistem
terbuka oleh perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah
tingi, Institut atau universitas. PT yang dimilki oleh pemerintah dan pihak
swasta merupakan organ dengan otonomi yang luas. Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 2012, yaitu
mengembangkan potensi mahasiswa menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap kreatif,
mandiri, trampil, kompoten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa, maka
segi-segi otonomi PT dalam aspek non akademis, yang berpotensi melawan Negara
harus dihindari dengan meletakkan control dari kementerian sehingga
kepemimpinan dalam universitas (negeri) dapat dipandang mempertahankan
nilai-nilai Pancasila di dalam pendidikan tinggi yang akan membentuk generasi
muda yang memiliki standar yang memiliki kriteria yang mampu melaksanakan
Pancasila dalam interaksi dengan masyarakat di era persaingan dengan inovasi
yang diharapkan.
5. PENUTUP:
KITA MESTI BELAJAR DARI SEJARAH
Minimal
ada e (tiga ) pembelajaran yang dapat dipetik dari upaya kita untuk membangun
wawasan kebangsaan kita. Pertama, memahami
sejarah dan typical local dalam kanca nasional. Kita tinggal di daerah namun
mengenal semangat nasionalis yang membingkai karakter nasional kita. Orang
menyebutnya bertindak lokal namun berpikir global. Memandang jauh ke depan
merupakan cita-cita, namun situasi itu kita alami di sini sekarang ini. Kita
harus menjadi manusia Indonesia. Jika engkau melihat Indonesia, maka lihatlah
dari Larantuka. Inilah Indonesia yang sesungguhnya.
Kedua,
kita ‘melemparkan’ diri ke tengah pluralistik idiologi dari beragam manusia
Indonesia. Untuk membangun masyarakat,
kita wajib membiarkan dirinya dibakar oleh api cinta. Inilah inspirasi. Ia
seperti anak domba yang digiring ke tempat pembantaiann (Yes 53). Memahami
masyarakat dengan baik berarti mengenal zamannya dengan tepat. Minimal
mengetahui tempat di mana kita berpijak. Bukan sekedar melek teknologi namun
memahami perkembangan yang terjadi di sekitar kita.
Ketiga,
menjadi manusia Indonesia berarti meleburkan diri ke dalam sebuah aksi. Jika
menjadi seorang mahasiswa maka jadilah mahasiswa yang tahu mewujudkan apa
harapan dari mereka yang menyerahkan kepercayaan itu kepada kita. Dengan
demikian, seseorang dapat mengukur kemampuannya ketika berada dalam sebuah
komunitas. Mengenal pribadi dan kemampuannya. Ukur waktu, kemampuan dan
keuangan untuk menyelesaikan jenjang pendidikan yang dia jalani. Sebab inilah
cara seseorang untuk menjadi manisia yang berguna bagi dirinya dan masa depan
sesamanya. Meluasnya cakrawala
pandangnya menjadikan manusia merdeka. Bahkan bila perlu menimbah banyak
inspiratif di setiap kesempatan dan peluang yang ia jalani sebagai warga
kampus. Inilah Indonesia sesunggunya hari ini.
Menjadi
manusia Indonesia di zaman now seperti berada di sebuah titian penyeberangan.
Kemarin adalah masa lalu yang membentuk hari ini dengan sejarah yang panjang
penuh heroik oleh para pendiri bangsa ini. Ketika nasionalisme sedang diuji dan
NKRI sedang dipertanyakan oleh kelompok-kelompok intoleran, kita membutuhkan
spirit para pahlawan bangsa.
Referensi
1. Lembaga Pengkajian Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia (2018). Jakarta:
Jurnal Ketatanegaraan
2. Dominikus
Dalu S., Mendambakan “Indoensia Baru” Dan
Perilaku koruptif (2013). Jakarta: Bunga Rampai
3. Majelis
Pemusyarata , Panduan Pemasyarakatan UUD RI 1945 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (2016). Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR
[1]
Disampaikan dalam rangka Dialog Kebangsaan pada hari pendidikan nasional di kampus STP Reinha
Larantuka, 2 Mei 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar