Diskusi Kita:
Ada fenomena menarik menurut saya ketika menakar
proses merebut ruang publik (public sphere) di tanah air. Karena ambiguitas ruang
publik menjadi tema sentral dalam menalar proses kebebasan demokrasi kita
akhir-akhir ini. Sejumlah kalangan mencoba mereduksi makna kebebasan di ruang
publik dengan cara "merebut" nya dan menggantikannya dengan rana privatisasi. Kemudian
“memaksa” publik menerimanya sebagai hal yang wajar dan prosedural. Sejauh
meletakkan nilai-nilai universal dari kebaikan komunitas untuk kebaikan
bersama, justru itu yang dianjurkan, namun ketika “memaksa” publik untuk mengamini
indoktrinasi rana kelompok inilah yang melahirkan benturan. Pada titik inilah mulai tampak
terang politik identitas.
Hemat saya ada dua proses yang telah terjadi. Pertama, proses tersebut bergerak secara
diam-diam seperti "operasi senyap" ala intelijen. Kemudian muncul ke
permukaan untuk dipertontonkan, diperdengarkan, dan memaksa publik untuk
mengamininya sebagai milik bersama, namun sesungguhnya itu bersifat eksklusif,
golongan, lagi privat. Proses ini dapat memanfaatkan semua kekuatan
komunikasi sehingga dapat dipublikasikan secara luas dan sistematis. Selanjutnya
dipakai untuk memenangkan perjuangan untuk kepentingan politik praktis. Kedua, privatisasi dilakukan secara
prosedural. Semua perangkat pembentuk aturan dimanfaatkan dan dilakukan di
tingkat lokal untuk menggolkan kepentingan individual, golongan, dan
kepentingan komunitas tertentu.
Bahwa NKRI adalah harga mati, ya! Tapi lihatlah sejumlah kalangan masih memperdebatkannya. Seolah-olah ada kesalahan yang dilakukan oleh the founding fathers kita. Padahal membentuk Indonesia, sesungguhnya adalah proses dari kristalisasi kecerdasan intelektual yang lahir dari pengalaman yang sama kaum cerdik pandai dari Sabang sampai Merauke.
mereka membebaskan Nusantara dari cengkraman kolonial Belanda dan antek-anteknya. Kita punya nasib yang sama untuk bertekad keluar dari kemiskinan struktural yang diciptakan kapitalisme. lebih ngenes lagi ada sejumlah kalangan menyebut Indonesia akan bubar dengan tempo singkat. Ini namanya mengacaukan Negara yang sedang berkembang ke arah perbaikan signifikan! (Tribun Lampung.co.id/25/03/2018).
Saya tertawa karena mereka menutup mata dan sangat tidak percaya diri. Bahwa TNI kita sangat kuat dan dalam kondisi terbaik hari ini. Lawan mana yang tidak ngeri berhadapan dengan KOPASUS kita yang oke punya. Itu saja pun belum cukup, karena Indonesia masih mempunyai kesatuan elit lainnya dari semua matra TNI kita. Jadi masih ka orang percaya ada "hantu" di siang bolong?
TNI MENJAGA KEUTUHAN!
Saya harus katakan, bahwa memaksakan rana privat untuk kemudian diletakkan diruang publik dapat membawa gesekan yang fenomenal karena ada pemaksaan kehendak. Yaitu arus utama yang tidak rasional mencoba menggiring opini publik, kemudian menjadikannya sebagai sebuah kebenaran. Tetapi sesungguhnya hanyalah kebenaran semu. Inilah fenomena ruang publik di zaman now. Yang salah bisa membenarkan diri karena menguasai opini publik dengan terus menerus membangun argumentasi fiktif tanpa bukti. Dan mendorongnya sedemikian sehingga kalau boleh “memaksa” pembuat kebijakan agar menjadi gamang dan taat serta tunduk kepada kerumunan suara massa. Jika ini terjadi, maka patut disayangkan karena pemegang kekuasaan terjermus dengan apa yang saya namakan privatisasi ruang publik. Mereka lupa bahwa amanat Negara dipegang teguh oleh disiplin dan kesetiaan TNI pada Negara dan bangsa. Kecuali mereka dapat menembus blokade kekuatan Negara yang menjadikan NKRI dan Pancasila sebagai harga mati dalam hidup bernegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar