foto 1: Penyerahan cendera mata oleh Ketua Presidium PMKRI Cabang Sikka, Marianus Fernandez yang dipandu oleh Ketua PMKRI Cabang Larantuka periode 2018-2020, Marselinus Atapukan sesudah memberikan materi dalam MPAB PMKRI Cabang Larantuka 15-17 Februari 2019
Krisantus M. Kwen[1]
1.
Pendahuluan: Ketika mengawali pembicaraan tentang
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), kita tidak bisa
memisahkan diri dengan perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). sejak terbentuknya PMKRI pada tahun 1947,
para pendiri dan kader-kader militannya bahu membahu bersama organ-organ pemerintah
pro-rakyat melakukan lobi-lobi internal dan eksternal untuk melakukan
perjuangan mempertahankan kedaulatan rakyat. Karena ini perjuangan yang berakar
dari visinya, terwujudnya keadilan sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan
sejati.
2.
Gerak perjuangan PMKRI adalah Kampus –
Rakyat - Kaderisasi dan AKSI. inilah lingkaran simbiosis mutualisme kaderisasi.
PMKRI tidak bisa meninggalkan Rakyat. Kaderisasi adalah cara untuk melanjutkan
api perjuangan dengan menyadari diri sebagai anak kampus yang memperkuat intelektualisme
yang mengakar dalam spiritulitas yang tangguh dan mumpuni. Karena akar yang
kuat dalam kaderisasi dengan basis intelektual dapat menjadi spirit untuk
menegakkan visinya. Perjuangan itu harus
mengakar sebagaimana awasan Anthoni Gideons bahwa kehidupan politik itu tak ada
artinya tanpa idealisme, tetapi idealisme hampa jika tidak berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan real.[2]
Foto 2: Bersama mantan Ketua Presidium PMKRI Cabang Sikka, Periode 2016-2017, Martinus Laga Muli
3.
PMKRI adalah anak kandung Gereja. Gereja
sebagai sebuah komunitas iman yang lahir dalam imannya kepada Yesus Tuhan Sang
Guru sejati. Kekatolikan adalah dasar yang membentuk karakter kader ini
perjuangan. Kedekatan dengan pimpinan
Gereja merupakan sine qua non dari
cara bijaksana mendapat perutusan yang sah lagi legitimasi wewenang mengajar
Gereja. Kaderisasi tidak bisa bergerak tanpa Gereja sebagai sebuah lembaga
dengan segala potensi yang mengikutinya. inilah yang memungkinkan ini
perjuangan selalu up to date dengan ajaran
Gereja yang relevan dengan situasi sosial kemasyarakatan. Sehingga ketika
Indonesia berada dalam kecemasan yang mendalam akibat lilitan persoalan bangsa
dan Negara, sebagai kader muda Katolik kita tidak bisa mengambil jarak dan
menjadikannya lelucon politik dan bahan tertawaan. Bersama Gereja adalah
momentum meneruskan cita-cita Yesus Sang Sabda. Di sinilah letak keberpihakkan
yang hakiki kepada kaum tertindas (prefrential option for the poor) dengan
Yesus sebagai teladan Gerakan.
4.
Semangat kerakyatan adalah bagian dari
implementasi perjuangan. Mendekatkan diri dengan Gereja baik sebagai lembaga
dan komunitas iman itu baik, namun bukan berarti meninggalkan idealisme
perjuangan. Dengan mendekatkan diri dengan rakyat miskin, maka ini kader turut
terlibat dalam membangun jembatan.
Sehingga tidak ada jurang yang memisahkan antara Gereja dan masyarakat. Misi
Gereja adalah mengkomunikasikan Injil secara efektif kepada masyarakat. Maka
supaya hal tersebut secara efektif dapat dilaksanakan, maka dibutuhkan dua
macam usaha belajar. Pertama, pemahaman yang sungguh-sungguh tentang Injil dan
kedua, pemahaman yang jelas tentang orang-orang yang menjadi sasaran pewartaan
Injil, yaitu masyarakat. Seorang kader yang militan perlu banyak belajar dari
masyarakat untuk sanggup menganalisis tingkat kebutuhan yang sesuai dengan
pesan pewartaan. Maka yang dibutuhkan adalah pemahaman yang benar secara terus
menerus tentang perubahan dan dinamika masyarakat, supaya Gereja tidak
ditinggalkan oleh pengikutnya seandainya orientasinya tidak sesuai dengan
orientasi masyarakat.[3]
5.
Dinamikan hubungan Gereja dan Negara
dapat dianalisis secara adekuat sehingga kaderisasi PMKRI dapat menyesuikan
dengan perubahan zaman. ada empat alasan yang dapat dikemukan di sini untuk
memperkuat militansi ini perjuangan. Pertama, “terlibat sejak awal”.
Kaderisasi adalah cara melanjutkan misi perjuangan. Para pendiri PMKRI adalah
mereka yang dibakar oleh api semangat misioner para pewarta Sabda Allah. Tokoh
sekaliber Van Lith telah menanamkan benih-benih yang mengarahkan dukungan
Gereja bagi gagasan kemerdekaan[4].
Pilihan pada karya pendidikan yang pada mulanya diperuntukkan untuk mencetak
misioner pribumi, kemudian juga terbukti melahirkan tokoh-tokoh pejuang. Kader
Katolik Flores model ini dapat dibaca dalam seluruh gerakan perjuangan seorang
Frans Seda dalam riwayat ketokohan Katoliknya yang militan. Dia meninggalkan
Flores, bersekolah di Muntilan Jawa tengah. Berjuang di garis depan pemuda
pelajar dalam mempertahankan kemerdekaan bersama para pejuang kemerdekaan pasca
kemerdekaan. Akhirnya dibiayai oleh SVD untuk melanjutkan sekolah ekonomi di
Belanda. Sepulangnya dari Belanda, seorang Seda diterima dalam barisan pemuda
Katolik bersama tokoh Katolikan kawan, I.J.Kasimo.[5]
Kedua,
berpolitik praksis. Kaderisasi Gereja mengarahkan anak kandungnya untuk membuat
pilihan dalam ungkapan Gereja dalam garis politik yang jelas. Para tokoh
politik Katolik sejak IJ Kasimo, Frans Seda, Cosmas Batubara terlibat bersama
suka duka dan cita-cita bangsa Indonesia. bagi mereka, kemerdekaan yang diraih
harus dirasakan segenap rakyat Indoensia. Atau dalam ungkapan I.J.Kasimo pada
awal perjuangan gerakan pemuda Katolik, Salus Populi Suprema Lex (Kesejahteraan
Rakyat adalah hukum tertinggi). Ungkapan ini adalah pilihan politis yang tetap
relevan hingga saat ini. Ketiga, terancam terkooptasi. Sikap
yang dominan dengan arus utama yang berkuasa (orde baru) bersesuaian dengan
penguasa yang memerintah. Sikap ini secara pragmatis muncul dalam
gerakan-gerakan mahasiswa. Ketika Pancasila menjadi asas tunggal melalui UU
keormasan, otonomi Gereja berada dalam bahaya terkooptasi oleh Negara. Bukan
terutama karena Pancasila karena sejak awal Gereja sudah sepakat akan
keunggulannya. Seraya Gereja menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya azas
dalam berbangsa dan bernegara. Karena berdasarkan UU tersebut, terbuka
kemungkinan Negara untuk membubarkan Gereja, khususnya MAWI (KWI-sekarang).
Dalam Dinamika tersebut berpengaruh pada orientasi Gereja dari keterlibatan
politik praktis ke arah keterlibatan sosial. Sehingga sejak saat muncul
berbagai kelompok sosial atau LSM terutama digerakkan oleh individu. Walaupun
bersifat eksklusif dalam keanggotaannya, namun sanggup menunjukkan
keterlibatannya dalam persoalan masyarakat.
Keempat, Gereja yang
beruntung. Lintasan historis Gereja di Indonesia berada dalam posisi yang
beruntung. Kedekatannya dengan penguasa yang sejak awal adalah mitra dalam
perjuangan, namun sama sekali tidak menempatkan Gereja berada dalam posisi
diametral penuh dengan penguasa negara. Jika dibandingkan dengan negara-negara
Amerika Latin, Vietnam, Cina dan lain sebagainya, Indoensia termasuk beruntung.
Karena pilihan sikap awal untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang
sedang berjuang. Karena dari sisi politik, keuntungan ini terlihat sejak
tokoh-tokoh nasional Indonesia, yang menolak agama sebagai dasar kesatuan
negara.
6. Penutup. Historika hubungan Gereja dan
Negara tersebut adalah momentum yang senantiasa hadir dan terus menjadi spirit
dasar perjuangan tokoh-tokoh pemuda di setiap zaman. PMKRI adalah organisasi
kader yang teruji oleh waktu. Tantangan ke depan adalah bagaimana menjadikan
PMKRI sebagai organisasi kaderisiasi, yang hadir sebagai salah satu solusi
untuk melahirkan kader-kader nasionalis konsisten melanjutkan perjuangan
pendahulu. Karena PMKRI lahir sebagai organisasi kader yang setia pada iman dan
perjuangan untuk mendekatkan diri pada manusia dan kemanusiaan (optio for the
poor)
[1]
Dosen Sejarah Gereja di STP Reinha
Larantuka. Anggota PMKRI Santo Ambrosius kota Madiun tahun 1996. Mantan Ketua
Mudika Paroki San Juan 2003-2005, mantan ketua pemuda Katolik Kab Flores Timur
2005-2009, sekarang Ketua PADMA Indonesia Wilayah Flores Timur, Lembata, Alor.
Disampaikan
pada Masa Penerimaan Anggota Baru (MPAB) PMKRI St. Agustinus Cabang Larantuka, 16
Februari 2019.
[2]
Y. Kopong Tuan, MSF, OMK Ikut Gerakan
Politik? Siapa Takut? (2009). Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009. Hal.31
[3]
Caleb Rosado, Corak Masyarakat dan
Tantangannya bagi Misi Gereja. P3J Keuskupan Agung Semarang, 1993. hal.2
[4]
Komisi Kepemudaan KWI, Catatan Aksi
Sosial Politik: Dinamika Gereja Negara. Jakarta: Wacana Multi Media, 1995.
Hal 58.
[5]
Mikhael Dua, Frans Seda: Merawat
Indonesia Di Saat-saat Krisis. Jakarta: Penerbit Obor, 2012. Hal 10-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar