RAJAWALI ITU TELAH TERBANG TINGGI
ROMO
FRANS AMANUE PR DI ANTARA POLITIK PEMBANGUNAN
(oleh
Krisantus Kwen)
PENGANTAR
Romo Frans Amanue PR
telah meninggal Sabtu Suci, 25 Maret 2016 Pkl 11.55 Witeng. Sebagai rekan kerjanya
di STP Reinha Larantuka, saya mencoba mengais dan mengumpulkan catatan penting seorang
imam yang fenomenal serempak imam yang intelektual.
Sosok mengemuka Amanue itu
identik dengan pembelaan bagi kemanusiaan. Kemanusiaan itu jamak, seperti
memandang lautan yang terbentang tak bertepi. Dia menerobos sisi-sisi
pergumulan hidup manusia. Untuk mengenang
kepergian Romo Frans Amanue ini, saya membatasi diri, pada advokasi paralegal
yang dijalani Amanue sebagai misi perjuangannya. Yang saya maksudkan adalah ketika seorang
imam projo keuskupan Larantuka ini “bersuara” di tengah kebijakan politik
pembangunan yang dipandangnya telah melukai perasaan umatnya.
Sikap ini telah
menempatkan dirinya dihadapan ancaman hukuman pidana karena dikenai pasal 310 KUHP oleh penguasa kepadanya. Ada
dugaan sangkaan itu telah dibelokkan dari substansi persoalan yang
dilontarkannya karena kritiknya yang tajam kepada kebijakan pembangunan oleh
rezim pemerintah pada waktu itu.
Sepanjang 1999 dan
2000, saya pernah bekerja bersama beliau di Sekretariat Pastoral Keuskupan Larantuka.
Meskipun di Komisi yang berbeda. Saya membantu Romo Jos Gowing di Komisi kateketik
dan Romo Frans Amanue ketika itu adalah
ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP) di Keuskupan Larantuka. Dalam salah
satu kegiatannya, saya menjadi salah satu peserta utusan katekis dalam
Pelatihan Pendidikan Tingkat Dasar untuk Keadilan dan Perdamaian yang diadakan oleh KKP
Keuskupan Larantuka, yang bekerja sama dengan KKP KWI pada akhir tahun
1999.
Komunikasi kami terus
terjalin seiring kebersamaan kami sebagai staf pengajar di STP Reinha
Larantuka, sampai akhirnya Sang Master Antropologi itu telah pergi dari tengah kami
di STP Reinha Larantuka untuk selamanya.
PROMOTOR
KEADILAN DAN PERDAMAIAN
Apapun tugas yang
dipercayakan kepadanya, alumni Universitas San Carlos Pilipina untuk master of arts Antropologi ini
melaksanakannya dengan tuntas dan sigap. Demikian pun ketika beliau
dipercayakan oleh Bapa Uskup Larantuka Mgr. Darius Nggawa, SVD untuk menjadi ketua
Komisi Keadilan dan Perdamaian. Di komisi yang membidangi kerja-kerja animasi,
advokasi, dan promosi keadilan dan perdamaian ini, tampaklah aura pembelaannya kepada orang-orang kecil dan
tertindas.
Sikap berpihak kepada
para korban ditunjukkannya secara total. Bahkan dia harus turun ke jalan-jalan
bersama rakyat dan umat untuk menentang ketidakadilan rezim. Bagi seorang
Amanue tugas seorang promotor keadilan dan perdamaian adalah menjangkau para
pihak agar keadilan dan perdamaian tetap dipertahankan dan ditegakkan.
Ketika terjadi konflik
seorang promotor harus berada di tengah para pihak yang bertikai. Ia melakukan
animasi dan mediasi terhadap para pihak agar terjadi pemulihan dan perdamaian.
Namun ada kalanya ketika ia melihat ada kasus ketidakadilan dan ada korban ketidakadilan,
maka seorang Amanue berada pada posisi korban. Ia akan mengambil sikap tegas
dan berhadap-hadapan dengan pelaku ketidakadilan.
Memberi
hidup bagi sesamanya
Komitmen dan sikap yang
diperlihatkan oleh seorang Frans Amanue tampak dari seluruh perjalanan
pelayanannya. Konsistensi ini memperlihatkan kepada publik tiga hal penting
dalam profil yang ia hidupi.
Pertama,
Amanue adalah seorang Rohaniwan. Sebagai seorang rohaniwan Amanue memberikan
totalitas kehidupannya untuk panggilan imamatnya. Ketika perjuangannya
dihadapakan pada bahaya karena melawan rezim, ia memperlihatkan orientasi
karyanya. Altar misanya ada di tengah-tengah umat.
Jika resistensi itu mendatangkan korban, seorang Amanue siap untuk meminum cawan itu (Mrk 14:23) di hadapan umatnya. Ia menampakkan sosok Guru sejatinya, sang Imam Agung, Yesus Kristus. Amanue memperhatikan dengan sepenuhnya supaya melalui sabda dan kesaksian hidupnya, menampilkan semangat pengabdian dan kegembiraan Paskah sejati (PO No.11).[1] Dengan caranya, Amanue menyadarkan umat tentang luhurnya panggilan imamatnya, seperti Sang Gembala Pemelihara jiwa-jiwa (1 Ptr 2: 25).
Jika resistensi itu mendatangkan korban, seorang Amanue siap untuk meminum cawan itu (Mrk 14:23) di hadapan umatnya. Ia menampakkan sosok Guru sejatinya, sang Imam Agung, Yesus Kristus. Amanue memperhatikan dengan sepenuhnya supaya melalui sabda dan kesaksian hidupnya, menampilkan semangat pengabdian dan kegembiraan Paskah sejati (PO No.11).[1] Dengan caranya, Amanue menyadarkan umat tentang luhurnya panggilan imamatnya, seperti Sang Gembala Pemelihara jiwa-jiwa (1 Ptr 2: 25).
Kedua,
Amanue adalah seorang nabi yang berseru. Setiap orang yang dibabtis mengambil
bagian di dalam tritugas Kristus. Yakni menjadi Imam, Nabi, dan Raja. Ia menyadari dengan sesungguh-sungguhnya apa
artinya frase trilogi itu. Ia bukan hanya seorang imam yang memimpin misa di
altar kurban Kristus, ia bahkan bukan hanya seorang gembala umat yang pernah
menjadi pastor paroki di wilayah keuskupan Larantuka.
Ia juga seorang Nabi Tuhan, melaksanakan misi keselamatan Kristus. Tugas nabi adalah menyeruhkan suara Tuhan, “ada suara orang yang berseru-seru di padang Gurun: Persiapkan jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan baginya-Nya” (Mat 3:3). Suara Amanue tetap membumbung tinggi menjangkau kekuasaan yang absolut, terbang tinggi seperti rajawali yang merobek kesombongan cinta diri manusia zaman.
Ia juga seorang Nabi Tuhan, melaksanakan misi keselamatan Kristus. Tugas nabi adalah menyeruhkan suara Tuhan, “ada suara orang yang berseru-seru di padang Gurun: Persiapkan jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan baginya-Nya” (Mat 3:3). Suara Amanue tetap membumbung tinggi menjangkau kekuasaan yang absolut, terbang tinggi seperti rajawali yang merobek kesombongan cinta diri manusia zaman.
Ia bagian dari umatnya
seraya mengingatkan tugas kenabian seorang kristen yang telah dipermandikan
untuk terus bersuara di tengah dunia ketika keadilan dan kebenaran tidak ditegakkan.
Ketika terjadi konflik dan kasus yang mendera sebagian umatnya, ia berdiri
bersama para korban. Ia ada di tengah umatnya yang ketakutan di hadapan moncong
senjata rezim.
Ketiga,
Amanue adalah orang Flores Timur. Atau tepatnya ia adalah seorang Lamaholot. Ia
adalah warga masyarakat yang mencintai tanah airnya. Ia manusia Lamaholot yang
sangat paham etika dan nilai Lamaholot. Etika itu tidak boleh dicederai oleh
apapun namanya, sekalipun atas nama politik pembangunan.[2]
Pembangunan memang menuntut korban, namun bukan korban buta. Itulah seorang
Amanue yang tidak tercerabut dari akar budaya. ia seorang manusia Lamaholot
yang menjaga keharmonisan alam, hidup yang jujur, adil terhadap sesama baik dalam
perkataan maupun tindakan demi kesejatraan manusia di dalam pembangunan.
Amanue adalah nabi di
jamannya. Ia bisa tampil keras, ketika rezim membangun negeri ini dengan gaya
kolusi kekuasaan. Politik ditampilkan dalam wajah kekerasan. Kekerasan Politik
adalah ciri yang dominan ketika Amanue tampil bersama rekan-rekan se-perjuangannya
di tahun 2003. Mereka berhadapan dengan alat represif yang menghancurkan. Kekerasan
politik menjadi lazim karena dapat digunakan untuk mempertahankan status quo.[3]
Keadaan memang mencekam, rakyat dibuat bungkam. Tetapi seorang Amanue tidak
demikian, ia selalu bersama umatnya.
Takta
Keadilan Itu Bernama Rakyat
Puncak perjuangan
Paralegal Romo Amanue adalah dia diadili di pengadilan Larantuka, 16 November
2003. Vonis Hakim kepada Romo Amanue 2 bulan penjara dan 5 bulan masa
percobaan. Hari itu Sabtu Kelabu. Amukan massa tidak bisa dibendung. Massa rakyat
tidak menerima keputusan itu, seorang imamnya dijatuhkan hukuman. Api membakar gedung
pengadilan dan membakar Kantor Kejaksaan Larantuka. Ironis, justru membakar
gedung simbol pertahanan rakyat dalam mencari keadilan dan kebenaran. Bahkan para punggawa keadilan pun terpaksa menyelamatkan diri mereka. Menurut HR Tempo Online (17/11/2003), dalam kolom "Berita Nasional", termuat judul, "Karyawan Kejaksaan dan Pengadilan Larantuka berlindung di Keuskupan".
Hari itu rakyat tidak mempunyai sandaran lagi, seiring harga diri rakyat yang telah terbang searah jago merah yang melalap gedung kebanggaan yang dibakar dan diinjak oleh anak kandungnya sendiri. Tidak ada lagi sandaran rakyat. Takta rakyat telah diruntuhkan oleh kekuasaan dan kesewenang-wenangan.
Hari itu rakyat tidak mempunyai sandaran lagi, seiring harga diri rakyat yang telah terbang searah jago merah yang melalap gedung kebanggaan yang dibakar dan diinjak oleh anak kandungnya sendiri. Tidak ada lagi sandaran rakyat. Takta rakyat telah diruntuhkan oleh kekuasaan dan kesewenang-wenangan.
Perjuangan Amanue
adalah perjuangan rakyat semesta. Dia hanya titik kecil di sudut NTT. Hari-hari
itu panggung NTT menceritakan kebusukan Kolusi, Nepotisme, dan Korupsi sebagai
wajah NTT. Media Kompas (13/10/2003) bahkan menurunkan judulnya yang miris, “Korupsi
di tengah Kemiskinan” NTT. Menurut Kepala Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) NTT, Martinus Suwasono, praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme
(KKN) di daerah itu (NTT) cenderung vulgar dan "main babat".[4]
Justru perlawanan
rakyat terjadi ketika DPRD sama sekali bungkam, tidak memainkan fungsi kontrolnya
terhadap para bupati, wali kota dan gubernur menurut semangat UU No 22/1999
tentang Pemerintah Daerah, Pasal 19, DPRD, bahwa mereka mempunyai hak antara
lain: meminta pertanggungjawaban gubernur, bupati dan wali kota, meminta
keterangan pemerintah daerah, mengadakan penyelidikan dan mengajukan pernyataan
pendapati
PENUTUP
Amanue bukan milik
komunitas Kristiani, dia adalah milik rakyat. Keadilan dan kebenaran adalah hak
dan milik rakyat. Kebijakan penguasa yang menindas rakyat apapun bentuk dan
motifnya, itu yang dikritiki oleh seorang Amanue.
Peristwa Frans Amanue ini
menghadirkan dua pesan untuk publik. Pertama,
menjadi pemimpin itu amanah karena merupakan panggilan dari Tuhan. Melayani rakyat
dengan hati dan berkorban tanpa pamrih. Pemimpin tidak memiliki motif lain selain
melayani. Karena pemimpin sesungguhnya adalah seorang pejuang kebenaran dan
keadilan. Kedua, menjadi promotor keadilan dan perdamaian adalah tugas semua
orang. Dunia membutuhkan setiap insan yang bukan hanya rindu perdamaian dan
keadilan tetapi juga setiap insan yang membela kebenaran dan keadilan. Kita tidak
bisa diam terhadap ketidakadilan, karena ketika kita diam, kita setuju kepada
ketidakadilan. Kita harus mulai berjuang untuk bersikap adil dan membawa damai di
tengah keluarga kita masing-masing.
Kritiknya Amanue adalah
pedas dan tajam. Bagai rajawali, ia telah terbang tinggi mengangkasa. Ia pasti
kembali suatu saat ke dalam diri para pejuang keadilan dan kebenaran. Amanue akan selalu hadir dalam diri setiap orang yang
rindu perdamaian dan cinta keadilan.
Kota
Rowido – Sarotari,
Hari
Minggu Kerahiman Ilahi,
3
April 2016.
[1] PO, akronim dari Presbyterorum Ordinis, Nomor 2. Dokumen Konsili Vatikan II , Dekrit tentang
Pelayanan dan Kehidupan Para Imam. Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana
(penerj,) (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), hal. 472-474.
[2] Hironimus Adil, Eksekusi Kekerasan Politik: Bacaan dari
Perkara Bupati Fernandez versus Rm. Frans Amanue, dalam Emanuel J Embu, SVD
& Amatus Woi, SVD (Ed.), Berpastoral di Tapal Batas: Pertemuan Pastoral VI Konferensi Waligereja Nusa Tenggara (Maumere: Penerbit Ledalero-Puslit Candraditya,
2204), hal. 240.
[3] Dr.
Guido Tisera (Ed.), Mengelolah Konflik, Mengupayakan Perdamaian (Maumere: LPAJ,
2000).
[4] http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid,
diakses tanggal 3 April 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar