Monumen Herman Fernandez di jantumg kota Larantuka(foto Ebed Derosari)
LARANTUKA DAN NASIONALISME
“Jangan ajar orang
Larantuka tentang arti nasionalisme”. Tentu frase ini tidak berlebihan kalau orang
meragukan nasionalisme orang Flores Timur. Letaknya yang strategis di jantung kota Larantuka
membuat patung Herman Fernandez menjadi salah satu ikon kota ini. Dibalik
monumen patung ini sebetulnya tersembunyi pesan monumental nan heroik arti
sebuah pengorbanan!
Semana Santa di kota Larantuka sebagai salah satu destinasi
wisata rohani yang tersohor sampai ke manca negara. Kepopuleran destinasi ini
seakan menyembunyikan sebuah destinasi ‘lain’ yang nyaris dilupakan. Bukan saya
bermaksud mengurangi dan menyaingi Larantuka sebagai kota Reinha, melainkan
melihat sudut lain dari arti kehadiran sebuah Patung, gambaran lain dari profil
orang Flores – Larantuka yang terlibat memikirkan, menegakkan, dan memberi diri
dan berkorban untuk bangsa dan tanah air.
Orang ini bernama Herman Fernandez. Pemuda asal
Larantuka yang lahir di kota Pancasila Ende, 3 Juni 1925. Terlahiir dari ayah Markus
Suban Fernandez dan ibu Fransisca Theresia Pransa Carvallo. Herman kecil adalah
gambaran watak anak-anak Flores yang militan karena didikan intelektual para
imam dan Bruder biarawan Societas Verbi Divini
(SVD). Bersama pelajar-pelajar di kota Ende seperti Frans Seda, tokoh nasional
asal Sikka, Herman Fernandez nekad menyeberang ke pulau Jawa menuntut ilmu di Hollands Inlansche Kweekschcol (HIK)
atau Sekolah Guru Bantu di Muntilan Jawa tengah.
Di Muntilan, pelajar Herman satu angkatan dengan Yos
Sudarso juga Slamet Riyadi. Keduanya kemudian menjadi Pahlawan Nasional karena
kipra nasionalisme mereka. Yang berjuang di kesatuannya masing-masing sampai titik
darah terakhir untuk NKRI.
Belum satu tahun di Muntilan pecah perang
kemerdekaan. Sekolah mereka ditutup untuk sementara waktu karena Belanda
menduduki kota-kota di pulau Jawa, termasuk Muntilan. Herman dan Frans Seda
kemudian ke kota Yogyakarta untuk melanjutkan perjalanan hidup mereka, bertahan
sambil berharap masa krisis berakhir dan mereka kembali melanjutkan studinya.
Di kota Yogyakarta-lah peristiwa heroik itu bermula.
Tentara Pelajar (TP) termasuk elemen-elemen perlawanan rakyat Indonesia. Herman
Fernandez tergabung dalam PERPIS (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi),
pimpinan Maulawi Saelan. Di palagan Kebumen, tepatnya di Front Gombong Selatan, 1-2 September 1947,
Herman menunjukkan jiwa patriotiknya dalam pertempuran dua hari bersama Alex
Rumambi, karibnya asal Flores dan La Sinrang sahabat perjuangan asal Sulawesi. (Toto
Wirjosoemarto, Missing Link Missing in
Action Kompasiana ( 2/112009); Yohanes Apriano Dawan Fernandes, Herman Fernandez, Bertempur Hingga Peluruh terakhir,
kompasiana (10/02/2012).
Monumen Herman Fernandez tetap kokoh berdiri tegak di
jantung kota Larantuka sebagai ‘cahaya’ semburat nasionalisme. Minimal ada e (tiga
) pembelajaran yang dapat dipetik dari semangat patrotik seorang Herman
Fernandez. Pertama, Herman adalah
gambaran typikal petarung Flores. Dia sendiri melepas anak panah dari busur idealisme
Floresnya. Menjadi manusia diaspora adalah model dari perjalanan hidup heroiknya.
Yang menyeberang ke tanah Jawa untuk meningkatkan kapasitas diri.
Kedua,
ia ‘melemparkan’ dirinya ke tengah pluralistik idiologi dari beragam manusia
Indonesia. Inilah spiritulitas awam yang lahir dari rahim ibu Floresnya yang
Katolik. Karena ia membiarkan dirinya dibakar oleh api cinta hidupnya, dibentuk
dan dipakai oleh pencipta. Ia seperti anak domba yang digiring ke tempat
pembantaiann (Yes 53). Cahanya iman menuntunnya. Karena itu seorang Herman tahu
untuk apa ia berkorban.
Ketiga,
Herman menjadi manusia Indonesia. Dia meleburkan dirinya dalam kesatuan aksi tentara
pelajar Indonesia. Menjadi bagian dari Persatuan
Pelajar Indonesia Sulawesi merupakan pilihan yang strategis untuk melebur dalam
ragam perbedaan etnis dan budaya. Pada titik itu, Herman meninggalkan titik zero,
dari sona aman identitas diri menjadi identitas nasionalnya. Meluasnya cakrawala
pandangnya menjadikan manusia merdeka bahkan ketika kematian akan menjemputnya.
Karena Herman memilih mati daripada mengkianati hati nuraninya. Herman sangat paham
untuk apa dia berjuang! Dia seperti manusia Sabda yang memberi dirinyanya untuk
sesama, yang diajarkan oleh guru SVD-nya di Schakel School (SMP) di Ndao Ende.
Menjadi manusia Indonesia di zaman now seperti berada
di sebuah titian penyeberangan. Kemarin adalah masa lalu yang membentuk hari
ini dengan sejarah yang panjang penuh heroik oleh para pendiri bangsa ini. Ketika
nasionalisme sedang diuji dan NKRI sedang dipertanyakan oleh kelompok-kelompok
intoleran, kita membutuhkan spirit para pahlawan bangsa.
Nasionalisme kebangsaan mewujud dalam Negara Indonesia. Ini adalah kebenaran sejarah kita. Dan
seorang Herman Fernandez adalah salah satu manusia Indonesia yang kebetulan
lahir di Ende yang berasal dari Larantuka. Di jantung kota Larantuka
detak-detak nasionalisme akan mengalirkan darah perjuangan itu. Akan diingat
geberasi demi generasi. Karena tidak seorangpun akan bisa membunuh kebenaran. Monumen itu, bukan sekedar patung, melainkan tanda bahwa dibalik ornamen itu, ada api patriotisme dan nasionalisme di jantung kota Larrantuka.
Selamat hari Pahlawan
Selamat hari Pahlawan
Menyongsong Fajar Baru,
Larantuka, 10 November 2018.
(www.krisantuskwen.blogspot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar