PUBLIK
SPEAKING:
Advokasi Mahasiswa untuk Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC)[1]
Gus Dur sanggup
melakukan 10 perubahan signifikan hanya dalam waktu dua tahun berkuasa
(1999-2001), sementara dalam 10 tahun berkuasa, SBY hanya sanggup melakukan dua
perubahan. Gus Dur melakukan perubahan di tengah era 1000 kegaduhan, perlawanan
dan pemberontakan. Gus Dur adalah sosok perubahan yang berani sementara SBY
tampil dengan gaya flamboyan, cenderung menghindari konflik, mengalah dan
kompromi![3]
Kita hidup hari ini di
era kegagalan dan kegaduhan kepemimpinan, baik lokal maupun nasional. “Moral
force” belum sepenuhnya menjadi panglima. Karena mereka mengejar kekuasaan dan demi
popularitas sebagai “publik figur”, daripada kompetensi profesionalitas.
Meminjam istilah Komarudin Hidayat, seorang tokoh intelektual muslim, bahwa
kegagalan tersebut sebagai akibat rendahnya kepercayaan politik masyarakat
kepada negara.[4]
Mereka kurang memelihara dan merawat Indonesia. Tepatnya, mayoritas segenap
warga dan bangsa Indonesia adalah korban pembangunan karena dipinggirkan,
“alienasi” oleh karena pertarungan kekuasaan para pemimpin, sebagaimana yang
saya maksudkan di atas. Pada titik inilah, masyarakat membutuhkan advokasi
untuk mendampingi dan menemani mereka dalam memperjuangkan hak-haknya demi rasa
keadilan dan perdamaian (justice and peace).
MPAB DPC PMKRI Cabang
Sikka 2016 memiliki dua momentum untuk perubahan itu. Pertama, DPC PMKRI Sikka
sebagai sebuah Organisasi kepemudaan (OKP) memiliki spritualitas perjuangan
melalui semboyan spiritualitas dan semboyan misioner, yang akan menjadi
landasan pembinaan dan landasan perjuangan anggota dari kader muda Gereja
Katolik. Semboyan PMKRI adalah “Religio Omnium Scientiarum Anima”, agama adalah
jiwa segala ilmu pengetahuan dan “Pro Ecclesia et Patria”, untuk Gereja dan
tanah air. Memiliki spiritualitas akan menegaskan arah perjuangan untuk membela
‘kaum terpinggirkan’ serempak menegaskan komitmen iman akan Kristus, sang
advokasi sejati.
Momentum kedua, MPAB
DPC PMKRI Sikka adalah melahirkan kader muda Katolik untuk keluar dari ‘sona
aman’ hidup untuk melawan arus massa yang cenderung mapan. Agar dapat menjumpai
sesamanya yang membutuhkan uluran tangan serempak terus hadir di tengah
kepemimpinan daerah dalam bingkai kepemimpinan nasional agar memengaruhi
kebijakan yang pro masyarat.
Hemat saya, PUBLIK
SPEAKING, akan menjadi sebuah cara untuk menegaskan komitmen agar perjuangan
menegakkan keadilan dan perdamain terus menjadi senjata dalam perjuangan kader
Muda Mahasiswa Katolik. Saya tidak hendak mengajarkan peserta untuk mendalami
teori publik Speaking secara metodologis dan sisttimatis, melainkan secara
praktis mengajak peserta untuk menggali, menemukan, dan mengenali segenap
kemampuan yang mereka miliki. Sebab mereka telah memiliki pengetahuan awal
untuk berbicara. Yang dibutuhkan adalah peserta
menggali motif dan orientasi untuk meneruskan komitmen agar terus berada
di arus perjuangan sebagai seorang
kader.
2. PUBLIC
SPEAKING (PS): MENCARI CARA MENEGASKAN KOMITMEN.
2.1. Arti
Frase
‘public speaking’, diterjemahkan dengan aneka arti. YS Gunadi menjelaskan PS
adalah komunikasi yang dilakukan secara lisan mengenai suatu hal atau topik
dihadapan banyak orang dengan tujuan mempengaruhi, mengajak, mendidik, mengubah
opini, memberikan penjelasan, dan memberikan informasi kepada masyarakat di
tempat tertentu.[5]
Secara bebas disebutkan bahwa ‘public speaking’ adalah kemampuan berbicara di
depan umum, ketrampilan berbicara secara efektif, komunikasi praktis, dan
menarik simpatik orang banyak. Singkatnya publik speaking adalah pengetahuan
dan ketrampilan untuk tampil secara meyakinkan untuk memenangkan sebuah misi
baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan banyak orang. Jadi kata kunci
dari PS adalah komunikasi. Komunikasi adalah pintu agar seseorang dapat
menjumpai orang lain atau sekelompok orang.
2.2. Memaknai
Publik Speaking
Mencermati arti
‘PS’, menyadarkan manusia bahwa ia tidak
sekedar sebuah keterampilan melain ia adalah sebuah ‘seni’ untuk tampil, namun
sekaligus melaksanakan peran seorang pemimpin. Karena ‘PS’ sebetulnya
melaksanakan keunggulan komperatif tertentu yang hendak mempengaruhi orang lain
agar bersama-sama menuju tujuan tertentu.
2.2.1. Substansi
Publik Speaking
‘PS’ terlahir dalam
kesadaran komunitas. Karena kemampuan-kemampuan dasar komunikasi itu tumbuh
dalam hidup bersama sebagai manusia. PS sebetulnya mulai dikenal sejak
seseorang bertumbuh di dalam keluarganya sejak bayi, anak-anak, remaja dan
menuju kedewasaan yang penuh. Selanjutnya ia meluaskan pergaulan di tengah
masyarakat, tempat ia belajar, bekerja, dan lain sebagainya. Dengan kata lain
setiap hari manusia hidup dalam suasana organisasi atau lingkungan kerja, yakni
bekerjasama dengan manusia lain dalam sebuah wadah kebersamaan.[6]
Agar komunikasi dapat berjalan secara efektif antarmanusia dalam kelompok,
minimal ada tiga tuntutan dasar.
Pertama, Pengetahuan.
Seseorang mutlak memerlukan dan terus meningkatkan pengetahuan. Pengetahuan
yang minim dapat menghalangi seseorang untuk bertumbuh karena rendahnya olah
pikir dan pengetahuannya. Kedua, keberanian. Seseorang membutuhkan keberanian
untuk menyatakan pendapat dan gagasan. Ada banyak orang yang memiliki
pengetahuan yang OKE, namun sayangnya mereka tidak berani menyatakan gagasannya
sehingga orang lain tidak tahu apa yang
menjadi ide dan gagasannya. Keberanian yang diungkapkan kepada orang lain harus
didukung dengan sejumlah pengetahuan sehingga yang bersangkutan memiliki
legitimasi dan kewibawaan yang memadai. Ketiga, etika. Seseorang sangat
memerlukan etika untuk menjaga keseimbangan dengan faktor pengetahuan dan keberanian. Sebagian
orang masih gagal dalam menyampaikan gagasan dan ide ketika mereka berhadapan
dengan atasannya hanya karena dia tidak memperhatikan etika. Etika itu ibarat
warna-warni dalam komunikasi, namun sebetulnya mempengaruhi keberhasilan dan
menyebabkan kegagalan jika tidak diindahkan dengan baik dan benar. Dia ibarat
kopi susu yang lezar, namun disajikan dalam cangkir yang karat sehingga orang
tidak mau meminumnya.[7]
2.2.2. Keseimbangan
Komunikasi
Pengetahuan,
keberanian, dan etika adalah kualitas moral yang sangat mempengaruhi
keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan. Hal ini mengandaikan
keunggulan-keunggulan komperatif tertentu. Karena dia akan memancarkan
keindahan yang menakjubkan sehingga mempesona orang-orang disekitarnya.
Ketiganya dapat terlaksana hanya jika ditempuh dengan keyakinan diri dan
kualitas moral. Dengan demikian, maka setiap pribadi yang sanggup melaksanakan
tiga tuntutan dasar komunikasi dan memperhatikan dua syarat pendukung tersebut,
akan tampil secara profesional, konseptual, dan bertanggung jawab.
2.2.3. Kekuatan
Media dalam keseimbangan komunikasi
Untuk mencapai tujuan
komunikasi, seseorang membutuhkan media. Baik dalam arti sederhana maupun dalam
arti istimewa. Secara sederhana media itu hanya berupa alat-alat audio atau
visual yang digunakan seseorang atau kelompok orang dan secara istimewa berupa
peran media massa sebagai sarana pendidikan masyarakat. Untuk melaksanakan
peran media secara tepat dan benar (Boris Libois,1994), membutuhkan tiga syarat
pertimbangan.
Pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek
yang dasyat terhadap publik, sekalipun media juga mudah memanipulasi dan
mengalienasi publik yang lemah. Sebetulnya dalam event ini media mempunyai
peran melindungi publik yang lemah. Kedua, menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Hal
ini hendak disalurkan untuk menghindari monopoli tendensi korporatis
(kapitalisme) para wartawan media besar. Jangan sampai kritikan yang tajam
dapat memberangus eksistensi media, pembatasan dan pengebirian pers. Ketiga,
menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental. Karena
logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna, sebab media hanya mempertahan
kredibilitas pers, namun kehadiran pers sebagai pembawa pencerahan publik
kurang diperhatikan. Dalam pertumbuhan media dan kebutuhan publik akan
informasi terbentang jarak yang menantang tindakan-tindakan advokasi di ruang
publik. Sebab logika pasar dan tuntutan keuntungan material hanya bisa dijaga
dalam bentuk meningkatkan kemampuan daya saing.[8]
2.3. RAKYAT
YANG TERSINGKIR
Memperhatikan media
massa dalam tiga bulan terakhir di NTT dan Indonesia pada umumnya, dapat kita
temukan banyak kasus dimana kebutuhan publik belum dapat dilayani secara
maksimal oleh penguasa publik (Baca:pemerintah kabupaten, provinsi dan
pemerintah pusat). Kebutuhan dasar manusia seperti air, listrik, sembako
menjadi momok bagi pemerintah dan berpotensi pada pergerakan massa rakyat
karena ketidakadilan dalam roda pemerintahan. Pemerintah kita (NTT) disinyalir
mengabdi Rakyat dengan Kekuasaan[9].
Fakta kemiskinan begitu menonjol untuk NTT amat memprihatinkan dalam kaca mata
Nasional. Dalam angka statistik kita selalu berada pada nomor buntut dalam hal
kesenjangan ekonomi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)NTT, Provinsi NTT berada
pada urutan 32 dari 34 provinsi di Indonesia. Data tahun 2015, memperlihatkan
bahwa 66,40% tenaga kerja di NTT adalah tamatan SD. Rasio penggunaan APBD
menujukkan 67% digunakan untuk belanja pegawai, selebihnya untuk belanja barang
dan jasa. NTT masih memimpin untuk tingkat kemiskinan di aras nasional.
Fakta lain yang miris
adalah banyak pejabat NTT memimpin Birokrasi dengan memainkan jurus
Politik Praktis.[10]
Oleh karena itu banyak energi dihabiskan dalam pergolakan politik. Apalagi
pejabat dipromosikan sebagai imbalan dan balas jasa politik. Secara ekonomi
makro NTT akan cenderung mengalami korban-korban balas dendam pemerintahan dari
rezim ke rezim yang akan berimbas pada pelayanan publik yang tidak karuan. PR
besar di era kini dan hari ini di NTT adalah bagaimana cara memutuskan mata
rantai balas dendan dan balas jasa politik karena pejabat birokrasi masih
ditempatkan atas dasar ‘like and dislike’. Fakta ini yang menyebabkan pelayanan
publik diabaikan dan kesejahteraan rakyat masih jauh panggang dari api.
Fakta-fakta ketimpangan
sosial diatas merabat ke dimensi hukum, sosial-budaya, dan pengalaman ajaran
agama sehari-hari. Lemahnya penegakkan supremasih hukum menyebabkan orang mudah
main hakim sendiri. Orang-orang lemah dan miskin bahkan menjadi korban ketidakadilan
hukum karena mereka tidak mempunyai akses kepada pelayanan publik yang baik.
Ada adagium minor hukum, siapa yang memiliki uang memenangkan perkara. Karena
kekuatan kebenaran dan hukum dapat dengan mudah dipatahkan oleh kekuasaan dan
uang.
Secara makro, kegagalan
dalam memimpin rakyat dapat berdampak pada ketidakadilan dan kemiskinan secara
secara struktural. Rakyat membutuhkan pemimpin yang memiliki visi memimpin dan
misi membangun disertai dengan itikad dan kemauan untuk mengubah masyarakat
agar menjadi lebih baik.
2.4. ADVOKASI
UNTUK RAKYAT DAN PERAN MAHASISWA
Yang dibutuhkan oleh
Rakyat adalah kehadiran untuk menemani ketika mereka mengalami penindasan
struktural. Keberanian oknum pemerintah untuk “memakan” anaknya sendiri dalam
praktek-praktek di tengah masyarakat harus dilawan dengan tindakan pro rakyat.
Spiritualitas atau semangat hidup harus dinyalakan oleh para pendamping massa
rakyat yang menjadi korban pembangunan. Jawaban yang dibutuhkan oleh rakyat
yang tersingkir adalah Advokasi, yakni tindakan mendampingi para korban
ketidakadilan, yang menyebabkan mereka berada dalam ketidakdamaian yang
berkepanjangan. Mereka jauh dari akses-akses pembangunan, dan akses pelayanan
publik yang menjadi hak-hak mereka.
2.4.1. Konsep
Advokasi Kristiani
“Advokasi” atau
pendampingan memiliki tiga ruang lingkup, yakni Advokasi Kebijakan Publik,
Penyelesaian Kasus, dan Transformasi Konflik.[11]
Ruang lingkup pertama
adalah Advokasi Kebijakan Publik adalah semua bentuk pendampingan dan pembelaan
bagi korban ketidakadilan dalam menghadapi pelaku ketidakadilan, baik dalam
pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (Non-Litigasi), dengan tujuan
untuk merobah, ataubahkan menghapus sebuah kebijakan publik yang dinilai
merugikan orang banyak , atau untuk menciptakan kebijakan publik yang baru
untuk menggantikan kebijakan yang merugikan kebijakan.
Untuk melaksanakan
advokasi ini prinsip kristiani yang menjadi tolok ukur adalah suara kenabian.
Prinsip yang dianut yakni :denuntiare” dan “anuntiare”. Yang pertama berarti
berani membongkar kejahatan dan melawan atau protes terhadap ketidakadian yang
terjadi, yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan yang berdasarkan
kuat pada data akurat. Untuk melaksanakan sikap ini perlu kehati-hatian supaya tidak
menimbulkan korban dari rakyat kecil dan
tak berdaya. Prinsip kedua, berani mengungkapkan dan menyampaikan kebenaran di
muka umum baik secara lisan atau tertulis. Sikap ini hendaknya menjadi
orientasi umat baik tertahbis atau tak terbabtis. Dengan prinsip ini, umat
menjadi tertantang untuk mengungkapkan kebenaran dan membongkar kejahatan serta
mengutuk dan melawan semua ketidakadilan yang dilakukan pihak-pihak yang
berkuasa. Orientasi advokasi pada dasarnya diberikan kepada para korban dan
para pelaku ketidakadilan. Kepada korban disampaikan martabatnya sebagai
hak-hak asasinya serempak kewajiban asasinya.
Ruang lingkup advokasi
kedua, Penyelesaian Konflik. Banyak orang kecil dan sederhana yang mengalami
ketidakadilan dalam beragam bentuk. Mereka tidak berbuat apa-apa selain pasrah
pada nasib, sehingga mereka kadang menjadi bulan-bulanan hukum yang tidak
memihak. Sebagai pengikut Yesus, orang kristiani terpanggil untuk membantu “The
poor” ini dalam menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Mereka harus menjadi
teman bagi korban dan mengantar korban keluar dari kesesakkanyang dialaminya.
Ruang lingkup advokasi ketiga adalah Transformasi konflik. Pada titik ini
seorang pendamping korban ketidakadilan harus dengan tegas membedakan “kasus”
dan “konflik”. Karena akan membantu dia menentukan sikap sebagai promotor
Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC). Ketika konflik terjadi,
seorang promotor harus menempatkan dirinya sebagai mediator Konflik. Dia berada
di antara para pihak yang bertikai untuk menemukan jalan damai. Tetapi ketika
terkjadi “Kasus”, seorang mediator harus berada bersama para korban yang
mengalami ketidakadilan dan berjuang bersama mereka.[12]
2.4.2. Peran
PMKRI sebagai promotor KPKC.
Mahasiswa yang berada
di dalam organisasi kepemudaan (PMKRI), dapat memainkan perannya secara
adekuat, berakar dalam semboyan dan spiritualitas Organisasi. Konsolidasi yang
mantap dapat membantu dia memainkan peran advokasi secara bertanggung jawab.
Mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademik memiliki “iklim” yang kondusif
karena memiliki kerangka berpikir yang sistimatis, dan metodis sesuai dasar
keilmuan, yang sanggup diterapkan dalam rana sosial kemasyarakatan. Idealisme
yang kokoh menegaskan dasar keberpihakkan kepada kaum kecil dan papa dari
korban ketidakadilan.
Dasar kristianitas,
fraternitas, dan intelektualitas adalah titik sambung yang sanggup mencerahkan
keberpihakkkan PMKRI kepada para korban ketidakadian, disamping sebagai
organisasi kader. Dengan tiga sikap: berpengetahuan, sikap berani, dan beretika
dalam organisasi kader ini, akan sanggup melahirkan agen-agen pastoral Gereja
masa depan, sekarang dan kini.
2.5. EPILOG
“Perubahan selalu
datang bersama sahabat-sahabatnya, yaitu resistensi, penyangkalan, dan
kemarahan” kata Reinald Kasali, demikianpun
“Bukan yang terkuat yang mampu bertahan melainkanyang paling adaptif dalam
merespons perubahan” kata teori survival of the fittest, yang
dirumuskan Charles Darwin (1809-1882).
Keberpihakkan saja
tidak cukup, beriman kristiani saja juga tidak cukup, karena gerakkan advokasi
membutuhkann pengetahuan dan keberanian untuk berpihak demi sebuah perubahan untuk masyarakat.
Selamat kepada para
peserta MPAB PMKRI Sikka 2016! Jadikan PMKRI sebagai organisasi kader serempak
organiasasi perjuangan. Akhirnya kita harus sepakat untuk mengikuti Guru kita,
Yesus Kristus, “I can follow him wherever he goes”
============================================
[1]Disampaikan dalam MPAB DPC PMKRI
Sikka 8 – 13Maret 2016
[2] Dosen STIPAS Reinha Larantuka,
Ketua PADMA Indonesia Flores Timur.
[3] Reinald Kasali, Let’s Change! Kepemimpinan, Keberanian, dan
Perubahan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), hal. 3-6.
[4] Yanuardi Syukur, Anies Baswedan: Mendidik Indonesia
(Yogyakarta: Penerbit Giga Pustaka, 2014), hal. 15.
[5]
http:www. Marketing.co.id/public-speaking-itu-pentimg, diakses 29 Februari 2016
[6] Herman
Musakabe, Pemimpin dan Krisis Multi
Dimensi: Etika dan Moralitas Kepemimpinan (Kupang: Penerbit Yayasan Citra
Insan Pembaru, 2008), Hal. 28-34.
[7] Ibid.
[8]Dr. Haryatmoko, Etika
Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 38-39.
[9] Kanisius Toel Baldus,Pos
Kupang,18/02/2016.
[10] Herman seran, Pos Kupang,
2/03/2016.
[11] Dr. Norbet Betan SVD, Berjuang bersama
menegakkan nilai-nilai: Keadilan, perdamaian & Keutuhan Ciptaan
(Jakarta: Penerbit Padma Indonesia, 2008), hal. 61-65.
[12] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar