Dimuat Koran Poskupang Online dan Cetak, Jumat, 22Januari 2021
Oleh Krisantus M. Kwen
Dosen
Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka
Latar belakang Gedung Capitol Hill, Washington DC
Di
tengah perjuangan bangsa Indonesia dan dunia internasioal yang sedang berjibaku memerangi
pandemi Covid-19, datang berita yang mengejutkan jagad mondial. Amerika Serikat
(AS) digucang kerusuhan massa. Pendukung
Presiden Donald Trump menyerbu Gedung Capitol di Washington DC (06/01/2021)
pada saat Konggres Amerika Serikat sedang bersidang untuk mengesahkan hasil
pemilihan presiden yang dimenangkan oleh Joe Biden (Kompas online 8/1/2021).
Hari-hari ini AS berada di
bawah tekanan dan
kecaman internasional karena negara yang
dijuluki maskot demokrasi tersebut justru tidak
dapat menahan serangan pada demokrasinya sendiri. Pemicu kerusuhan tersebut
dibiangi oleh presidenmya sendiri si gaek Donald Trump. Demikian Twitter mantan
presiden Amerika, Barack Obama dalam akunnya @BarackObama yang diunggah 7
Januari 2021. Bahwa Kerusuhan Negara pengusung Demokrasi terbesar dunia ini
dipicuh oleh seorang presiden yang terus berbohong tentang hasil pemilihan umum
(www.pikiran
rakyat 7/1/2021).
PERILAKU
AKTOR POLITIK
Kerusuhan massa pendukung presiden Donald Trump
di Capitol Hill membuktikan
bahwa tradisi demokrasi yang berusia ratusan tahunpun bisa
dilecehkan oleh kekuasaan yang
korup. Fenomena Donald Trump di akhir masa jabatan yang kontroversi tersebut setidaknya memberikan
tiga pelajaran berharga kepada kita.
Pertama, substansi kebenaran
demokrasi adalah perilaku kekuasaan. Kemajuan
teknologi informatika dengan maskot media daring tidak dapat menghentikan penyelewengan
kebenaran. Salah satu keunggulan media digital adalah dapat memberikan akses
yang cepat kepada pengguna media dan memengaruhi pembentukan opini publik. Potensi dan peluang ini serempak bisa menjadi kelemahan dan ancaman bagi demokrasi jika
dimanfaatkan secara salah oleh kaum
oportunis media massa. Mereka menyalagunakan media online untuk
kepentingan tertentu. Potret
kemenangan Donald Trump tahun 2016 yang diduga disokong oleh informasi dari
media sosial (Media Indonesia 30/09/2017).
Bahkan para peneliti akademisi
sekaliber New York University dan Stand Ford university menemukan indikasi itu ketika meneliti pengaruh
berita palsu (fake news) yang disiarkan media sosial menjelang pemilihan (A.
Margana, 2017). Publik AS tentu tidak mau mengulangi kesalahan yang sama pada
pemilihan presiden pada periode selanjutnya. Benar, bahwa terobosan masif
media sosial yang didukung dana yang besar dan konstan dapat pembentuk opini
dan memengaruhi pilihan warga terhadap calon presidennya. Pada kasus ini media sosial
benar-benar dimanfaatkan secara brutal oleh petualang politik dengan
mengedepankan Fake News secara terstruktur dan sistimatis. Donald Trump
memainkan strategi untuk
membentuk opini publik tentang hasil pemilihan presiden yang
curang.
Mayoritas publik Amerika tentu mengikuti sepak terjang perjalanan karir
politiknya. Mereka bertanggung
jawab menjatuhkan pilihan dan menentukan nasib politik Trump. Kekalahan Trump membuktikan bahwa
perilaku politik yang menyimpang dari kehendak publik berdampak
pada penolakan mayoritas publik kepadanya dalam pemilihan presiden.
Rakyat AS telah melihat bukti dalam perjalanan karir politik
Tramp. Pembelajaran yang efektif bagi para pemimpin masa kini bahwa Fake News
dan trend politik sejenisnya tidak akan bertahan dalam sistem demokrasi.
Perilaku pejabat politik
ikut menentukan perjalanan karirnya.
Sebab substansi kekuasaan sebetulnya
terletak pada kesaksian (weekness) perilaku aktor politik itu sendiri.
Kedua,
adanya penyimpangan
komunikasi. Propaganda
melalui media sosial merupakan
salah satu indikator dalam memenangkan
pemilihan umum. Pasca kemenangan Donald Trump pada
pemilu 2016 di AS, media massa memperbincangkan berita palsu yang memengaruhi
kemenangan pemilihan umum tersebut. Pakar politik, sosial, dan komunikasi di
lembaga-lembaga akademisi melakukan penelitian terhadap isu tersebut.
Tidak
kurang Mark Zuckerberg, pemilik akun jejaring sosial Facebook
pun mendapat kecaman karena dianggap bertanggungjawab terhadap penyebaran
berita palsu yang memenangkan Trump. Demikianpun Mantan Presiden Barack Obama
mengulangi hal yang sama bahwa Facebook
bertanggung jawab terhadap serangan dan kebohongan yang berulang kali sehingga
orang mempercayainya (CNN Indonesia, 14/11/2016).
Metode Fake News dianggap masih efektif untuk
membentuk opini publik demi kemenangan politik. Akhirnya mayoritas pemilih terpengaruh dengan issu demikian
dibandingkan memilih calon
berdasarkan kinerja, program dan karakteristik
personal (bbc News Indonesia, 20/4/2017).
Perilaku komunikasi demikian disebut Haryatmoko (2007) sebagai sebentuk
penyelewengan karena memanipulasi dan demagogi dalam politik. Ia melampaui
etika komunikasi karena oknum telah melakukan kekerasan dan tekanan yang
berdampak pada hilangnya kebebasan massa publik dan tunduk pada tekanan. Hal
tersebut ditandai dengan kebohongan yang diorganisir, menghilangkan kebebasan
pendengar, dan tersedianya alat untuk mengalahkan resistensi dengan media massa pendukungnya.
Ketiga, politisasi
kepentingan jangka pendek. Selama masa pemerintahannya Trump menunjukkan
perilaku politik fenomenalnya. BBC News Indonesia (1/11/2020) menyebutkan bahwa ia telah mengubah dunia
yang dimulai dengan memperhatikan issu tembok perbatasan dengan Negara-negara
Amerika Latin, ‘berita bohong’, dan perselisihan dengan China serta perilaku
fenomenal lainnya yang mencemaskan dunia internasional. Beliau bersikukuh untuk
tidak melanjutkan semua hasil pertemuan presiden-presiden AS sebelumnya.
Perilaku-perilaku politik seperti ini hemat saya adalah usaha tendensius
membangun citra politik jangka pendek untuk kepentingan kekuasaan bukan demi
pelayanan publik sebagaimana substansi politik itu sendiri. Kecendrungan
demikian menisbahkan adagium: politik itu kotor, politik untuk memperkaya diri
dan kroni-kroninya. Pasca reformasi godaan semacam itu justru membuncah.
Karena kekuasaan telah disalahgunakan oleh rezim untuk memperkaya diri dan
orang lain. Semakin tinggi kedudukan seseorang, makin para kejatuhannya, Corruptio Optimi Pessima.