BLUNDER
POLITIK DAN HUKUM INDONESIA
oleh Krisantus M.
Kwen
(Dosen Sekolah
Tinggi Pastoral Reinha Larantuka)
Mengakhiri
tahun 2015, masyarakat Indonesia telah disuguhkan sebuah pengadilan yang
terbuka (dan tertutup) kepada ketua DPR RI, Setya Novanto (SN) berdasarkan
laporan Sudirman Said (SS), menteri ESDM kepada DPR RI. Kemudian Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD) menyidangkan perkara tersebut karena SN diduga melakukan pencemaran
nama baik Presiden dan wakil presiden. Seperti sebuah skenario, perhatian
publik diarahkan oleh sutrada film di panggung politik Indonesia dengan latar: dugaan
pelanggaran politik aparat negara menuju rana hukum positif.
Tahun
2016 masih menyisakan pertanyaan publik yang tidak boleh dianggap sepele oleh
aparatur negara di bidang penegakkan hukum, apakah hukum (etik) bisa
menyelesaikan persoalan politik ketatanegaraan karena menyeret kepala negara? Karena
presiden dan wakil presiden didudukan sebagai objek perkara oleh pelapor (SS)
dan (SN) sebagai terlapor. Dapat diduga bahwa politik dan hukum diperhadapkan
dan jabatan kepala negara dipertaruhkan di depan publik dalam skenario tersebut.
Akhir
sebuah skenario
17
anggota MKD (16/12/2015) telah menyudahi sengketa “Papa minta saham”, yang
dilakukan oleh ketua DPR RI Setya Novanto (SN), yang diduga mencatut nama kepala
Negara (Eksekutif), presiden Jokowi dan wakil presiden Yusuf Kala untuk
mendapat keuntungan saham PT Freeport Indonesia. 10 Vs 7 adalah angka
pertarungan konsistensi lembaga Negara (Legislatif) DPR RI melalui proses
sidang Mahkamah Kehormatan (MKD) yang kontroversi itu. 10 orang hakim MKD memutuskan
sanksi sedang, dan 7 orang hakim MKD menjatukan sanksi berat. Jika publik
merujuk kepada Pasal 147 ayat (4) UU MD3, bahwa amar putusan MKD berbunyi “menyatakan
teradu tidak terbukti melanggar atau menyatakan teradu terbukti melanggar”, maka
seyogyanya MKD wajib membuat sebuah keputusan untuk meligitimasi numerik poling
anggota MKD tersebut, apakah SN bersalah atau tidak bersalah. Karena hasil poling
anggota MKD harus diikuti oleh legitimasi sebuah keputusan, mengingat para
anggota MKD adalah hakim-hakim dalam sidang sebuah perkara.
Rakyat
butuh kepastian hukum
MKD telah penghentikan
sidang setelah membaca surat pengunduran diri Setya Novanto. Setidaknya ada
tiga landasan berpikir yang perlu dicermati. Pertama, publik telah disodorkan sebuah kesimpulan sidang tanpa
landasan legitimasi (legalstanding).
Legitimasi adalah sebuah prasyarat kebenaran (bonum). Karena seluruh proses tata beracara objek pengadilan
sebagaimana jalannya peraturan-peraturan hukum sebagai hukum formil yang harus dilaksanakan.
Mengurangi salah satu syarat formil dari seluruh proses persidangan MKD di
atas, dengan tidak membuat keputusan apapun adalah melahirkan proses beracara
yang cacat hukum.
Sekalipun sidang MKD adalah persidangan soal kepantasan atau substansi pada etika atau tidak beretika seorang SN dalam kasus “Papa minta saham”. Implikasi dari proses tersebut menuntut konsekuensi moral para penegak hukum publik untuk menegakkan keadilan di rana hukum positif. Oleh karena itu dibutuhkan kecermatan lembaga hukum formil untuk segera melanjutkan proses hukum secara publik, baik pada institusi Mahkamah Agung maupun lembaga Kepolisian.
Sekalipun sidang MKD adalah persidangan soal kepantasan atau substansi pada etika atau tidak beretika seorang SN dalam kasus “Papa minta saham”. Implikasi dari proses tersebut menuntut konsekuensi moral para penegak hukum publik untuk menegakkan keadilan di rana hukum positif. Oleh karena itu dibutuhkan kecermatan lembaga hukum formil untuk segera melanjutkan proses hukum secara publik, baik pada institusi Mahkamah Agung maupun lembaga Kepolisian.
Tidak kurang Jaksa Agung Muhamad Prasatyo kepada salah satu media
on line nasional (16/12/2015) telah menegaskan bahwa keputusan MKD akan
memperkuat penyelidikan di kejaksaan agung RI. Kita berharap Jaksa Agung
benar-benar konsistensi dengan ucapannya. Komitmen tersebut harus diwujudkan
dihadapan rakyat dengan menindaklanjuti sikap hukum melalui proses penegakkan
keadilan secara pertanggung jawab. Karena komentar aparat penegak hukum tersebut
bagaikan press release kepada publik
dan mereka telah mengibarkan bendera perang terhadap ketidakadilan hukum. Dengan
demikian pernyataan aparat negara tersebut tidak hanya untuk membangun argumen
politik sesaat untuk menyenangkan rakyat yang telah resa dan gelisa karena
lemahnya sense of crisis aparatur
negara dalam kasus “Papa minta saham”. Jika pada akhirnya press release tersebut tidak diikuti oleh langkah konkret
penegakkan hukum, maka upaya tersebut hanyalah lip service, sekedar memuaskan dahaga politik rakyat sesaat.
Kedua,
MKD sebetulnya momentum mengembalikan hak demokrasi kepada rakyat karena itu
hukum tertinggi dalam negara yang menganut paham demokrasi seperti negara
Indonesia ini. Sidang MKD dilaksanakan secara terbuka untuk masyarakat,
sekalipun pada agenda yang menghadirkan SN tidak dipublikasikan secara terbuka
kepada masyarakat. Pada titik ini demokrasi mengalami ‘cacat proses’. Sehingga sangat
disayangkan, MKD gagal memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Karena masyarakat
sudah cukup cerdas untuk menilai pemimpinnya (yudikatif) membuat kebijakan.
Konsep demikian disebut oleh Roland Pennock (1979) sebagai sebuah tindakan
politik. Gambaran kebijakan politik tersebut sebetulnya secara cerdas dapat
teraplikasi secara seimbang dalam keputusan hakim MKD.
Namun amat disayangnya momentum tersebut tidak digunakan secara cerdas. Hakim yang adil bila amar putusannya dikemas dalam tiga asas secara seimbang (Triadism of Gustav Raadbruch), yakni asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Seandainya perkara “Papa minta saham” divonis dengan sanksi pelanggaran sedang, maka memberhentikan SN dari ketua DPR RI adalah memenuhi kepatutan karena bersinggungan dengan “pencemaran” martabat lembaga Presiden (eksekutif), yang wajib dihormati oleh segenap komponen bangsa dan negara. Dengan memutuskan (legalstanding) SN bersalah atau tidak bersalah, akan memenuhi asas kemanfaatan karena akan mengurangi gejolak dan mengembalikan rasa kepercayaan rakyat kepada lembaga DPR RI (legislatif). Dan asas kepastian hukum dapat diciptakan melalui keputusan MKD (yudikatif).
Namun amat disayangnya momentum tersebut tidak digunakan secara cerdas. Hakim yang adil bila amar putusannya dikemas dalam tiga asas secara seimbang (Triadism of Gustav Raadbruch), yakni asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Seandainya perkara “Papa minta saham” divonis dengan sanksi pelanggaran sedang, maka memberhentikan SN dari ketua DPR RI adalah memenuhi kepatutan karena bersinggungan dengan “pencemaran” martabat lembaga Presiden (eksekutif), yang wajib dihormati oleh segenap komponen bangsa dan negara. Dengan memutuskan (legalstanding) SN bersalah atau tidak bersalah, akan memenuhi asas kemanfaatan karena akan mengurangi gejolak dan mengembalikan rasa kepercayaan rakyat kepada lembaga DPR RI (legislatif). Dan asas kepastian hukum dapat diciptakan melalui keputusan MKD (yudikatif).
Menonton keputusan MKD
tanpa keputusan (decision without
decision) yang menyatakan diri dalam jurisprudensi, yaitu keputusan sidang
MKD, membuat publik terkesima, bahwa 17 hakim MKD tersebut “terkapar” dihadapan
realitas hukum formil, ketika mereka tidak berdaya membuat keputusan (decision makers). Ketiga, kegagalan pendidikan politik melalui penegakkan hukum oleh
lembaga publik bagaikan blunder. Tadinya rakyat berharap DPR RI yang terjelma
dalam diri MKD akan melahirkan produk kebijakan yang merakyat. Karena di dalam
tubuh MKD terakumulasi keragaman idiologi politik lintas partai yang bertarung
untuk kepentingan bangsa dan negara. Namun dihadapan rakyat pula, ternyata
hakim-hakim “yang mulia” bertekuk lutut dihadapan kepentingan jangka pendek
“menyelamatkan” SN.
Kembalikan
kepercayaan rakyat
“Papa minta saham”
adalah “hutang” Negara kepada Rakyat. Ini adalah pembelajaran yang amat
berharga bagi “Rakyat” dan “DPR” kita dalam regulasi proses berbangsa dan
bernegara. Momentum ini beralih menjadi “PR” besar aparatur negara di bidang
penegakkan hukum sepanjang tahun 2016. Semoga Lembaga-lembaga Negara tidak lagi
mengalami degradasi hukum dan politik untuk kepentingan jangka pendek. Hukum
dan politik wajib didudukkan secara proporsional dan konstruktif untuk kemajuan
demokrasi dan kehidupan bangsa dan negara yang baik dan benar. Sebab rakyat
menghendaki hukum harus ditegakkan dan politik harus diabdikan untuk
kepentingan bangsa dan negara.